Ban Ki-moon Janjikan Perubahan
Oleh :
Menteri Luar Negeri Korea Selatan Ban Ki-moon terpilih menjadi Sekretaris Jenderal PBB baru menggantikan Kofi Annan yang mandatnya berakhir 31 Desember mendatang.
Setelah U Thant (Myanmar) menjadi Sekjen PBB tahun 1961-1971, kini kembali giliran Asia memimpin PBB. Ban kerap dinilai tidak tegas karena suara lembutnya. Namun, bagi Ban, kelembutan itu justru bentuk kerendahan hati Asia dan aset untuk menangani kondisi dunia yang keras. luki aulia
Pada tahun 1962 ada seorang siswa sekolah menengah pertama di kota Chungju, Provinsi Chungcheong, yang memenangi lomba pidato berbahasa Inggris yang diselenggarakan Palang Merah AS. Hadiahnya tidak tanggung-tanggung, diundang ke Gedung Putih dan bertemu mendiang Presiden AS John F Kennedy. Padahal, berkunjung ke ibu kota Korsel, Seoul, saja dia belum pernah. Di Gedung Putih remaja itu sempat ditanya wartawan tentang cita-citanya.
"Saya ingin menjadi diplomat," jawab si remaja itu dengan tegas. Kini, tercapailah sudah cita-cita si remaja yang memiliki nama lengkap Ban Ki-moon itu, bahkan bisa dibilang cita-citanya melejit jauh lebih tinggi dari harapan. Dengan menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, artinya Ban kini sudah berada di puncak karier sebagai diplomat karier di Departemen Luar Negeri Korsel. Cerita pengalaman masa kecilnya itu diceritakan Ban sesaat sebelum sidang Dewan Keamanan PBB, pekan lalu, dan dimuat harian International Herald Tribune.
"Ketika saya bertemu Presiden Kennedy, keinginan dan keyakinan saya untuk menjadi diplomat semakin kuat. Sejak saat itu pula saya menjalani hidup saya untuk satu tujuan, yakni memenuhi impian saya menjadi diplomat," kata Ban yang menganggap dirinya sebagai "penengah, penyelaras, dan penyeimbang". Sikap seperti itu dianggap Ban sangat tepat untuk menjalankan tugas Sekjen yang berat. Bahkan, Annan pernah menilai Sekjen PBB adalah "pekerjaan yang paling mustahil di dunia". Ini semata-mata karena saking banyak dan beratnya beban tanggung jawab Sekjen PBB.
Saking beratnya beban Sekjen PBB, banyak pihak yang ragu dengan kemampuan Ban dalam memimpin PBB. Keraguan itu muncul karena sikap Ban yang dinilai terlalu rendah hati dan tidak memiliki karisma yang cukup kuat yang biasanya sangat dibutuhkan saat menghadapi persoalan yang sangat rumit. Namun, BBC News menilai sikap rendah hati itu adalah strategi Ban menangani persoalan rumit, seperti saat bernegosiasi dengan Korea Utara mengenai program pengembangan senjata nuklir.
Sikap rendah hati seperti itulah yang justru menjadi "kunci keberhasilan" Ban saat berdiplomasi. Selain sikap terlalu rendah hati, anggapan bahwa Ban kurang tegas itu juga muncul karena suara Ban yang terdengar pelan. Akibatnya, saat berpidato banyak yang mengeluh. Gaya berpidato Ban dianggap kurang memuaskan. Karena itu, Ban disarankan untuk mulai belajar bergaya Barat.
Ban jelas menolak hal itu. Bagi Ban, kerendahan hati itu aset paling berharga yang tidak bisa diartikan dengan sikap yang tidak tegas. "Saya mungkin memang tampak lemah dari luar, tetapi saya bisa bersikap keras jika memang dibutuhkan. Di sebagian besar negara Asia, kerendahan hati termasuk sifat baik. Meski suara saya pelan, itu sama sekali tidak berarti sikap saya lalu tidak tegas. Orang-orang Barat banyak yang tidak paham dengan gaya kepemimpinan Asia yang tampak lembut di luar, tetapi tegas dan keras ketika membuat dan melaksanakan keputusan. Mereka (Barat) hanya melihat senyuman sekadar sebagai senyuman. Mereka tidak bisa melihat arti dan kekuatan di balik senyuman itu," kata Ban yang dikenal sering dan mudah tersenyum itu. Rekan-rekan terdekat Ban kerap mengingatkan bahwa di balik senyum dan sikap lemah lembut Ban tersembunyi sikap yang luar biasa keras dan tegas. Ban yang lahir di Kota Chungju, Provinsi Chungcheong, 13 Juni 1944, itu telah bekerja di Deplu Korsel selama 36 tahun. Segera setelah lulus dari Universitas Nasional Seoul studi Hubungan Internasional, dilanjutkan program S-2 di Sekolah Ilmu Pemerintahan Kennedy, Universitas Harvard, Ban menjadi diplomat pada tahun 1970. Tahun 1978-1980 Ban mulai bekerja di Misi Korsel PBB dan Direktur Divisi PBB di Deplu Korsel hingga 1983. Lalu, Ban menjadi penasihat keamanan nasional presiden tahun 1996 dan wakil menteri tahun 2000. Ban pernah bertugas di Kedubes Korsel di New Delhi dan menjadi Dubes Austria. Ban lalu terpilih menjadi Menlu Korsel Januari 2004.
Terbiasa di PBB
Berada di lingkungan PBB bukan hal baru bagi suami dari Yoo Soon-taek dan ayah dari seorang putra dan dua putri itu (salah satu putrinya bekerja untuk UNICEF di Afrika). Sejak 1974 Ban telah menjejakkan kaki di PBB. Karena itu, Ban sudah terbiasa menghadapi sikap negara anggota PBB yang cenderung keras saat menangani masalah rumit. Selain terlibat sejak awal dalam perundingan enam partai tentang isu nuklir Korut, Ban juga membantu menetralkan ketegangan antara Korsel-AS dan Korsel-Jepang.
Menjadi Sekjen PBB berarti Ban mewarisi kepemimpinan organisasi dunia yang memiliki 9.000 karyawan, anggaran rutin sebesar lima miliar dollar AS, menangani berbagai masalah, seperti pendidikan, kesehatan, bantuan darurat ke daerah korban bencana, dan mewujudkan perdamaian di negara-negara yang tengah dilanda konflik, seperti Korut, Lebanon, Iran, Kosovo, dan Sudan.
Betapa pun peliknya pekerjaan Sekjen PBB, Ban berjanji akan bersikap adil dan lebih banyak memusatkan perhatian pada penegakan HAM dan mewujudkan perdamaian di dunia. Tentu tetap dengan senyuman khas Ban.
Sumber : Kompas, Selasa, 10 Oktober 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment