Jun 27, 2009

Asafa Powell : Gugatan Eksistensial Powell

Gugatan Eksistensial Powell
Oleh : A Tomy Trinugroho

CITIUS, Altius, Fortius. Tiga kata yang merupakan moto Olimpiade ini memiliki arti lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Sesungguhnya, "tiga kata suci" tersebut tak cuma merefleksikan spirit Olimpiade. Lebih dari itu, citius, altius, fortius merefleksikan spirit dasar umat manusia yang selalu ingin melampaui keterbatasan mereka.

OLEH karena itu, saat sprinter Asafa Powell mencetak rekor baru dunia lari 100 meter di Stadion Olimpiade di Athena, Yunani, Selasa (14/6/2005) lalu, dunia seperti terenyak.

Menciptakan rekor baru dunia, terutama lari 100 meter yang begitu bergengsi, tak sekadar menjadi urusan dunia olahraga. Selain membuat orang terkesima, pemecahan rekor dunia lari 100 meter senantiasa memunculkan pertanyaan yang sangat eksistensial, benarkah kecepatan lari manusia bisa terus ditingkatkan tanpa mengenal batas?

POWELL, pria yang baru-baru ini memunculkan pertanyaan eksistensial mengenai batas kemampuan manusia, lahir pada tanggal 23 November 1982 di St Catherine, Jamaika. Pemuda yang bercita-cita menjadi insinyur elektro itu terlahir sebagai bungsu dari enam bersaudara.

Mungkin karena dipengaruhi ayahnya yang seorang pendeta, Powell dikenal memiliki kepribadian yang religius. Tak mengherankan, lagu favorit Powell adalah lagu rohani berjudul Lord Walk Beside Me.

Keinginan Powell untuk terjun menjadi pelari dipengaruhi oleh tiga kakaknya yang telah terlebih dahulu menjadi pelari. Motivasi yang besar dan kedisiplinan yang tinggi rupanya telah mendarah daging dalam diri Powell muda.

Selama periode usia yunior, misalnya, ia mampu mengasah kemampuannya berlari tanpa dibantu pelatih. Hasilnya, pada tahun 2001 Powell memenangi kejuaraan nasional untuk level yunior.

Powell mengungkapkan, keberhasilan sprinter Amerika Serikat, Maurice Greene, merebut emas Olimpiade Sydney 2000 merupakan pendorong bagi dirinya untuk terjun di dunia lari sprint. Selain itu, ia menyebut kakaknya, Donovan, sebagai motivator utama. Pada kejuaraan dunia tahun 1999, Donovan tampil sebagai semifinalis.

Berbeda dengan sebagian besar atlet Jamaika lainnya yang mengasah kemampuan mereka dengan bersekolah di AS, Powell justru memutuskan untuk mengasah kemampuannya berlari dengan tetap bersekolah di tanah airnya. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa teknik di Kingston, ibu kota Jamaika, dan berlatih di bawah bimbingan pelatih Jamaika, Stephen Francis.

Meski demikian, tak bisa tidak, keputusan Powell untuk berlatih di Jamaika terkait dengan peristiwa yang dialaminya pada tahun 1999. Kala itu ia berangkat menuju Texas, AS, untuk berlatih bersama saudaranya, Donovan. Namun, entah mengapa, Donovan menyarankan Powell agar lebih baik menekuni bidang lain ketimbang lari 100 meter.

Bukannya menuruti nasihat sang kakak, Powell malah melanjutkan impiannya menjadi sprinter dunia dengan bergabung bersama pelatih Stephen Francis.

Sikap Powell yang melanjutkan latihan di tanah kelahirannya itu membuat dirinya mendapat apresiasi yang luar biasa dari bangsa Jamaika seusai menorehkan sejarah baru di Yunani.

Ia tak hanya disambut dengan sangat meriah saat tiba di Jamaika. Lebih dari itu, ia juga dilihat sebagai tokoh pendorong kemajuan dunia olahraga Jamaika di masa mendatang. "Kemenangan Asafa adalah faktor pendorong karena atlet-atlet lain akan melihat bahwa Jamaika memiliki sistem pelatihan yang benar," tutur Howard Aris, Presiden Asosiasi Atletik Amatir Jamaika (JAAA).

Sikap Powell yang rendah hati dan sabar terpancar jelas pada tahun 2003 di Paris, Perancis. Saat itu ia didiskualifikasi pada perempat final lari 100 meter karena salah melakukan start. Selain Powell, sprinter AS, Jon Drummond, juga didiskualifikasi.

Namun, respons kedua sprinter tersebut sungguh berbeda. Drummond protes sambil marah-marah dengan begitu hebatnya, sedangkan Powell hanya berjalan santai seolah tak terjadi apa pun.

>small 2<>small 0< dengan sukses besarnya beberapa hari lalu, kekecewaan paling besar dalam hidupnya dialami Powell di Athena setahun silam. Berlaga di nomor 100 meter Olimpiade 2004 sebagai sprinter unggulan, ia harus menerima kenyataan pahit, hanya mampu finis di urutan kelima. Powell menyelesaikan lomba dengan berada di belakang sang juara Justin Gatlin, Francis Obikwelu, Maurice Greene, dan Shawn Crawford.

Seusai mencetak rekor baru dunia lari 100 meter dengan catatan waktu 9,77 detik di Super Grand Prix Tsiklitiria di Athena hari Selasa lalu, ia mengakui trek lari di Stadion Olimpiade itu menyimpan banyak kenangan.

"Ada begitu banyak kenangan di trek ini. Saya kira saya telah menunjukkan kepada dunia apa yang seharusnya bisa saya lakukan dalam Olimpiade lalu," ujar Powell kepada wartawan seusai menjadi manusia tercepat baru dengan menumbangkan rekor dunia atas nama sprinter AS, Tim Montgomery (9,78 detik), yang dicetak pada tahun 2002.

Kebanggaan Powell menjadi manusia tercepat masih belum habis. Di trek yang sama, idola Powell, Maurice Greene, juga pernah membukukan rekor lari 100 meter enam tahun silam dengan catatan waktu 9,79 detik.

Keberhasilan Powell menempatkan dia sebagai satu dari empat sprinter non-AS yang mampu mencetak rekor lari 100 meter sejak Federasi Atletik Dunia (IAAF) mulai mencatat rekor dunia lari 100 meter pada tahun 1912.

Selain Powell, pencetak rekor dunia non-AS ialah Donovan Bailey dari Kanada (1996, 9,84 detik), Armin Hary dari Jerman Barat (1960, 10 detik), serta Percy Williams dari Kanada (1930, 10,3 detik).

Tanda-tanda Powell mencetak rekor baru sebenarnya sudah dapat terlihat sejak awal tahun ini. Dalam Invitational International di Jamaika tanggal 8 Mei lalu, Powell mampu berlari dengan catatan waktu 9,84 detik. Sebulan kemudian ia menempuh lintasan lari 100 meter dengan tempo 9,85 detik dalam kejuaraan di Ceko.

Pelatih lari sprint AS, John Smith, kepada Los Angeles Times, mengatakan, saat bekerja dengan orang seperti Powell, persoalannya bukan mampukah dia memecahkan rekor, tapi kapan dia akan memecahkan rekor.

Seolah mewakili sikap umat manusia yang selalu ingin lebih baik, Powell mengungkapkan, tidak ada alasan bagi dirinya untuk tidak mampu berlari lebih cepat lagi daripada catatan waktu yang ditorehkannya di Athena. "Siapa yang mengetahui seberapa cepat lagi saya bisa berlari," ujar Powell. (A Tomy Trinugroho)

Sumber : Kompas, Sabtu, 18 Juni 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks