Lebih Jauh dengan Achdiat K Mihardja
Pewawancara : Nasru Alam Aziz dan Gesit Ariyanto
LUAR biasa. Itulah ungkapan untuk menggambarkan penulis roman Atheis yang melegenda, Achdiat K Mihardja (94). Bukan saja karena romannya dicetak ulang 27 kali-tahun 1972 diterjemahkan dalam bahasa Inggris-atau pernah difilmkan dengan sutradara Sjuman Djaya (1974), tetapi juga karena ia masih berkarya di usia senjanya.
Ungkapan luar biasa digunakan sastrawan Taufiq Ismail dalam sambutan peluncuran kisah panjang (kispan) berjudul Manifesto Khalifatullah di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat, Selasa (7/7/2005).
Kekaguman pun muncul dari rekan-rekan sastrawan, seperti Ramadhan KH dan Ajip Rosidi, yang berselisih usia lebih dari sepuluh tahun dari "Aki"-begitu Achdiat menyebut dirinya. "Saya saja sudah merasa sulit membereskan satu novel saya," begitu Ramadhan (78) membandingkan dirinya.
Meskipun tidak dapat disebut sastrawan yang produktif, seperti diakui Aki, ia kembali menorehkan prestasi ketika sebagian besar rekan seusianya sudah tiada. Sepanjang sejarah sastra-budaya Indonesia, inilah satu-satunya pengarang yang masih menulis di usia hampir seabad. Karya terakhir sebelumnya, kumpulan dongeng Si Kabayan Manusia Lucu (1997).
Manifesto Khalifatullah bukanlah obsesi terakhir karier kepenulisannya. Ia sedang menyiapkan kumpulan tulisannya mengenai ketuhanan, filsafat, dan budaya berjudul Ki Separoh Plus Ki Setengah Sama Dengan Insan Kamil yang akan diterbitkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Ia juga ingin menulis autobiografi. "Pikiran harus selalu digunakan agar tetap sehat," kata sastrawan yang sejak tahun 1961 bermukim di Canberra, Australia, itu.
Sebutan Aki dipilih Achdiat untuk mengingatkan bahwa ia sudah tua. Ia tidak memilih sebutan kakek. Alasannya, "Enak kalau bunyinya Akiiiiii...begitu. Kalau kakek kelihatannya kurang enak saja (lalu tertawa)."
Di sela-sela kunjungannya di Jakarta, Achdiat masih mampu memenuhi permintaan wawancara khusus lebih dari dua media dalam sehari. Jalan pikirannya jelas, ingatannya kuat, pun masih mampu berjalan tanpa bantuan orang lain. Hanya saja, ia seolah tak bisa lepas dari tongkatnya.
Ditemui dalam dua kesempatan di hari yang berbeda, tak tampak kelelahan fisik yang berarti. Wajahnya tak berubah lelah, sesekali ia tertawa mengingat sesuatu yang berkesan. Kedua tangannya sering kali digerakkan untuk memberi penekanan. Apalagi ketika menjelaskan hal-hal menyangkut sekularisme dan ketuhanan.
Di kenangan bungsunya, Nuska Achdiat, ayahnya adalah pekerja keras, berego tinggi, pendebat, dan kutu buku sekaligus perenung.
APA aktivitas Anda di usia sekarang?
>is 30120m,<>
>is 25100m,<>
Kondisi tubuh Anda tetap sehat, bagaimana menjaganya?
Itu urusan Tuhan. Tuhan beri kesehatan Aki. Supaya sehat, Aki mengingat soal makanan, gerak badan, olah pikir, merenung, dan tentu sembahyang. Bagaimana bisa punya pendirian dan gagasan kalau pikiran tidak jalan lagi? Alhamdulillah pikiran Aki masih sehat walafiat dan tetap beriman kepada Tuhan.
Keimanan Aki yang kuat menyuruh Aki sebagai khalifatullah, wakil Tuhan di muka bumi ini, untuk menjalankan perintah-Nya dan mengelakkan yang dilarang.
Ada diet tertentu?
Biasa saja. Pagi sarapan cara Australia dengan corn flakes, sup, dan roti dua potong. Siang makan masakan Indonesia. Malam sandwich supaya enteng untuk perut. Buah juga teratur, reguler, terutama pisang. (Nuska yang duduk di sebelahnya menambahkan kalau ayahnya juga teratur minum vitamin seminggu tiga kali).
Selama wawancara berlangsung beberapa kali Achdiat memberi penekanan pada konsep khalifatullah, konsep yang katanya selalu ia renungkan. Konsep itu pula yang sedang disiapkannya dalam buku berikutnya.
Setelah Atheis (1949) dan Debu Cinta Bertebaran (1973), kenapa baru muncul Manifesto Khalifatullah? Tidakkah terlalu lama?
Aki kebetulan saja tidak produktif. Aki banyak membaca dan merenungkan soal-soal keagamaan dan buku-buku filsafat. Kalau Aki membuat karya, itu adalah sesuatu yang pasti penting. Tidak usah cepat-cepat berproduksi. Memang panjang jedanya, tetapi Aki berpendirian jangan asal menulis. Harus ada arti dan pesannya. Itulah hasilnya, Atheis, Debu Cinta Bertebaran, dan Manifesto Khalifatullah. Apa pentingnya? Bagi orang Islam, manusia itu ditugaskan sebagai khalifatullah, wakil Tuhan di muka bumi. Karya berikut Aki tengah susun, kispan juga, mengenai insan kamil atau manusia sempurna.
Karya-karya Anda menonjol muatan religius. Apa yang memengaruhi?
Keluarga saya saleh, terutama ayah. Ia intelektuil meskipun sekolahnya rendah. Buku-buku koleksinya ada karya Shakespeare, Karl Marx, dan banyak lagi. Lengkap untuk dibaca. Aki juga mendengarkan perbincangan orang-orang tua, termasuk ngelmu mengenai agama dari paman-paman dan saudara-saudara Aki.
Sesudah di AMS, sekolah menengah, Aki lebih banyak bergaul dengan orang-orang berlatar belakang agama macam-macam. Bukan saja Islam, tapi juga dengan orang Kristen, Katolik, Buddha, filsuf, dan banyak lagi. Ayah saya heran, ini anak imannya tipis sekali, mudah terpengaruh ajaran lain, tapi ternyata enggak. Banyak juga sendi-sendi yang bagus dari agama-agama lain itu. Maka, di buku terbaru salah satunya Aki ceritakan juga tentang Siddharta.
Apa yang melatari pesan ketuhanan atau kedekatan manusia dengan Tuhan, seperti dalam karya-karya Anda itu?
Aki percaya Tuhan menciptakan manusia dengan tugas, yakni mewakili Tuhan menjadi manusia sempurna yang baik, bukan jahat. Dalam karya-karya itu Aki jelaskan keadaan dunia internasional sekarang sekularistis.
Kita menentang sekularisme karena menyepelekan soal ketuhanan dan menyemarakkan kerakusan. Pancasila itu artinya bekerja sama dan toleran, bukan saling bersaing, seperti yang dilakukan oleh negara-negara sekuler.
Kondisi sekarang sudah bertentangan dengan tugas manusia sebagai khalifatullah?
Semua bertentangan. Khusus bagi kita orang Indonesia, bertentangan juga dengan Pancasila. Bagi Aki, Pancasila adalah sebagai dasar demokrasi dan nasionalisme yang berlandaskan ketuhanan yang maha esa.
Sejak kapan Anda mempersiapkan Manifesto Khalifatullah?
Sudah lama itu. Soal agama sudah lama ada di jiwa, di kandung badan, dan sanubari. Menulisnya sih gampang, dua-tiga bulan selesai.
Bagaimana proses pengerjaannya?
Aki dibantu seorang typist di Kantor Kedutaan RI di Canberra. Namanya Siti Fatimah, ahli komputer. Itu yang diperbantukan kedutaan besar kita di Australia kepada Aki. Gratis lagi. Tanpa bantuan kedutaan besar dan bagian kebudayaan kedutaan kita di sana, buku itu tak mungkin terbit.
KHUSUS mengenai karya terbaru Anda, Ramadhan KH menilai kualitasnya masih di bawah Atheis.
Tidak bisa disamakan. Di bawah dalam arti apa? Karena ini kan soalnya lain, meski dasarnya sama. Ketuhanan, komunisme, atheisme, dan khalifatullah, lain toh. Khalifatullah itu menentang sekularisme yang semiatheis. Sekularisme menyatakan bahwa Tuhan itu boleh saja ada, tapi tidak berati apa-apa bagi manusia. Itu bedanya dengan komunisme yang tidak mengakui keberadaan Tuhan.
Titik pentingnya adalah pada manusia yang sifatnya rakus. Rakus kekuasaan dan rakus bendawi. Karena kerakusan manusia, timbul persaingan antarmanusia. Kemudian sampai pada tingkat ideologi politik dan ekonomi antarnegara, akhirnya timbul kekacauan di mana-mana. Kita sebagai negara Pancasilais berketuhanan tidak mau begitu.
Kritikan lain, struktur narasi Manifesto Khalifatullah tidak sebagus Atheis.
Terserahlah. Pokoknya memang beda. Kondisi zamannya dan persoalannya berbeda. Sebagai tulisan tidak bisa disamakan, itu menyangkut selera dan subyektif. Bagi Aki yang pokok adalah efektivitas penyampaian pesan. Ternyata Atheis efektif sekali, dan Manifesto Khalifatullah belum tentu tidak efektif, dalam arti mendapat perhatian. Bahasa itu punya arti, bergantung pada maknanya, ekspresinya, atau pelukisannya.
Wakil Tuhan atau khalifatullah itu maknanya indah sekali. Tanpa bahasa romantis seperti si cebol merindukan bulan, ketuhanan itu sendiri sudah indah. Bukan zamannya lagi karya dengan bahasa berbunga-bunga dan berkembang-kembang. Aki dengan Pujangga Baru tidak mau lagi berpantun-pantun, bersyair-syair. Maunya bahasa Indonesia yang zakelijk.
Apa yang memengaruhi proses kreatif Anda ketika menulis Atheis?
Latar belakang Aki adalah pendidikan dan sastra, Sastra Belanda dan Sastra Eropa. Modern sekali masa itu. Jadi kalau Aki dibilang seperti menyepelekan bahasa, itu tidak betul. Kembali kepada apa yang melatari lahirnya Atheis. Pengaruhnya macam-macam, termasuk dari berbagai buku yang Aki baca waktu itu. Aki yang sosialis tidak setuju dengan komunisme yang didengung-dengungkan Soekarno dalam Nasakom. Partai Aki sendiri, Partai Sosialis Indonesia, oleh Soekarno dihantam dan dikutuk. Aki tidak bisa betah dalam suasana begitu.
Zaman itu, komunis sangat besar pengaruhnya. Jadi Aki terpikir, kok begitu. Aki memikirkan soal ketuhanan supaya orang kembali kepada Tuhan. Kan kita punya Pancasila yang berketuhanan.
Anda puas hasilnya?
Sungguh luar biasa. Aki bangga. Itu rekor dan tidak tersaingi di Indonesia. Sudah dicetak ulang 26 kali. (catatan Kompas tercetak ulang 27 kali).
Oya, kami dengar Atheis membuahkan ancaman pembunuhan. Bagaimana ceritanya?
Ooo...dulu, sekitar 50 tahun lalu ada surat kaleng. Isinya mengancam Aki akan dibunuh, tapi Aki tidak takut. Buang saja surat itu, ignore saja karena Aki menganggap penulisnya pengecut. Padahal, bisa terus terang toh. Pengirimnya dari daerah Pekalongan, daerah Islam. Itu nyata kalau salah pengertian toh. Aki yang antiatheis antikomunis, justru dianggap pro-atheisme. Itu karena kebodohan dan penakut (lalu tertawa).
Sebelum menghasilkan Atheis, Achdiat aktif sebagai wartawan di harian Bintang Timur. Di sana ia menulis artikel, cerpen, atau tulisan kecil-kecil yang aktual. Meskipun sudah muncul angkatan Pujangga Baru, Achdiat belum mengenal para tokohnya. Hanya akrab dengan karya mereka.
Pada zaman Jepang, ia banyak membaca karya Multatuli yang anti-Belanda, seperti Max Havelaar. Saat itu, ia aktif membuat ceramah dan sandiwara radio. Ia pun menulis sajak-sajak yang menyindir Jepang, tetapi bentuknya seperti anti-Belanda dan Amerika.
Aktivitasnya dalam dunia kesusastraan dan kebudayaan membuatnya terlibat dalam penerbitan buku Polemik Kebudayaan (1948). Ia juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Bagaimana Lekra berdiri?
Lekra itu begini. Masa itu Belanda akan kembali lagi. Kami sebagai nasionalis tulen atau fanatik barangkali, melihat Chairil mulai dekat dengan orang yang kami curigai sebagai mata-mata Belanda. Mereka sudah mendirikan grup Gelanggang.
Kami berpikir itu harus ditendang, maka kami bersama MS Ashar, Kelana Asmara, dan seorang lagi yang Aki sudah lupa namanya mendirikan Lekra. Lembaga itu tidak ada hubungan sama sekali dengan komunis, tetapi justru untuk menentang ancaman masuknya kembali Belanda. Kami terperanjat ketika enam bulan kemudian, kok Lekra dijadikan onderbouw PKI. Kok jadi begini. Aki sebagai orang PSI, bukan PKI, tentu menentang itu.
Bagaimana Lekra sampai berbalik haluan?
Barangkali kawan-kawan kita itu ada yang PKI, seperti Kelana Asmara, Sanyoto, Lukman, atau Aidit sendiri. Teman-teman Aki memang ada yang pro-PKI.
Apa reaksi Anda kemudian?
Aki pindah ke Australia tahun 1960-an. Habis itu tidak ada aktivitas apa pun di Lekra karena Aki mengajar di sana. Keberadaan Aki di Australia pun ada idealismenya. Dalam arti, Australia dengan Indonesia kan negara bertetangga, masak tidak saling mengerti.
Anda kecewa Lekra ke PKI?
Ya, sampai sekarang. Karena ketika Aki dirikan tidak ada kaitan apa pun dengan komunis atau PKI. Paling-paling dengan religius sosialisme. Aki orang PSI yang di dalam anggaran dasarnya menyebut-nyebut ketuhanan dan mendukung Pancasila yang ada pasal ketuhanannya itu.
Dalam sambutannya di depan publik, ia menekankan bila dirinya antisekularisme, antikomunis, dan antikedaerahan. Ia mengklaim beraliran sosialisme religius, seperti Bung Hatta.
Pilihan itu ditunjukkan dengan bergabung pada Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sjahrir. Ia juga turut mendirikan perkumpulan Indonesia Muda ketika masih sekolah menengah (AMS) di Solo, Jawa Tengah. Konsepnya, mengurangi semangat kedaerahan seperti yang muncul dalam sebutan "jong-jong" seperti dalam Kongres Pemuda 1928.
Bagaimana Anda memandang kondisi global sekarang?
Yang terjadi sekularisme. Amerika itu kan negara sekularis yang seolah-olah anti-Tuhan, terutama politik luar negeri dan politik ekonominya. Kalau sebagai bangsa, yang Aki tahu selama belajar di Amerika, mereka itu church going. Artinya, suka beribadah ke gereja. Itu formalnya, tapi melalui kebijakan politik luar negeri dan ekonominya bisa dilihat sendiri.
Di Indonesia?
Kalau kita terlalu kacau moralnya. Korupsi dan sebagainya. Kalau ketuhanan tinggi, maka moral juga tinggi. Korupsi itu kan sama dengan antiketuhanan. Itu moral rendah. Memang sudah terjadi sejak masa lalu.
Apa seharusnya peran karya sastra Indonesia yang harus dimainkan di tengah kondisi semacam itu?
Maaf ya, sejak Aki tidak mengajar sastra di Australia, Aki tidak mengikuti sama sekali perkembangan sastra di Indonesia. Aki tidak tahu siapa ini, siapa itu sastrawan yang seharusnya menonjol. Bukan Aki kurang perhatikan, tapi kalau sudah tidak mengajar buat apa.
Yang bisa dilakukan saat ini semestinya besar toh, tapi tidak tahu sampai di mana pengaruh sastra budaya, ahli kebudayaan. Semestinya ada. Kalau tidak? Buat apa bergerak di kebudayaan dan sastra? Buat apa? Mesti ada pengaruhnya.
SEJAK tidak aktif mengajar dan ketiga anaknya mandiri, masa tua Achdiat dihabiskan berdua saja dengan istrinya, Tati Suprapti Noor. Ketiga anaknya tinggal di Sydney dan Jakarta. Sesekali ia bolak-balik Jakarta-Canberra.
Sejak tahun 1961, Achdiat memboyong keluarganya berpindah ke Australia. Ia menerima tawaran sebagai dosen di Australia National University (ANU) dan mengajar sastra dan budaya Indonesia.
Apa pertimbangan Anda hingga menerima tawaran ANU?
Aki mula-mula tidak mau. Tapi dipikir-pikir, sastra budaya itu kan ciri khas manusia Indonesia. Dan, kita bertetangga dekat. Jadi agar rukun dan damai mesti ada saling pengertian antartetangga, saling menghargai. Jadi Aki terima saja supaya Aki mengerti orang Australia dan mereka mengerti orang Indonesia lewat Aki yang mengajar di universitas.
Alasan kedua, saat itu Aki kurang betah di Indonesia karena ideologi Nasakom. Bagi Aki, itu bejat. Kita kan tidak bisa satukan atheis sama orang berketuhanan. Aki tidak enak hidup di negara yang hipokrit. Tidak cocok. Jadi terima saja tawaran mengajar di Australia sambil bangun saling pengertian.
Respons terhadap peristiwa tahun 1965?
Aki sedih karena clash-nya jadi bersenjata, saling bunuh. Mestinya kan bisa biasa saja, berunding atau toleran. Silakan atheis atau komunis, tapi jangan ganggu orang yang percaya Tuhan. Kalau tidak percaya go ahead, tapi ukurannya jangan mengganggu. Tapi kok jadinya bersenjata. Menyedihkan sekali.
Kapan pensiun dari ANU?
Aki tidak pensiun, tapi keluar karena perbedaan pendapat dengan pimpinan sekitar tahun 1972. Itu masalah personal. Dia berpendirian yang Aki anggap menentang prinsip Aki. Tidak bisa bekerja sama kalau begitu. Keluar saja.
Terus?
Tidak mengajar lagi, tapi sering diundang untuk memberi kuliah di Australia atau Papua Niugini untuk pelajaran sastra. Juga di Ohio University, Amerika Serikat. Begitulah.
Ada keinginan kembali ke Indonesia?
Ah, sudah kepalanglah. Bolak-balik saja.
Obsesi Aki sekarang?
(Sambil tertawa)....Mengingat akan mati saja. Jadi Aki suka berpikir dan merenung, membaca soal kematian. Ada tulisan menarik dari seorang peraih Nobel tentang mati yang sempurna. Katanya, kalau kita hidup memuaskan dan sehat, pasti akan mati dengan baik. Dalam arti, tidak menderita ini itu seperti Queen Elizabeth yang mati di tempat tidur.
Ya yang macam begitu dan tidak ada faktor kecelakaan, drug addict, dan alkohol. Bagi Aki, mati sempurna itu kalau lagi sekarat kita ingat sama Tuhan.
Sumber : Kompas, Minggu, 12 Juni 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment