Awas Bahaya Laten DBD
Oleh : Djoko Poernomo
Banjir di Jakarta awal bulan lalu, bagi Hari Kusnanto, bukan sekadar genangan air di atas 60 persen wilayah Ibu Kota.
Akan tetapi, menurut Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM itu, banjir telah menyisakan akibat yang jauh lebih dahsyat. Yakni trauma mental berat bagi banyak orang, khususnya bagi puluhan bahkan ratusan ribu orang dengan ekonomi pas-pasan.
"Mereka umumnya membutuhkan terapi atau dukungan psikososial dalam waktu panjang. Mereka sangat berpeluang lebih besar mengalami penyakit-penyakit kronik seperti jantung koroner, stroke, dan kanker...," tutur Hari, Direktur Program Studi Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana UGM, sejak 2003.
Kehilangan aset yang terbawa atau rusak karena banjir telah melumpuhkan kemampuan ekonomi masyarakat miskin, khususnya pada saat menghadapi lonjakan harga pokok barang kebutuhan sehari-hari.
"Jika kehidupan diibaratkan pesta besar, petugas kesehatan sering harus berperan sebagai tukang cuci piring. Oleh karenanya, aktivitas kesehatan masyarakat sebaiknya melihat jauh ke depan dan melakukan advokasi sebelum masalah terjadi," tutur Hari.
Akibat air kotor
Hari mengatakan, persoalan penyakit pascabanjir umumnya hanya dipahami sebagai akibat langsung air kotor yang menggenangi permukiman dan hunian. Penyakit diare, disentri (berak darah), dan leptospirosis diperkirakan meningkat terkait dengan penularan penyakit melalui air kotor.
"Penyakit-penyakit tersebut dikelompokkan sebagai penyakit water-borne (disebabkan melalui air)," kata anak sulung pasangan Drs A Harsono-A Koesilah ini. Semasa hayatnya, Harsono berprofesi sebagai dosen di IKIP Negeri (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) yang dise- but Hari sebagai figur yang telah banyak memberikan keteladanan.
"Bapak begitu tegar dalam menghadapi penyakit nasopharyngeal cancer selama 26 tahun sejak terdiagnosis pada tahun 1976. Dalam kondisi sakit, Bapak mampu meraih jabatan lektor kepala dengan pangkat IVc," tuturnya mengenang.
Menyangkut banjir di Jakarta, Hari mengatakan, beberapa penyakit timbul akibat kelangkaan air bersih untuk membasuh tangan, mencuci mulut, dan membersihkan badan. Misalnya penyakit infeksi pernapasan akut dan penyakit kulit (penyakit-penyakit water-washed) atau yang sebenarnya bisa tercuci oleh air.
Air hujan yang cukup bersih menjadi tempat perindukan nyamuk yang menularkan Demam Berdarah Dengue atau DBD, sementara kelembaban udara dan suhu yang cukup hangat memudahkan perkembangbiakan nyamuk tersebut. "Akibatnya, DBD juga merebak pascabanjir...," kata Hari.
Menjadi dokter hampir seperempat abad, ia nyaris tak pernah bekerja di rumah sakit (RS) atau menjalani praktik swasta seperti kebanyakan rekan seprofesi. "Saya lebih tertarik ilmu-ilmu sosial. Karena itulah saya menekuni kesehatan masyarakat," tambah Hari yang juga pemusik andal. Ia biasa memainkan biola.
Tersentak oleh DBD
Pada pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, April 2004, Hari Kusnanto mengangkat judul "Kebijakan Publik dalam Pengendalian Kebangkitan Penyakit-penyakit Infeksi".
Di situ ia mengatakan, pemerintah dan masyarakat di Indonesia tersentak oleh DBD yang memaksa anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa berbondong-bondong ke RS. Kasus-kasus DBD di Indonesia sejak awal tahun 2004 dilaporkan mencapai 30.000 orang, dengan korban meninggal sekitar 400 orang.
Sebelum wabah DBD gencar diberitakan media massa, sebenarnya sebagian masyarakat, termasuk di Yogyakarta, sempat pula dilumpuhkan oleh penyakit akibat virus chikungunya, seperti BDB, yang juga ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. "Setelah goncangan wabah besar oleh penyakit-penyakit arbovirus (arthropod-borne virus) tersebut, pada umumnya keadaan akan lebih tenang selama beberapa waktu, sehingga kita tidak mewaspadai bahaya laten, yang jika didiamkan akan selalu mengancam lagi di kemudian hari," tambahnya.
Dari pengalaman kebijakan pengendalian penyakit-penyakit infeksi yang mudah merebak di masyarakat, dapat disimpulkan bahwa akar masalah kebangkitan penyakit infeksi adalah perilaku manusia yang mengubah lingkungan hidupnya. "Hampir 75 persen penyakit infeksi baru yang ditemukan selama 30 tahun terakhir ditularkan oleh hewan liar atau piaraan," tegas Hari yang semula tak memilih profesi sebagai dokter, melainkan pastor. Karena itulah, begitu lulus SD Pangudiluhur Yogyakarta (1965), ia masuk SMP Seminari Mertoyudan, Magelang, dan lulus (1968).
Ketika ditanya mengapa pindah haluan ke sekolah umum, Hari menjawab, "Biar adik-adik saya saja yang menjadi pastor." Mereka adalah JB Hari Kustanto SJ PhD dan Dr Ant Hari Kustono Pr. Adik-adik Hari Kusnanto lainnya (perempuan sebanyak empat orang), satu di antaranya mengikuti jejak sebagai dokter. Ini pula yang diteruskan anak semata wayang, Yossie Atyandhari.
***
BIODATA
Tentang Hari Kusnanto
Lahir: Yogyakarta, 12 November 1953.
Pendidikan:
- 1971, lulus SMA Kolese de Brito, Yogyakarta.
- 1979, lulus dokter, FK UGM.
- 1986, lulus S2, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana UGM.
- 1991, lulus S3, Ilmu Kesehatan Masyarakat, School ofMedicine, Yale University.
- 2002, menyelesaikan Post-doctoral Fellowship, School of Public Health, Harvard University.
- 2004, memperoleh pangkat Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM.
Istri: Drg Sri Widiati MPH, dosen FKG UGM.
Anak: Yossie Atyandhari
Jabatan:
- 2003-sekarang: Direktur Program Studi Kesehatan Masyarakat, Pascasarjana UGM.
- 2003-sekarang: Wakil Direktur Program Internasional, Fakultas Kedokteran UGM.
Sumber : Kompas, Kamis, 8 Maret 2007
Jun 7, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment