Jalan Keris Hartonodiningrat
Oleh : Windoro Adi
Meski masih diguncang konflik suksesi internal, Keraton Kasunanan Surakarta di Jawa Tengah masih bisa berbangga karena memiliki lima empu keraton andal. Kanjeng Raden Tumenggung Sukoyo Dipuro, KRT Hartonodiningrat, KRT Happy Suryamurti, Raden Tumenggung Subandhi Suponingrat, dan Mas Ngabehi Suyanto.
Di antara mereka, Hartonodiningrat, kelahiran Surabaya 26 April 1972, menjadi empu termuda dalam usia meski pangkatnya setingkat dengan seniornya, Sukoyo.
Dalam penutupan Pameran Keris Nusantara 2006 di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (23/6), Hartono—panggilan Hartonodingrat—terpilih menjadi juara membentuk keris dengan nilai 193, melebihi Subandhi dan M Jamil yang masing-masing mendapat nilai 182 dan 173. Lomba membentuk keris ini diikuti 15 empu dari berbagai daerah di Jawa dan Madura.
Yang dinilai juri meliputi bentuk pokok, proporsi bilah, ricikan (bagian-bagian bilah keris), kerapian, dan gereget karya peserta.
Mengomentari kemenangan Hartono, Ketua Dewan Juri Haryono Guritno mengemukakan kelebihan Hartono karena dia lebih baik mengenal unsur dan sifat logam. Maklum, Hartono adalah sarjana metalurgi Universitas Petra, Surabaya.
Dengan modal kesarjanaannya, kalau mau Hartono sebenarnya bisa mengikuti jejak mendiang Haryono Arumbinang, akademisi pertama Indonesia yang mampu menyanggah analisis akademisi asing tentang unsur logam di dalam keris.
"Saat ini saya belum berminat mengikuti jejak Pak Haryono Arumbinang meski saya menghormati jasa beliau. Saat ini saya masih ingin terus membuat keris lebih baik, dan lebih baik lagi," papar Hartono.
Setiap hari, sebelum berangkat bekerja di sebuah perusahaan angkutan, Hartono mengawali kegiatannya dengan merapikan bilah keris selama tiga jam di rumahnya. Pulang bekerja ia kembali menekuni keris. Karena tidak punya besalen (bengkel keris) sendiri, setiap sore ia ke tempat Sukoyo dan bekerja di sana.
Tiga guru
Awal 1990-an ketika masih kuliah, Hartono mulai tertarik dengan logam keris. Oleh beberapa teman kelompok pendaki gunung ia diajak mampir ke rumah Sukoyo di Manyar Sabrangan, Surabaya Timur. "Saya mulai mengenal keris bukan karena aspek keindahannya atau karena aspek kerajinannya, apalagi soal klenik, tetapi karena aspek logamnya," ungkapnya.
Hartono saat itu ingin memperoleh jawaban, sebenarnya berapa macam bahan yang terkandung dalam sebilah keris dan sejauh mana kualitas kekuatannya dibanding produk logam lainnya.
"Saya mulai kagum setelah mengetahui para empu kita di abad ketujuh sudah mampu membuat adonan alloy lewat proses penempaan dan pelipatan logam yang sekarang sering dipakai sebagai bahan pelek roda kendaraan. Logam ini tingkat kekuatan dan keuletannya tinggi, tetapi ringan. Di negara-negara Barat, alloy baru ditemukan 100 tahun setelah para empu kita memanfaatkannya. Belum lagi soal penggunaan batu meteorit yang mengandung titanium sebagai bahan pembuat pamor keris," papar Hartono pula.
Bila saat itu Barat hanya menggunakan satu unsur logam dalam membuat senjata tajam, tidak demikian dengan empu di Jawa, Jepang, dan Damaskus. "Di antara ketiganya, hanya empu di tanah Jawa yang membuat senjata tajam dengan kekuatan dan hiasan pamor," tuturnya.
Hartono kemudian mengenal empu keris Sukamdhi, Subandhi, dan Suyanto. Dari Sukamdhi ia belajar ricikan seperti sogokan, tikel alis, kruwingan, dan blumbangan atau pejetan lebih tegas dan dalam cerukannya.
"Pesan Mbah Kamdhi, kalau membuat ricikan harus tegas, tajam, dan dalam sehingga kalau salah cepat terlihat, tetapi kalau tepat dan indah akan lebih mudah tampak meski hanya sekelebat," ujarnya.
Hartono sendiri lebih menyukai membuat keris model era Paku Buwana X (Surakarta) atau era Hamengku Buwana VII (Yogyakarta). Menurut dia, para empu keris di kedua masa itu mampu membuat keris yang indah karena suasana politik dan sosial kala itu lebih tenang. Selain itu, kedua raja ini menekankan pada estetika budaya, yang ini juga tampil pada keindahan, kerapian, dan ketertiban dalam pengaturan tata kota serta arsitektur bangunan yang dibangun pada masa itu.
Empu keraton
Tahun 1995, Hartono mulai membuat keris. Enam tahun kemudian dia diangkat menjadi empu keraton oleh PB XII. Gelarnya cepat naik, dari RT menjadi KRT, menyamai Sukoyo, gurunya. "Kalau dihitung-hitung, sejak 1995 sampai sekarang saya sudah membuat 500 bilah keris. Lima bilah di antaranya menjadi keris keraton," ungkapnya.
Mulai 1998 sebagian karyanya mulai menyebar ke luar negeri, terutama ke Jerman. Ia terakhir membuat tiruan (mutrani) keris Raja Klungkung, Bali. "Keris asli tidak bisa keluar dari puri lagi sehingga Raja Klungkung meminta saya membuat tiruannya. Sekarang sudah jadi dan akan saya serahkan September mendatang," ungkapnya.
Menurut Sukamdhi, Hartono punya tangan yang baik. Semangat dan etos kerjanya tinggi. Sebanding dengan bakatnya. "Kehadiran dia di jagat perkerisan kita membuat saya tidak khawatir, tradisi teknologi keris kita punah. Bahkan sebaliknya, akan berkembang," tutur Sukamdhi bangga.
Hartono yang kini masih membujang memilih meniti hidupnya di "jalan keris" meski dia akui, "Hanya cukup untuk hidup sederhana saja."
Sumber : Kompas, Selasa, 27 Juni 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment