Jun 20, 2009

Franciscus Xaverius Seda : Ketika Pak Seda mudik...

Ketika Pak Seda Mudik...
Oleh : St Sularto

Ulang tahun ke-79 memang tidak seistimewa ulang tahun ke-50, apalagi ke-80. Namun, bagi Drs Franciscus Xaverius Seda, setiap ulang tahun harus diistimewakan.

Maka pada ulang tahun ke-79, tepatnya 4 Oktober 2005, dia ajak sejumlah rekannya di Jakarta, di antaranya Pak Jakob Oetama, merayakannya di Maumere, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mantan menteri sejumlah departemen, komisaris beberapa perusahaan, kolumnis—Pak Frans Seda—mudik.

Berbeda dengan perayaan ulang tahun selama ini, pesta mudik kali ini tidak menyertakan istri dan anak-anak. Pak Seda dan rombongan napak tilas ke Desa Lekebahi—sekitar 20 kilometer barat Maumere—tempat kelahiran dan kuburan leluhurnya. Bertemu dengan adik-adiknya di antaranya membahas soal pelimpahan tanah warisan untuk gereja setempat. Merayakan ulang tahun dengan misa syukur di Maumere, disusul peresmian Taman Bacaan Frans Cornelissen.

Di samping itu, dia juga meminta Pak Jakob Oetama menyampaikan ceramah di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere. Mengunjungi Larantuka, kota Rosario yang memiliki tradisi prosesi Jumat Suci, arak-arakan patung Maria keliling kota, tradisi yang terus dilestarikan dan menjadi daya tarik turisme sejak abad ke-16. Mengunjungi Biara Trapis di bukit terpencil sebalik Larantuka.

Jadilah, Pak Frans Seda mudik, tanggal 26-30 Oktober 2005. ”Ibu (Yohanna Pattinaya) kok tidak ikut, Pak?”

”Sedang sakit,” katanya.

”Anak-anak (Ery dan Nessa) tak ngawal?”

”Mereka tak bisa meninggalkan kesibukan.”

Itulah jawaban-jawaban singkat Pak Seda setiap ditanya soal mudiknya tanpa keluarga.

Cerita tentang kebesaran dan keelokan bumi Flores dan manusia Flores mengalir selama perjalanan. Pagi itu, dalam cuaca cerah dengan perbukitan hijau pada musim hujan, sepanjang perjalanan, panorama indah Pulau Flores tidak dia lewatkan.

Dalam perjalanan darat sesekali dia minta pengemudi menghentikan mobil. Dia borong buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalan antara Maumere dan Larantuka. ”Beli semua. Mereka tak punya apa-apa di sini. Nanti untuk para pater di biara,” katanya.

Pada lain kesempatan, dia minta mobil dihentikan lagi, hanya untuk menyapa orang-orang yang tengah duduk-duduk di pinggir jalan.

Kepada serombongan anak sekolah berseragam pramuka, dia sapa, ”Eh, kamu kelas berapa? Anggota pramuka harus bisa nyanyi. Nyanyikan lagu pramuka!”

Anak-anak kebingungan. Ketika didesak seorang rekan, ”nama bapak ini pasti kalian kenal”, baru mereka sadar berhadapan dengan ”orang besar”. Kemudian terdengar alunan lagu ”Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang.…”

Pak Seda pun ikut menyanyi dengan penuh semangat. ”Bagus-bagus, ini kalian bagi-bagi bertiga,” katanya sambil menyodorkan uang lima ribuan. Anak-anak itu bengong, berusaha mengingat-ingat siapakah ”bapak berprofil Flores yang baik hati itu”.

Makna pluralisme

Hari terakhir mudik, Sabtu (29/10/2005), menampakkan sepenggal sisi sosok Frans Seda. Dia rela dan senang digelari ”sesepuh”, sebutan yang berasal dari kosakata bahasa Jawa. Masuk akal sebab Pulau Jawa telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.

Setelah tamat sekolah rakyat di Ndao (Ende, Flores) tahun 1940, ia pergi ke Yogyakarta, berjuang keras, misalnya, pernah jadi tukang rumput dan penjual daging sambil bersekolah di SMP Bopkri. Sekolah guru di Muntilan akhirnya menjadi tempat kota berlabuh kedua di Jawa.

Di bawah asuhan Pater Van Lith—pastor Jesuit—Frans Seda semakin mengenal Indonesia bukanlah hanya Flores. Di asrama calon-calon guru yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia itu Frans Seda berkenalan dan mengakrabi makna pluralisme.

Gelar sarjana ekonomi diperoleh dari Katholike Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda, tahun 1956. Berlatar belakang pendidikan ekonomi, Frans Seda dikenal sebagai ekonom, yang produktif menulis artikel-artikel ekonomi, sampai sekarang. Ditambah minat dan keterlibatannya dalam politik praktis, terutama pernah menjadi Ketua Umum Partai Katolik (1961-1968), pemikiran-pemikirannya tentang masalah ekonomi selalu didekati secara politik, tidak ekonomis teknis.

Pengalamannya di bidang pemerintahan, di antaranya pernah menjadi menteri di empat departemen dalam rentang waktu yang berbeda-beda—terakhir sebagai penasihat presiden pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri—membuat Frans Seda jadi sumber bertanya berbagai pihak.

Mudik, menuju udik ke Flores, selama lima hari mengingatkan apa yang berkali-kali disampaikan Pak Frans Seda, ”Bung Karno menggelorakan semangat Merdeka atau Mati, kalau saya ingin agar Flores Merdeka dan tidak mati.”

”Saya masih ingin pergi lagi, mengajak teman-teman tahun depan,” katanya menambahkan.

Sumber : Kompas, Rabu, 9 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks