Si Padang Itu Jadi Doktor Cerpen
Oleh : Kenedi Nurhan dan Indira Permanasari
Masih ingat cerpen Si Padang yang sempat bikin "heboh" orang-orang Minang perantauan? Cerpen yang dimuat di harian Kompas edisi 14 September 1986 itu sempat menuai protes dari sejumlah orang awak lantaran kritik tajam terhadap mereka yang "mencari nama" di rantau untuk "dijual" di kampung halaman: di tanah Minang!
Dialah sang empunya cerita: Harris Effendi Thahar (56). Lewat Si Padang, Harris menggambarkan bahwa perilaku tokoh panutan itu di tanah rantau justru amat selebor alias tak pantas diteladani.
Latar budaya Minang memang sangat mewarnai cerpen-cerpen Haris; lelaki asli Minang yang lahir di perantauan, tepatnya di Tembilahan, Riau, 4 Januari 1950.
Dua buku kumpulan cerpennya, Si Padang (2003) dan Anjing Bagus (2005), adalah wujud dari kerisauan sekaligus "pemberontakan" Harris terhadap adat dan tradisi yang mengungkungnya. Di tengah budaya egaliter di tanah Minang, yang tercermin antara lain lewat ungkapan terhadap sosok pemimpin yang hanya "didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting", tentu saja kritik-kritik semacam itu dimungkinkan tumbuh dan berkecambah.
Dan, lewat cerpen, Harris merasa menemukan medium yang pas untuk mengungkapkan kegelisahan-kegelisahannya. Juga "kemarahan" dalam bentuk yang lebih sublim. Seperti baru-baru ini, "kemarahan" itu ia salurkan lewat cerpen Arwana (juga dimuat di Kompas, 26 Februari 2006), yang mencoba menyodorkan sisi lain "kenyataan" keseharian pejabat lokal Minang berlatar militer lewat perilaku ajudannya yang gesit tetapi bodoh!
Menulis cerpen sudah menjadi semacam jalan hidup Harris Effendi Thahar. Lewat proses kreatif tersebut, ditambah kesenangannya menulis esai di surat kabar lokal terbitan Padang, ia kemudian ditawari menjadi guru di IKIP Padang.
Lewat pergumulannya dalam dunia tulis-menulis, terutama cerpen, itu pula yang akhirnya mengantarkan dirinya meraih gelar doktor dengan disertasi juga tentang cerpen. Kali ini memang bukan soal kegelisahan dan kemarahannya pada adat dan tradisi Minang.
Disertasi yang menelisik kumpulan cerpen pilihan Kompas 1992-1999 itu justru menyoal isu kekerasan dalam cerpen. Tiga tahun ia bergulat dengan berbagai teori dan analisis struktural, sebelum akhirnya dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar doktor dari Universitas Negeri Jakarta lewat disertasi berjudul "Kekerasan dalam Cerpen-cerpen Pilihan Kompas 1992-1999; Suatu Tinjauan Struktural Genetik".
"Kalau kita percaya bahwa sastra, termasuk cerpen, adalah refleksi dari kondisi sosial masyarakatnya, maka kekerasan di negeri ini memang banyak terjadi. Beragam bentuk dan motifnya, namun yang paling dominan justru kekerasan negara terhadap masyarakatnya," kata Harris tentang hasil temuannya itu.
Anugerah kehidupan
Menjadi guru memang bukan cita-cita Harris sejak kecil. Ketika beranjak remaja, saat duduk di bangku SMP, dunia sastralah yang menyungkupi kehidupannya.
Beruntung ia terlahir dari pasangan Thahar Umar dan Nurijah Rasyad yang cinta bahan bacaan. Beruntung pula ketika duduk di bangku SMP ia punya seorang guru, Bustanul Arifin namanya, yang pernah menghukumnya dengan ganjaran harus menghabiskan sejumlah buku dalam waktu satu minggu.
Sejak itu keinginannya untuk menjadi penulis menjadi-jadi. Kesempatan datang justru ketika ia sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan IKIP Padang. Di tengah statusnya sebagai PNS (1978)—sebelum jadi dosen—itulah ia bekerja sambilan sebagai wartawan di surat kabar terbitan Padang. Bersamaan dengan itu Harris juga aktif dalam kelompok diskusi "Kerikil Tajam" bersama para penulis Padang lainnya, seperti Hamid Jabbar dan Darman Moenir.
Cerpen memang sudah menjadi jalan hidupnya. Adapun statusnya sebagai guru yang kini ia lakoni adalah anugerah kehidupan.
Masih terngiang di benak Harris peristiwa lebih dari 10 tahun lampau tersebut. Ketika itu IKIP Padang (kini menjadi Universitas Negeri Padang/UNP) berniat membuka paket mata kuliah jurnalistik. Ia ditawari mengasuh mata kuliah itu, tetapi dengan catatan harus membuat surat lamaran ke IKIP Padang.
Belakangan, atas masukan Mursal Esten dalam kapasitasnya sebagai guru besar Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Padang, persyaratan itu diralat. Kata Mursal, "Kalau dia tidak memasukkan surat lamaran, kita saja yang melamar dia. Soalnya kita sangat membutuhkan orang dengan kualifikasi seperti dia."
Ketika ucapan Mursal Esten itu sampai ke Harris, ada rasa haru menggelegak. Ucapan yang sangat membesarkan hatinya itulah yang membuat ia memutuskan menceburkan diri menggeluti profesi sebagai guru. Setahun kemudian, tepatnya 1 Februari 1995, Harris resmi diangkat sebagai dosen tetap pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Padang.
Tak ada kata terlambat dalam sebuah pengabdian. Juga dalam menuntut ilmu. Setelah sempat menjadi dosen tamu pada Jurusan Humanities, Universitas Tasmania, Selandia Baru, Harris memutuskan melanjutkan pendidikan S-2 di UNP (2000).
Kini, di usianya yang ke-56, ayah dari tiga anak (Mohammad Isa Gautama, Siti Inne Kemala, Bayu Ning Larasati) dari hasil perkawinannya dengan Mitra Aziz ini meraih prestasi yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
"Menjadi doktor cerpen," begitu seloroh teman-temannya.
Sumber : Kompas, Rabu, 11 Oktober 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment