Jun 12, 2009

Endang Witarsa : Om Endang Melatih di Usia 90

Om Endang Melatih di Usia 90
Oleh : Adi Prinantyo

Jika ada tokoh nasional yang lebih dari separuh hidupnya dibaktikan untuk sepak bola, salah satunya adalah drg Endang Witarsa. Bakti kepada sepak bola itulah yang membuat Om Endang—begitu panggilan akrabnya—tetap menyempatkan hadir di tengah peringatan 100 tahun Perkumpulan Olahraga Union Makes Strength, Jumat (22/9/2006), di Lapangan Petaksingkian, Jakarta Barat.

Endang, yang bernama asli Liem Soen Yoe, saat itu juga bersemangat menjabat tangan Ketua Umum KONI Agum Gumelar, sambil mengungkapkan protes terkait kemandekan prestasi nasional. "Bagaimana sepak bola kita sekarang? PSSI harus tanggung jawab lho", kata pelatih yang pada 4 Oktober 2006 berusia 90 tahun itu.

Ketika ditanya lebih jauh tentang kondisi sepak bola nasional, ia juga masih antusias untuk berbicara lebih jauh. "Tim nasional Indonesia harus sering-sering mengundang tim luar negeri untuk uji tanding di sini. Saya heran mengapa sekarang jarang sekali diadakan. Padahal, dahulu sering," ujar pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah itu.

Menurut Endang, mengadopsi teknik-teknik sepak bola luar negeri tidak cukup hanya dengan menyaksikan tayangan video mereka, atau mendatangkan pelatih dari negara itu. Akan tetapi, pembelajaran harus dilakukan dengan bermain melawan mereka.

Ia menduga, PSSI tidak pernah mengundang tim dari luar negeri karena takut rugi gara-gara hanya ada sedikit penonton yang datang. Jika itu yang dicemaskan PSSI, pengurus PSSI saat ini patut merenung dan berkaca pada pengurus masa lalu, yang bisa menghadirkan banyak penonton jika ada pertandingan tim luar negeri.

Lebih asyik jadi pelatih

Endang meraih gelar dokter gigi pada tahun 1942, di STOVIT Surabaya, kini Universitas Airlangga. Dalam praktiknya, gelar dokter gigi yang juga membuatnya diterima sebagai pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI), jarang sekali digunakan karena ia lebih asyik menjadi pelatih sepak bola. Karier sebagai pengajar di FKG UI pun belakangan ia tinggalkan juga.

Menurut Endang yang dikaruniai empat anak dan 11 cucu itu, ia suka bermain bola sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sejak saat itu pula ia suka mengamati pola permainan tim-tim luar negeri dan selalu ngotot hadir di stadion jika ada kesebelasan mancanegara berlaga di Indonesia.

"Saya pernah naik sepeda dari Kebumen menuju Semarang (sekitar 200 kilometer) karena ada kesebelasan dari China main di Semarang. Saya sempat menginap satu malam di Magelang dalam perjalanan itu," tutur Endang yang dikenal dengan konsep menyerang berpola 4-2-4 (empat bek, dua gelandang, empat penyerang).

Ilmu melatih sepak bola ia dalami secara otodidak. "Dari mengamati permainan tim-tim luar negeri, baik dari menonton langsung maupun lewat siaran teve yang masih jarang, saya jadi tahu permainan gaya Inggris yang mengutamakan tendangan keras sehingga butuh fisik mencukupi. Itu salah satu contoh," ujarnya.

Kiprah Endang sebagai pelatih mulai menemukan jalurnya, ketika berhasil membawa Union Makes Strength (UMS) menjadi juara kompetisi Persija selama dua tahun berturut-turut, yakni tahun 1960 dan 1961. Sejak saat itu ratusan pemain silih berganti datang dan pergi berlatih di Lapangan Petaksingkian UMS, dan mendapat polesan sang dokter.

Nama-nama besar seperti kiper andalan nasional 1960-1970-an Yudo Hadianto, Surya Lesmana, Gunawan, Reni Salaki, Mulyadi, striker Risdianto, Wahyu Tanoto, hingga Benny Dollo dan angkatan termuda Widodo Cahyono Putro telah hadir di UMS dan kemudian punya nama besar berkat Endang Witarsa.

Itu belum termasuk pemain-pemain nasional atau pemain klub non-UMS, yang juga pernah dibesut Endang, sewaktu yang bersangkutan menjadi pelatih nasional dan pelatih klub Warna Agung (tahun 1979). Di situ tercatat nama Ronny Pattinasarany, Rully Nere, serta Simson Rumahpasal.

Kenangan manis Endang antara lain saat memimpin tim nasional menjadi Juara Piala Aga Khan 1967 di Banglades, Piala Raja 1968 di Thailand, dan membawa klub Warna Agung juara Kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama), tahun 1979. Tahun 1981, Endang juga dipercaya menjadi Pelatih PSSI Utama menggantikan Harry Tjong, dalam kualifikasi Pra Piala Dunia.

Tetap melatih

Sangat mengesankan karena Endang yang sudah malang melintang sebagai pelatih sejak puluhan tahun lalu, hingga kini masih terus melatih. Om Endang dengan setia hadir di lapangan Petaksingkian tiap Senin, Selasa, dan Kamis. Ia melatih tim senior UMS—yang masih aktif menjadi anggota Persija Jakarta—sejak pukul 15.00 hingga pukul 18.00.

Sekarang pun UMS yang dibesut Endang masih berjaya di kompetisi Divisi Utama Persija yang diikuti 15 klub. Pada 2005 lalu, misalnya, UMS menjadi juara. Dan untuk musim kali ini, dari 11 pertandingan yang sudah dimainkan tiap klub, untuk sementara UMS memimpin.

Cara melatih Endang, menurut penuturan Sekretaris Yayasan UMS Michael D Chandra, masih sama seperti dahulu. Salah satu ciri khas yang masih melekat adalah karakter Endang yang tak sungkan-sungkan mengkritik dan mencela pemain yang tidak menjalankan instruksi pelatih.

"Kalau saya keras, bukan berarti benci si pemain. Justru karena saya sayang, maka dia harus saya bentak kalau salah. Dan siapa pun, tetap saya marahi kok. Tidak peduli apakah dia bintang di kesebelasan itu. Salah, ya tetap kena marah," ucap Endang tegas.

Ia menilai, faktor disiplin pemain menjadi salah satu yang harus diperbaiki dari sepak bola kita. Disiplin tak hanya dalam latihan di tingkat klub, tetapi juga dalam pemusatan latihan nasional (pelatnas). "Sekarang banyak pemain dipanggil masuk pelatnas, tetapi datang sesukanya. Heran juga mengapa PSSI tidak bisa kasih sanksi," katanya.

Sumber : Kompas, Kamis, 5 Oktober 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks