Jun 16, 2009

Ari Miharno, Perak dari Gunung Kidul

Ari Miharno, Perak dari Gunung Kidul
Oleh : Irma Tambunan

Ari Miharno (39) cuma buruh di sebuah usaha kerajinan perak di Kotagede, Yogyakarta. Itu cerita 23 tahun lalu. Berbekal keahlian mengolah kerajinan perak, ia pulang ke Gunung Kidul. Kini, ratusan anak putus sekolah, bekas "cantrik-cantriknya", telah menjadi perajin mandiri, dengan tingkat penghasilan memadai.

Waktu itu, tahun 1990, Ari memutuskan memindahkan pekerjaannya ke kampung halamannya, di Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta. Seorang teman sempat mencibirnya, karena teman itu pernah gagal saat mencoba hal serupa sebelumnya.

Majikan tempatnya bekerja mengizinkan ia membawa pekerjaan ke rumah, dengan syarat Ari harus tetap menyetorkan hasil produksinya ke ruang pamer majikannya itu tepat waktu.

Selama satu tahun berjalan, rumahnya hampir setiap hari didatangi anak-anak muda penganggur. Mereka yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu bersantai karena tak punya pekerjaan tetap itu awalnya hanya ingin tahu. Lambat laun mereka minta diajari mengolah perak.

"Saya bilang kepada anak-anak itu, kalau memang mau belajar olah perak, akan saya ajari, tetapi harus serius betul," tuturnya mengenang.

Dapur produksi

Rumahnya pun menjadi dapur produksi komunal kerajinan perak. Saat itu, sebanyak 25 anak tak lulus sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama dia latih membuat kerajinan perak. Bukan perkara ringan mengajari anak-anak muda kurang berpendidikan menjadi terampil dan disiplin.

Namun, keterdesakan ekonomi dan sikap disiplin yang ditanamkan Ari telah mendorong mereka berjuang untuk menjadi mandiri. Ari mengaku, saat menitipkan sejumlah pekerjaan kepada para perajin pemula ini, ia sempat khawatir kalau-kalau pesanan terlambat diselesaikan atau kualitas produk kurang baik. Namun, sebaliknya, ia justru mendapat jawaban yang membanggakan.

Pemuda-pemuda desa itu, yang hidup di tengah budaya sosialnya, seperti rewang, kerja bakti, dan gotong royong, terbukti mampu menyelesaikan setiap pesanan perak tepat waktu. Bangun pagi hari, mereka langsung bekerja. Jika ada acara sosial, pekerjaan memang mereka tinggalkan, tetapi mereka lanjutkan lagi hingga larut malam.

Ari menerapkan istilah getok tular kepada anak didiknya. Setelah mahir, mereka diminta mengajari teman lain. Menjelang tahun 2000, jumlah perajin perak di Desa Pampang sudah mencapai 250-an orang. Sebagian di antara mereka bahkan menyambi membuat kerajinan tembaga karena teknik pembuatannya relatif serupa. Mereka kini menjadi perajin mandiri, dengan penghasilan bersih rata-rata Rp 500.000 per bulan. Jumlah ini terbilang memadai untuk daerah seperti Gunung Kidul.

Orang mungkin tak menyangka bahwa lebih dari 50 persen buruh kerajinan perak di Kotagede adalah orang-orang asal pelosok Gunung Kidul.

Daerah ini identik dengan kemiskinan dan kekeringan. Fenomena bunuh diri sebagai akibat rasa putus asa akan kondisi ekonomi keluarga juga marak, dan nyaris terjadi setiap bulan. Minimnya lapangan kerja di Gunung Kidul menyebabkan banyak warganya merantau ke luar daerah atau bahkan menjadi tenaga kerja di luar negeri. Warga yang menjadi buruh kerajinan perak di Kotagede hanyalah segelintir dari para perantau itu.

Mengetahui sentra kerajinan perak di Desa Pampang makin berkembang, banyak warga asli Gunung Kidul mulai kembali ke kampung halaman, lalu membuka usaha produksi serupa di desa masing-masing. Pada saat jumlah perajin dan pengusaha perak Kotagede makin merosot, perajin di Desa Pampang justru kebanjiran pesanan. "Sekarang tak ada lagi penganggur di desa kami, sebaliknya malah sering kekurangan tenaga kerja," tutur Ari.

Daya dari perak

Ari menyadari, suatu saat ia akan kesulitan bahan baku. Untuk menjaga keberlangsungan usahanya, suami dari Sukarsih (30) dan ayah dari Danang Ribut Setiadi (15) ini pun mengambil prakarsa. Ia mendorong para perajin di desanya menyisihkan bahan baku sebagai tabungan. Warga yang datang mengolah bahan perak menjadi kawat menyisihkan dua gram perak per orang di rumahnya. Hasilnya menjadi tabungan kelompok.

"Sekarang sudah terkumpul 2,5 kilogram bahan baku perak. Ini bukan punya saya, tetapi milik kelompok. Mereka boleh datang mengambil ke sini jika suatu saat kekurangan bahan baku," tuturnya.

Gusti Kanjeng Ratu Hemas, permaisuri Sultan Hamengku Buwono X, yang mendengar tentang sentra perak di Desa Pampang mendatangi desa ini pada tahun 2000. Ratu Hemas lalu memberi nama Mandaya Salaka bagi kelompok perajin setempat. Mandaya berarti daya, salaka maknanya perak. Menurut Ratu Hemas, daya atau kekuatan desa ini adalah dari usaha kerajinan perak.

Desa Pampang kini telah berkembang menjadi sentra kerajinan perak. Sehari-hari pintu-pintu rumah terbuka, dan tampaklah penghuninya tengah menekuni kerajinan tersebut. Saat pesanan siap diantar kepada pedagang besar di Yogyakarta, para perajin mengumpulkan hasil buatan tangan mereka. Hubungan kerja sama begitu erat terjalin.

Ari Miharno, lelaki yang hanya lulus sekolah dasar ini, mendaftar Kejar Paket B dan lulus tahun lalu. Beberapa kali ia menasihati anak-anak muda sekitar. Ia bilang, "Tuntutlah ilmu selagi ada kesempatan. Nek ora gelem, ayo nyambut gawe. Aja nganggur (Kalau tidak mau, mari kita cari pekerjaan. Jangan menganggur)."

Sumber : Kompas, Senin, 26 Juni 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks