Jun 25, 2009

Erni Munir : Erni, Bidan Penolong Sesama di Aceh

Erni, Bidan Penolong Sesama di Aceh
Oleh : Agnes Suharsiningsih

Saya tetap akan mengabdikan diri saya di Aceh. Tempat ini sudah seperti kampung halaman saya, tegas Erni Munir, seorang bidan berdarah Minang yang sudah menetap di Aceh selama 21 tahun. Bahkan, pengalaman pahit, mungkin terpahit, perempuan berkerudung itu sudah menjadi satu dengan tanah Aceh.

Sosok ibu empat anak ini memang tegar. Meski telah kehilangan suami dan tiga anak perempuannya dalam bencana tsunami 26 Desember 2004, Erni dengan pasti dan yakin mengatakan tidak akan meninggalkan Aceh. Atau tetap membaktikan keahliannya sebagai bidan di Bumi Rencong itu.

Keikhlasan Erni melayani masyarakat Aceh di tengah upayanya mengatasi kegalauan pribadi karena jenazah suami dan tiga putrinya tidak kunjung ditemukan membuahkan hasil yang memang pantas disandangnya. Tanggal 2 Agustus lalu, wanita berkacamata ini mendapatkan penghargaan dari The White Ribbon Alliance for Safe Motherhood.

Penghargaan atas jasanya menyelamatkan ibu melahirkan ditentukan dalam pertemuan ke-32 Health Council Conference di Washington DC. Selanjutnya penghargaan diserahkan kepada Erni oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada acara Pertemuan Regional Aliansi Pita Putih Se-Asia Pasifik di Denpasar, Bali, 1-5 Agustus.

Baginya, penghargaan itu merupakan cambuk untuk bekerja lebih baik. Katanya, bekerja melayani orang lain membuatnya bertahan hidup. Pekerjaan ini menumbuhkan kembali semangat hidup saya. Saya jadi semakin sadar bahwa masih banyak orang yang memerlukan pertolongan saya, apalagi anak sulung saya yang selamat dari bencana itu juga masih memerlukan dampingan saya, ujar Erni sambil menahan air matanya.

Pembicaraan di sela pertemuan regional itu membuka kembali kenangan akan dahsyatnya bencana tsunami. Bersama suami dan tiga anak perempuannya, Erni tinggal di Jalan Sisingamangaraja, Lampulo, Banda Aceh. Wilayah itu tersapu habis oleh tsunami dari laut yang jaraknya sekitar 2,5 kilometer. Daerah permukiman nelayan yang semula berpenduduk 6.800 jiwa itu kini hanya tersisa 2.100 jiwa.

Saat itu saya, suami, dan anak-anak sedang di rumah. Tiba-tiba ada gempa. Tidak lama setelah itu, orang-orang berteriak menyuruh lari. Baru sempat kami lari sekitar lima ratus meter, tiba-tiba air laut menerjang kami. Kami tergulung di dalamnya, saya terpisah dari suami dan anak-anak saya, kenangnya.

Di tengah kebingungannya tentang apa yang terjadi, perempuan kelahiran Bukittinggi, 14 September 1956, itu kehilangan suami Dr Erwin Nurdin MS dan tiga putrinya, Lydia (22), yang saat itu berstatus mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala Banda Aceh semester VIII; Ilona (17), siswi kelas III SMA III Banda Aceh; dan Diana (10), siswi kelas V SD 20 Banda Aceh.

Erni selamat, namun harus rela kehilangan orang-orang yang dicintainya. Meski begitu, ia tetap berharap suami dan anak-anaknya selamat. Harapan ini tumbuh karena hingga kini dia belum menemukan jasad mereka.

Anak sulungnya, Yudha Nurdin (26), saat bencana tsunami datang sedang berada di Bandung. Mahasiswa Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung itu mau tidak mau harus berjuang menerima kenyataan, kehilangan ayah dan tiga adik perempuannya.

Ibu dan anak yang selamat dari bencana itu kini terlihat tabah. Keakraban dan sikap saling mendukung terlihat jelas di antara mereka. Saat menerima penghargaan di Sanur, Bali, Erni ditemani oleh putranya. Kebahagiaan dan rasa haru hinggap dalam diri bidan itu.

Mama mendapat penghargaan bukan karena derita mama, tapi karena mama sanggup bangkit dari pengalaman buruk dan tetap mengabdikan diri kepada mereka yang membutuhkan keahlian mama, kata Yudha.

Pelayanan gratis

Bidan yang pernah mendampingi tugas suami sebagai duta besar di Thailand selama dua tahun setelah pernikahan mereka tahun 1978 itu kini membuka praktik di Jalan Imum Lueng Bata, Banda Aceh. Bersama enam anggota staf bidan, Erni membantu ibu yang hendak melahirkan dan juga memberikan pelayanan pengobatan dasar.

Tepatnya tanggal 11 Februari 2005, Erni membuka tempat praktik tersebut. Tempat yang disebut BPS (Bidan Praktek Swasta) itu berupa ruko (rumah toko). Di ruko itu pulalah kini Erni tinggal dan bekerja bersama stafnya.

Selama tiga bulan mereka memberikan pelayanan gratis kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis. Setelah tiga bulan berlalu, BPS tersebut kemudian menetapkan biaya bagi pasien. Namun, untuk pasien yang benar-benar tidak mampu, terlebih mereka yang menjadi korban tsunami, Erni tak menarik biaya sepeser pun.

Pascatsunami, Erni dan staf bidan yang ada di kliniknya sudah menolong 15 persalinan. Sementara pasien dengan keperluan pengobatan dasar sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Menurut Erni, sekitar 80 persen pasien yang datang ke kliniknya merupakan korban tsunami.

Berbagai bantuan mengalir ke klinik Erni, antara lain peralatan dan obat-obatan yang dikirim oleh sesama pelatih Asuhan Persalinan Normal dari Cirebon dan Jakarta. Sementara obat-obatan keluarga berencana dibantu oleh Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia.

Saya memang kehilangan suami dan tiga anak perempuan saya. Tapi saya tetap hidup. Ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan kepada saya untuk menolong sesama sesuai keahlian saya, ucap Erni tegar.

Sumber : Kompas, Jumat, 12 Agustus 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks