Zaini dan Mainan Tradisional
Oleh : Yenti Aprianti
Bulu matanya penuh embun karena berjalan selama 1,5 jam sejak subuh. Kampung dan sekolahnya berjarak sekitar lima kilometer. Sesampai di sekolah, ia kedipkan mata dan embun-embun yang menggantung itu membasuh matanya. "Segar sekali," kata Mohamad Zaini Alif (31) mengenang masa SMP.
Tak hanya embun yang menemani lelaki dari Kampung Bolang, Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjung Siang, Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini berangkat sekolah, pepohonan karet dan kluwak di kebun-kebun pun menjadi bagian hidup peneliti mainan tradisional ini.
Ketika lelah sehabis sekolah, ia dan teman-temannya mencari biji pohon-pohon tersebut untuk dibuat kerkeran, mainan seperti kipas angin. Baling-balingnya terbuat dari bambu dengan penyangga dari biji-karet, kluwak, atau batok kelapa.
"Proses membuat kerkeran lebih seru daripada memainkannya," tutur Zaini mengenang saat berburu bambu dililit tanaman rambat di kebun-kebun yang amat bagus untuk dibuat baling-baling.
Bagi anak kampung seperti dirinya, mainan buatan sendiri adalah bagian indah dari hidup yang terbawa hingga dewasa. Ia memainkan kolencer (sejenis kipas angin yang dipancang di sawah) dan karimbing (alat tiup dari batang bambu yang disobek tengahnya) untuk mengusir binatang hama padi seperti serangga dan burung. Ia juga membuat wayang golek dari batang daun singkong yang mengering.
Lulus dari SMA, ia ingin sekali meneliti mainan anak-anak. Ia masuk ke jurusan Desain Produk, Institut Teknologi Nasional (Itenas), Kota Bandung. Sambil kuliah, tahun 1996 ia mulai mendesain dan membuat mainan edukasi dari sendal jepit. Ia membuat berbagai mainan pengasah kreativitas dan kemampuan motorik anak. Namun, ia tak pernah puas.
Saat itu ia mulai mengenang berbagai jenis mainan tradisional yang dimainkannya di kampung. Ia pun mulai bertualang, terutama ke kampung-kampung adat di Jabar selatan untuk mencatat jenis-jenis permainan tradisional.
Ia juga mendirikan Hong, komunitas pencinta, peneliti, dan pemroduksi mainan anak. Hong adalah kata yang diteriakkan anak-anak Sunda saat bertemu teman. "Hong juga berarti pertemuan dengan Yang Mahakuasa," kata Zaini. Komunitas Hong terdiri dari anak-anak dan orang dewasa.
Punahnya "hempul"
Karena terus bergelut di dunia mainan tradisional, Zaini melanjutkan pendidikan pascasarjana Desain Produk, Institut Teknologi Bandung, untuk meneliti lebih dalam mainan tradisional. "Tidak mungkin meneliti permainan tradisional. Tidak ada naskah acuannya," kata dosennya mengingatkan agar Zaini mengubah obyek penelitiannya.
Namun, anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan guru Asid Enu Saputra dan Yuyum Sukaesih ini amat berhasrat mengungkap kekayaan mainan tradisional. Ia keluar masuk museum dan perpustakaan untuk menemukan naskah kuno tentang mainan tradisional masyarakat Sunda. "Saya tak putus asa. Kalau mainan tradisional begitu banyak diwariskan leluhur, pasti pernah ada seseorang yang menuliskannya," ujar Zaini.
Akhirnya Zaini menemukan naskah abad ke-15 Saweka Darma Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung yang menyebutkan tentang hempul. Hempul adalah orang yang mengetahui aturan memainkan, cara membuat, dan filosofi mainan atau permainan. Namun, kini hempul sudah punah. Tak ada masyarakat adat di Jabar yang memiliki hempul lagi.
"Dulu, mainan sudah jadi hal yang amat penting sehingga ada ahlinya. Jadi mainan bagi manusia itu tidak sepele atau sekadar main-main, justru dari mainan orang belajar bersosialisasi, mengatasi kesepian, mengatur keseimbangan otak, bekerja sama, serta mengenal lingkungan," kata suami Mia Rosmiati ini.
Diburu jadi suvenir
Dari perjalanan meneliti mainan tradisional di daerah Jabar selatan saja, Zaini menemukan 120 jenis mainan. Mainan digunakan oleh anak-anak dan orang dewasa.
Orangtua memangku anaknya untuk bermain surser dengan menggerakkan tangan anak bergantian ke lulut kanan dan kiri orangtuanya untuk melatih koordinasi otak kiri dan kanan serta mendekatkan hubungan keduanya.
Anak-anak bermain jajangkung (egrang) untuk melatih keseimbangan, mengusir sepi dengan memainkan keprak (batang bambu yang dibelah salah satu ujungnya menjadi lengkungan), hatong (batang bambu yang disobek dan dilubangi), atau celempung (bambu yang dilubangi dan dipukul).
Kini, Zaini banyak diminta memamerkan hasil temuannya. "Ternyata banyak orang yang senang bernostalgia dengan mainan tradisional dan ingin menyimpannya sebagai suvenir," ungkap Zaini yang kini menjabat selaku dosen Desain dan Kebudayaan di Itenas ini.
Karena masih sulit menemukan ahli membuat mainan anak, ia dan komunitasnya baru mampu membuat mainan tradisional untuk sekadar dipamerkan agar masyarakat menyadari pentingnya mainan dan permainan tradisional. Ia juga berharap masyarakat mau memelihara alamnya karena bahan untuk mainan tradisional selalu dari alam yang hijau.
Kini, ia sedang berusaha mencari sponsor untuk meneliti penyebaran budaya berdasarkan peta penyebaran mainan tradisional. Ia juga berharap bisa membuat komunitas mainan tradisional di berbagai provinsi agar terekam seluruh keakraban budaya dan alam manusia Indonesia.
Siapa tahu dengan pendekatan cara bermain, kelak orang tak main-main lagi dengan alam. Tidakkah orang masih ingin merasakan memainkan embun pagi untuk membasuh mata?
Sumber : Kompas, Jumat, 9 Maret 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment