Whitaker dan "Roh" Idi Amin
Oleh : Frans Sartono
Aktor Forest Whitaker menerima Oscar untuk Aktor Terbaik lewat peran sebagai diktator Uganda, Idi Amin dalam film The Last King of Scotland arahan sutradara Kevin MacDonald. Itu penghargaan setimpal untuk aktor yang mengerahkan segala kemampuan untuk mewujud diri sebagai seorang Idi Amin.
Peran sebagai Idi Amin bagi Whitaker merupakan peran paling berat dalam kariernya selama ini. Lelaki kelahiran Texas, Amerika Serikat, 15 Juli 1961, ini melakukan riset mendalam selama tiga bulan tentang seluk-beluk per-idiamin-an. Untuk itu ia datang ke Uganda. Itu merupakan kali pertama aktor berdarah Afro-Amerika itu menjamah tanah Afrika.
Whitaker tinggal di kampung halaman Idi Amin. Ia berteduh di bawah pohon mangga tempat Amin kecil bermain. Ia mewawancarai sanak-kadang Idi Amin. Ia menemui bekas menteri dan jenderal dalam pemerintahan Presiden Amin. Juga para korban kebrutalan Amin saat berkuasa pada kurun tahun 1971-1979. Ia juga belajar bahasa Swahili, bahkan menguasai aksen Afrika Timur ala Idi Amin.
"Saya ke sana (Uganda) untuk memahami bagaimana rasanya menjadi orang Uganda. Saya merasakan makanan, kehidupan, dan cara mereka memperlakukan anak-anak, istri, dan pejabat," kata Whitaker.
"Saya duduk bersama saudara dari Idi Amin di bawah rimbun pohon mangga. Ia bercerita tentang siapa Idi Amin," tuturnya.
Whitaker menyerap segala masukan tentang Idi Amin. Sebagai aktor, ia mengolah masukan itu sebagai bagian dari kerja kesenian.
"Itu semua membantu saya dalam menggambarkan watak, sikap, dan pikiran dia (Amin). Begitulah selama 24 jam sehari, bahkan sampai dalam mimpi, saya telan habis-habisan karakter Idi Amin," kenang Whitaker.
Dalam memerankan tokoh, Whitaker berprinsip menyerap energi sang tokoh ke dalam jiwa. Ia berusaha agar karakter si tokoh masuk ke dalam dirinya lalu mewujud dalam bentuk gaya bicara, gerak tubuh (gesture), atau bahkan dalam hal memahami suatu hal.
Dalam memerani Idi Amin, Whitaker merasa seakan "roh" Idi Amin merasuk ke dalam seluruh jaringan sarafnya. Ia baru mampu melepaskan "roh" itu ketika pembuatan film rampung.
"Yang pertama saya lakukan adalah mandi. Saya bayangkan, dengan menggosok seluruh tubuh ini, saya telah membasuh dia dari jiwa saya. Saya berada di kamar sendirian. Saya berteriak-teriak untuk mengeluarkan suara dia dari kerongkongan saya. Dengan begitu saya mendapatkan suara saya kembali," kisah Whitaker.
Aktornya aktor
Menjadi seorang aktor, terlebih yang berkelas Oscar sama sekali tak dibayangkan Forest Steven Whitaker pada masa remaja. Berayah salesman asuransi dan beribu guru, pria bongsor bertinggi 189 sentimeter itu lebih tertarik menjadi atlet sepak bola Amerika (American football).
Ia jarang menonton film. Satu-satunya kesempatan menonton adalah jika keluarganya mengajak pergi ke drive-in— bioskop di lapangan terbuka tempat penonton menikmati film dari mobil. Whitaker kecil menonton dari jok belakang mobil keluarga.
"Membayangkan diri bermain film sama sekali tidak menjadi realitas kami dulu. Jadi, menerima penghargaan malam ini, saya teryakinkan bahwa hal itu mungkin," kata Whitaker saat menerima Oscar di Kodak Theatre, Hollywood, Minggu (25/2/2007) malam.
"Bukan keniscayaan bagi seorang bocah dari Texas Timur untuk bermimpi, menghayati impian, bersungguh-sungguh meraih, dan mewujudkannya," lanjut Whitaker, bapak empat anak.
Dari kemampuan sebagai atlet, Whitaker mendapat beasiswa ke di Politeknik California. Akan tetapi, karena cedera punggung, ia berganti haluan studi ke Konservatori Musik di Universitas California Selatan. Ia mengambil studi opera sebagai penyanyi tenor. Belakangan ia malah diterima di Konservatori Drama. Dari sinilah Whitaker menapak ke jagat seni peran.
Ia menerima peran pertama pada tahun 1982 lewat film layar lebar, Fast Time at Ridgemont High. Dalam 25 tahun perjalanan karier, ia bermain dalam sekitar 60 judul film layar lebar dan televisi. Dari perjalanan panjang itu, untuk pertama kalinya ia masuk unggulan Oscar lewat peran sebagai Idi Amin dan langsung meraihnya.
Lewat peran sebagai Idi Amin, Whitaker juga menerima 17 penghargaan aktor terbaik dari berbagai festival, termasuk Golden Globe, British Academy of Film and Television Arts (BAFTA). Gelar aktor terbaik pernah ia terima dari Festival Film Cannes, Perancis (1988), lewat perannya sebagai legenda jazz Charlie Parker dalam film Bird arahan Clint Eastwood.
Oscar menjadi "pengesah" kesenimanan Whitaker yang melihat akting sebagai kerja kesenian. Ia memersepsikan akting sebagai upaya menciptakan hubungan batin antara aktor, tokoh yang diperankan, serta audiens.
"Akting bagi saya adalah soal meyakini akan ikatan batin. Akan adanya terang pada setiap manusia. Ikatan batin itu kuat dan dalam hingga kita bisa merasakannya. Lewat kepercayaan kita yang menyatu, kita bisa menciptakan realitas baru," kata Whitaker di pentas Oscar.
Whitaker yang disebut-sebut sebagai "aktornya aktor" itu membuktikan bahwa akting adalah kerja kesenian. Bukan jualan tampang—yang tak pernah menghasilkan Oscar.
(REUTERS/IMDB)
Sumber : Kompas, Rabu, 28 Februari 2007
Jun 7, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment