Jun 12, 2009

Gatot Surono : Gatot dan Kemandirian Pertanian

Gatot dan Kemandirian Pertanian
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty

Di sela-sela kesibukan bertani, Gatot Surono (73) senantiasa menyediakan waktu untuk menularkan konsep dan cara bertani organik ke komunitas petani di berbagai tempat. Sebelum memanen padinya 12 Agustus lalu, misalnya, ia sempat berkunjung ke petani korban gempa di sejumlah daerah di Bantul, Sleman, dan Klaten.

Gatot memuaskan keinginan petani untuk mengenali kembali metode pertanian zaman nenek moyang yang bermodalkan kerja keras menggarap lahan dan alam. Apalagi, secara ekonomis, pertanian organik yang dikenalkan Gatot ini tidak membutuhkan dana besar, sehingga kloplah dengan kebutuhan petani yang ingin mencicipi keuntungan dari hasil keringat mengolah tanah.

"Bahan-bahan bertani organik sederhana saja. Petani tidak perlu beli. Cukup mengambil bahan dari alam yang ada di sekitar," ucap Gatot, saat mendampingi calon petani organik di Dusun Karang Wetan, Sleman, Yogyakarta.

Gatot yang asal Purbalingga, Jawa Tengah ini memaparkan, campuran sari nenas, kuning telur ayam kampung, dan gula bisa menjadi pupuk cair. Sedangkan daun-daun yang ditumpuk berselang-seling dengan kotoran hewan dan campuran effective microorganisme (EM) akan menjadi pupuk kompos. Masih banyak lagi ilmu yang ditularkan Gatot.

Dalam pandangan Gatot, tidak ada yang sulit dan mahal, karena bahan alami yang berdaya guna sesungguhnya ada di sekitar petani. Sayangnya, metode ini sudah lama dilupakan pemerintah, termasuk para petugas penyuluh lapangan.

Panggilan untuk menyebarkan pertanian yang berbasiskan kekayaan alam atau organik dilakukan Gatot sejak tahun 1999, atau 14 tahun setelah ia memulai pertanian organik. Ia tidak terikat bekerja untuk satu lembaga resmi mana pun. Kebanyakan dari pembelajaran pertanian organik dilakukannya atas permintaan berbagai pihak.

"Inti pertanian organik itu bukan dari pemakaian bahan nonkimia, melainkan dari perilaku petani yang mandiri dan tidak tergantung dari produk lain," ucap Gatot. Karena itulah, "kurikulum" yang dia sebarluaskan kepada petani bukan hal yang baku, melainkan sebuah pembelajaran berbasis kekayaan alam yang ada di sekitar komunitas bersangkutan.

Asal muasal ilmu pertanian organik tidak didapatkannya dari pendidikan formal, kendati ia pernah menjadi guru di Sekolah Rakyat Bukateja, tahun 1957-1965. Kemampuan untuk mengembangkan pertanian organik dia peroleh justru dari ketelatenan mengamati tanaman di sawah dan belajar dari pengalamannya sendiri bertani. Ia juga sempat berguru kepada petani organik di China, tahun 1959-1961, di sela-sela waktunya belajar tentang pendidikan di negeri Tirai Bambu itu.

Ilmu yang telah dia peroleh tidak hanya dia manfaatkan sendiri. Di Purbalingga, sejak 1996 hingga saat ini, Gatot mendampingi sekitar 30 kelompok tani. Jumlah ini belum termasuk kelompok-kelompok tani lain yang pernah didampinginya di berbagai kota.

Dampingi komunitas

Sebagai petani, tentu Gatot tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk mendampingi komunitas petani. Ia selalu menyediakan waktu untuk dirinya mengerjakan sawahnya sendiri, terutama saat menjelang pemupukan dan penyebaran benih. Di sawahlah Gatot menambah pengetahuannya tentang pertanian.

Sawah sewaan yang dia garap hanya seluas 3.500 meter persegi saja. Ia menggarap 3.000 m2 lahannya untuk padi konsumsi. Rata-rata hasil dari sawah yang 3.000 m2 itu mencapai satu ton beras sekali panen.

Sedangkan, 500 meter persegi sisanya dia gunakan untuk pelestarian bibit lokal sekaligus kepentingan studi. Gatot menanam sekitar 50 jenis bibit lokal di luasan lahan itu.

Hingga saat ini, setidaknya 70 jenis bibit pernah dikembangkannya sejak tahun 1990. Empat puluh jenis di antaranya dia kembangkan sendiri, sedangkan sisanya dilestarikan kelompok-kelompok tani dampingan.

Akrab sejak kecil

Petani yang akrab disapa Mbah Gatot ini sudah akrab dengan sawah sejak kecil, karena kedua orangtuanya adalah petani di Desa Taji, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah. Gatot kecil diberi tanggung jawab untuk menggembalakan ternak.

Suami Swastuti itu menghayati betul arti organik, yakni bahwa manusia harus bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Karena itu, tidak ada istilah bersantai-santai bila ingin makan hari ini.

Ketika Gatot memperkenalkan pertanian organik kepada sejumlah kelompok tani, sebagian petani enggan beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Menurut dia, pertanian konvensional telah memanjakan petani karena sebagian besar alat produksi pertanian dipasok lewat tenaga pabrik.

Sebaliknya, pertanian organik lebih mengandalkan tenaga dan kreativitas petani guna menyeimbangkan alam agar memberikan hasil untuk hidup bagi para petani.

Pertanian organik diyakini Gatot sebagai solusi pangan di Indonesia. Konsep kemandirian petani organik –yang hingga kini masih sulit diterima secara meluas—sebenarnya merupakan solusi bagi bangsa Indonesia yang sekarang ini terjerat dalam berbagai pola ketergantungan sistemik.

Sumber : Kompas, Rabu, 20 September 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks