Jun 20, 2009

Fathurrahman Zakaria : Jack, Mengembangkan Lombok

Jack, Mengembangkan Lombok
Oleh : Khaerul Anwar

Mengungkap sejarah Lombok di Nusa Tenggara Barat ibarat memasuki lorong gelap dikarenakan terbatasnya referensi. Namun, Fathurrahman Zakaria (71 ) alias Pak Jack berupaya menerobos lorong gelap itu dan menuangkannya dalam dua buku karyanya.

Kita harus mulai menulis suasana abad ke-18, zaman revolusi di Lombok maupun Nusa Tenggara Barat, ujarnya. Kalau tidak, generasi muda akan kehilangan jejak.

Penulisan buku itu diawali dengan kegelisahan Jack yang mendapat banyak pertanyaan dari kalangan muda seputar sejarah lokal daerah, seperti bagaimana perjuangan rakyat Lombok melawan Belanda, asal nama Kota Mataram yang menjadi ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB) saat ini, dan lain-lain.

Dengan membongkar catatannya, ditambah pengalaman, pantauan, dan bertanya pada rekan- rekannya, Jack mencoba menjahit apa yang diketahuinya, yang lalu dituangkan lewat dua karyanya. Satu buku diberi judul Mozaik Budaya Orang Mataram, dan Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah. Kini dia masih mengumpulkan bahan untuk menulis tentang tradisi masyarakat etnis Sasak menunaikan ibadah haji.

Buku pertama mencoba memaparkan perjalanan Kota Mataram dari zaman Kerajaan Mataram di bawah Raja Karangasem Bali, yang menduduki Lombok tahun 1740, Pemerintah Kolonial Belanda, masa Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi dewasa ini. Buku kedua umumnya berisi seputar situasi perpolitikan nasional semasa Presiden Soekarno yang berpengaruh terhadap perpolitikan di daerah.

Isi buku-buku itu, meski menimbulkan banyak pertanyaan, namun dari aspek informasi agaknya dapat memberi gambaran tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya guna menelusuri lebih dalam mengenai sejarah.

Misalnya saja, soal nama Mataram, diduga berasal dari kata mata-aram (bahasa Sanskerta), yang berarti hiburan atau persembahan untuk ibu pertiwi. Seperti diketahui, kata Jack, nama Mataram mengingatkan pada kerajaan Mataram I (732-929) dan Mataram II (1586-1755) di Jawa.

Sekalipun raja yang berkuasa di Lombok tidak mempunyai kekeluargaan langsung atau kerja sama dengan kerajaan Mataram Jawa, namun Mas Poleng, seorang teknokrat yang dipercayai Raja Mataram Lombok saat itu, memahami bahwa yang dibangun adalah kerajaan aristokrat Bali (Hindu-Bali). Taman Mayura dan Pura Miru mungkin wujud falsafah Hindu-Bali tadi. Nama Mataram, oleh etnis Bali diucapkan Metaram, dan etnis Sasak menyebutnya dengan Mentaram.

Saat ini Mataram berkembang begitu pesat, namun berbagai persoalan terdahulu tetap menjadi penting diketahui, terutama di masa Orde Lama dan Orde Baru. Umpamanya soal kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan yang masih membalut kehidupan masyarakat. Busung lapar yang diberitakan media massa beberapa waktu lalu di Lombok adalah muara dari persoalan di atas. Kondisi itu diperparah dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Itu merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan, kata mantan Pemimpin Redaksi Harian Gelora Mataram (1962-1972) itu.

Prinsip kemajemukan

Ia punya andil dalam ”Perang Topat” yang kini dijadikan obyek wisata di Lombok. Kami menyediakan biaya untuk keperluan prosesi acara itu, ujar Jack yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pendapatan Lombok Barat.

Setelah itu, Jack ditunjuk sebagai Ketua Badan Pengembangan Pariwisata Lombok Barat. Wisatawan asing ke sini ingin menyaksikan apa yang tidak pernah dilihat di negara asalnya, katanya tentang strategi dan kiat mengembangkan pariwisata.

Ia menceritakan pengalamannya. Tahun 1989, ada rombongan wisatawan Belanda yang umumnya berusia sepuh datang ke Lombok. Dari negaranya, mereka ingin membuktikan sekaligus menyaksikan pohon kenari (Canarium commune) yang ditanam nenek moyang mereka saat berkuasa di Lombok (1897) di sepanjang jalan protokol dari Ampenan, Mataram hingga Cakranegara seperti Jalan Pejanggik dan Jalan Selaparang. Yang terjadi kemudian mereka tidak puas-puasnya memeluk pohon kenari itu, ceritanya.

Mataram dalam perkembangannya dihuni berbagai etnis, yang memberi corak tersendiri bagi rona kebudayaan dan kehidupan sosial kota itu. Prinsip kemajemukan, multikuralisme solidaritas sosial, saya kira harus menjadi pegangan kita, kalau kita ingin maju, ucap ayah tujuh putra-putri itu.

Pria kelahiran 12 Februari 1943 itu memberi contoh prinsip dimaksud dan dilakukan sampai saat ini di kampung kelahirannya, Lingkungan Peresak Timur, Kelurahan Pagutan, Kota Mataram, yang dihuni etnis Sasak dan Bali. Tradisi itu adalah saling jot, artinya saling memberi dan mengantarkan makanan saat etnis Sasak melaksanakan hari besar keagamaan (Idul Fitri). Etnis Sasak membalasnya dengan mengantarkan bahan makanan saat etnis Bali merayakan Galungan.

Sumber : Kompas, Selasa, 1 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks