Cek Ipah Mengembangkan Kerajinan Songket
Oleh : BM Lukita Grahadyarini
"SAYA ingin mendidik tahanan-tahanan perempuan supaya mereka punya keterampilan. Rasanya gila membayangkan mereka dikurung di penjara tanpa kesibukan."
PERKATAAN itu dituturkan Fatimah (70) atau biasa disapa dengan Cek Ipah, saat menceritakan pengalamannya mengajar pembuatan kain songket kepada narapidana (napi) perempuan di Lembaga Permasyarakatan Pakjo, Palembang, pada tahun 1989.
Di LP itulah ia mengajar sekitar 30 napi perempuan untuk menenun kain songket, kain yang konon merupakan simbol kekayaan masyarakat Palembang di masa lalu. Bahan-bahan untuk menenun kain songket, seperti benang dan alat tenun, dibawanya dari toko miliknya ke LP.
Ide untuk mengajarkan songket kepada narapidana diperolehnya ketika toko kerajinan songket miliknya didatangi petugas LP yang ingin membeli alat-alat pembuatan kain songket dari tokonya. Alat itu rencananya akan dipakai untuk sarana mengajar keterampilan songket kepada para narapidana.
Petugas LP itu tidak jadi membeli peralatan penenunan songket karena sebagai gantinya Cek Ipah memutuskan berbagi keterampilan pembuatan kain songket, kain yang diyakini merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7. Maka, mulailah dia mengajar para napi perempuan.
Pengajaran kain songket dilakukannya selama dua tahun, hingga tahun 1991. Para napi diajarkan membuat satu setel kain songket yang terdiri atas tumpal (kepala kain) dan selendang. Dari setiap setel songket, para napi diberi upah Rp 60.000 per setel.
Di tengah upayanya mengajarkan kerajinan kain songket, Cek Ipah mendapat penghargaan Upakarti dari Pemerintah Indonesia untuk jasa pengabdian dalam usaha pengembangan industri kecil kerajinan.
KERAJINAN songket adalah dunia yang ditekuni Cek Ipah ketika berhenti mengenyam pendidikan sekolah dasar pada usia 12 tahun. Ia belajar membuat kain songket dari ibunya, Khodijah. Kain songket palembang ketika itu identik dengan upacara-upacara dan perkawinan adat masyarakat Palembang.
Berbekal ketekunan, Fatimah mempelajari teknik menenun songket, menjahit, dan membuat motif. Pada usia 16 tahun dia menapak bisnis usaha kerajinan songket dengan bantuan modal dari orangtuanya. Songket yang semula hanya dijual kepada kalangan masyarakat Palembang, ketika itu mulai dia jual ke masyarakat di luar Palembang.
Untuk itu, dia merekrut sejumlah penduduk di sekitar rumahnya untuk mendukung usaha kerajinan songket miliknya di Kelurahan 30 Ilir, Palembang. Pada tahun 1975 ia mampu mempekerjakan sekitar 300 karyawan.
Dari usaha itu Cek Ipah mampu membiayai kebutuhan keluarganya. Kemandirian dan tidak ingin menyusahkan orangtua adalah modal utama lain yang mendorong dia mengembangkan bisnis kain songket.
"Awalnya saya dibantu modal oleh orangtua. Tetapi, setelah itu saya harus bisa berusaha sendiri, jangan sampai ibu saya mati karena dimintai uang terus oleh anak-anaknya," kata Cek Ipah yang merupakan anak ke-6 dari 10 bersaudara.
Bila melihat penghargaan yang diterima Fatimah sekarang, kita haruslah melihat perjuangan panjang perempuan ini. Terkadang Fatimah menyesal mengapa dia hanya berpendidikan sekolah dasar. Itu tidak lain karena orangtuanya masih memandang anak perempuan tidak usah bersekolah tinggi-tinggi.
"Anak perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi. Langsung kerja saja, membantu orangtua," begitu Cek Ipah menirukan pendapat orangtuanya dulu.
Pengalaman hidup kemudian mengajarkan kepada Fatimah bahwa keterampilan saja tidak cukup untuk mencapai kesuksesan. Untuk mengembangkan kerajinan songket, menurut Fatimah, diperlukan juga kemampuan membaca selera pasar serta manajemen dalam mengembangkan industri tersebut.
Kedua hal itu, menurut Cek Ipah, hanya dapat diperoleh melalui belajar di sekolah. Itu sebabnya dia berusaha keras menyekolahkan anak-anaknya hingga ke perguruan tinggi.
"Saya tidak mau anak-anak saya bodoh seperti saya. Kalau mereka mereka pintar, mereka pasti lebih berhasil dibandingkan dengan saya," ujar Cek Ipah.
Sepanjang hidupnya dia memang memegang teguh prinsip untuk menjadi lebih baik dengan bersikap disiplin dan kerja keras. Apalagi dia menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya sakit-sakitan. Prinsip itu pula yang ia terapkan. Ia merasa sedih bila ada anak yang hanya mengandalkan kekayaan orangtua untuk hidupnya.
Keuletannya menekuni usaha kain songket ini diikuti sembilan anaknya. Saat ini sedikitnya terdapat sembilan toko kerajinan kain songket yang dikelola anak-anaknya. Salah seorang anaknya, Zainal, menjadi pengusaha songket ternama di Jakarta.
Selain kerja keras, Cek Ipah juga tidak pelit membagi ilmu kepada anak buah. Sebagian karyawan yang pernah dia bina telah mengembangkan usaha kain songket secara mandiri. Kini, jumlah karyawan yang tersisa sekitar 40 orang. "Saya senang (karyawan menjadi pengusaha). Artinya mereka berani mengembangkan usaha kain songket sendiri. Keberanian itu adalah modal utama berusaha," kata Cek Ipah.
CEK Ipah memang kini tidak muda lagi. Pada usianya yang ke-70 tahun, nenek dari 35 cucu dan buyut dari 3 cicit ini tidak lagi menenun dan mengajarkan kerajinan kain songket karena penglihatannya mulai kabur.
Meskipun demikian, dia tetap mengikuti perkembangan industri songket palembang yang telah ditekuninya puluhan tahun. Dia menilai kerajinan kain songket mengalami sejumlah kemajuan yang, antara lain, dapat dilihat dari lahirnya puluhan motif baru hasil pengembangan generasi muda perajin kain songket.
Ia mengaku bangga dengan perkembangan kain songket palembang. Baginya, pertumbuhan usaha kain songket menunjukkan industri ini masih mendapat tempat dan perhatian di negeri sendiri sekalipun pemanfaatannya masih terbatas pada kain, hiasan dinding, kipas, dompet kecil, tempat perhiasan, dan lain-lain.
"Saya senang semakin banyaknya orang membuka usaha kain songket. Itu artinya peluang untuk maju lebih besar lagi, supaya peninggalan budaya ini dapat bertahan," katanya seraya tersenyum dan mengibas rambutnya yang putih. (BM Lukita Grahadyarini)
Sumber : Kompas, Senin, 13 Juni 2005
Jun 27, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment