Jun 25, 2009

Gunther Uecker : Perlawanan terhadap Kekerasan

Perlawanan terhadap Kekerasan
Oleh : Putu Fajar Arcana

Seni tak dapat menyelamatkan manusia, tetapi lewat seni sebuah dialog menjadi mungkin untuk dilakukan. Mungkin ini menjadi semacam kredo bagi perupa Jerman, Gunther Uecker (75), di dalam kerja keseniannya. Hampir sepanjang hayat, kesenian telah menjadi semacam jalan hidup untuk melawan kekerasan.

Pamerannya di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) berjudul ”Manusia yang Teraniaya: 14 Alat Pemuas”, 5-12 Agustus 2005, adalah rangkaian dari proyek keliling dunia yang ia mulai sejak tahun 1992. Tahun-tahun itu, kata Uecker, dua Jerman baru saja bersatu dengan perobohan tembok Berlin. ”Tetapi kekerasan tak berhenti. Banyak kekerasan terhadap orang-orang Vietnam yang tinggal di Jerman. Bahkan muncul lagi kata-kata militan yang anti-orang asing,” ujar Uecker.

Menurut Uecker, kekerasan adalah sebuah energi yang besar dan vital pada manusia. ”Dan potensi itu harus dipuaskan, untuk mencegah terjadinya perang,” kata lelaki bertubuh tinggi besar ini.

Perupa kelahiran 13 Maret 1930 di kota Wendorf, Mecklenburg, Jerman, ini telah memulai perlawanan terhadap kekerasan ketika ia bergabung dengan kelompok Zero yang dimotori perupa-perupa seperti Otto Piene dan Heinz Mack sekitar awal tahun 1960-an.

Kelompok ini kembali mencari hubungan harmonis antara manusia dan alam, yang telah beberapa dekade hancur akibat perang berkepanjangan. Karena itu, karya-karya Uecker sebagian besar berangkat dari peristiwa-peristiwa kekerasan atau bencana yang meluluhlantakkan alam dan manusia.

Ia misalnya sangat terobsesi terhadap kekejaman yang dilakukan Nazi terhadap kaum Yahudi sekitar tahun 1938. Dalam satu pameran dan performance art yang sengaja ia lakukan di sebuah tempat peribadatan Yahudi, biasanya disebut Synagoge, di Jerman tahun 1988, Uecker mengampak kaki dan sisi kiri sebuah piano hingga roboh menimpa lantai kaca. Selain piano, lantai kaca pun tampak remuk.

Tahun 1938 kaum Yahudi banyak yang dilemparkan dari jendela, termasuk piano-piano milik mereka. ”Tema besar karya saya selalu tentang manusia yang melukai manusia lain. Ini untuk membuat orang punya perhatian lagi atas ancaman kekerasan yang terus melanda dunia,” kata dia.

Pada usia 27 tahun, Uecker menemukan paku sebagai media estetik, yang dia anggap mampu mewakili ekspresi zaman dari periode ke periode. ”Pada saat saya mulai, paku adalah sesuatu yang banal. Tetapi dengan pengulangan dia menjadi ada. Saat itu paku tak biasa dipakai di dalam seni,” tutur perupa yang kini menjadi salah satu ikon seni di Jerman itu.

Jadi puisi

Paku pada awalnya sesuatu yang menusuk. Jika bagian lancipnya diarahkan ke mata, ia terlahir menjadi sesuatu yang mengerikan. ”Tetapi kalau ada banyak paku, ia menjadi puisi,” ujar Uecker.

Dalam satu pameran di Guatemala, Uecker menancapkan ribuan paku ke tubuh sebuah perahu. Karya ini hadir sebagai sebuah ironi, di mana perahu yang selalu menyemburkan makna penyelamatan di Guatemala justru berlaku sebaliknya. Upaya-upaya kristenisasi yang dilakukan di daerah itu telah melukai orang-orang Indian. ”Dan pada gilirannya juga melukai sejarah Eropa sendiri,” kata peraih penghargaan bergengsi Kaiserring der Standt Goslar (Cincin Kaiser dari Kota Goslar) tahun 1983 ini.

Pada saat tertentu Uecker secara luar biasa mampu melakukan transformasi terhadap makna paku menjadi deretan-deretan yang sekali waktu menyerupai bulu atau rumput dengan sifat-sifatnya yang plastis. Di situ paku tidak lagi berwujud material kaku, ia telah menjelma menjadi representasi dari sifat-sifat benda yang terlihat sangat indah.

”Kerja saya sebenarnya sama dengan membuat tulisan, tetapi ini semua nonalfabetik. Lewat pengulangan, sekali lagi, paku itu menjadi ada,” ujar Uecker.

Seniman, menurut Uecker, memang tidak selalu harus terlibat dengan realitas sosial-politik di sekelilingnya. ”Tetapi ada orang yang lebih dekat dengan kenyataan. Keindahan adalah percikan dari kenyataan. Jadi di mana seni dan di mana kenyataan? Di mana energi dan sumbernya? Apakah seni itu kosmetik dari dunia? Bagi saya puisi adalah puncak dari pencarian kesenian, dan dia energi itu sendiri,” tutur Uecker.

”Kalau ibarat gunung, puncaknya adalah puisi atau energi dan yang lain adalah kenyataan....”

Apakah karya-karya Anda sebuah puisi?

”Ah ini hanya sebuah usaha. Keindahan dari puisi, kalau orang mampu bernyanyi dan tertawa... ha-ha-ha,” Uecker tertawa lepas.

Hal paling jelas dalam pameran kelilingnya Uecker selalu menggunakan bahasa setempat untuk menuliskan kata-kata, ”lapar”, ”memukul”, ”menusuk”, ”mencakar”, ”mengikat”.... ”Ini semua kata-kata yang agresif...,” kata Uecker. Mungkin kata-kata itu jadi puisi yang melukai....

Sumber : Kompas, Sabtu, 6 Agustus 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks