Jun 12, 2009

Basyarudin Thayib : Ubah Mitos Sekolah Pinggiran

Ubah Mitos Sekolah Pinggiran
Oleh : P Bambang Wisudo

Basyarudin Thayib (55) bukan kepala sekolah biasa. Berkat kepemimpinannya, SMA Plus PGRI Cibinong yang terletak di tengah perkampungan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini berkembang menjadi sekolah yang menjanjikan. Mitos sekolah PGRI alias Persatuan Guru Republik Indonesia sebagai sekolah pinggiran telah dipatahkannya.

Sekolah ini merupakan model sekolah rakyat yang mampu menjawab tantangan zaman. Dengan anggaran terbatas, sekolah ini dapat menerobos menjadi sekolah yang unggul dalam teknologi informasi.

Dua puluh lima tahun lalu sekolah ini berjalan nyaris tanpa modal. Gedungnya menumpang. Papan tulisnya pun meminjam. Jumlah muridnya tidak lebih dari 48 orang. Saat itu tidak ada yang mengira sekolah itu bisa berkembang menjadi sekolah seperti sekarang.

Keadaan yang serba terbatas itu justru membuat Basyarudin tertantang. Ia memilih bergelut dengan sekolah pinggiran itu daripada menggenggam erat statusnya sebagai guru pegawai negeri. Basyarudin yakin dapat mewujudkan mimpinya untuk menjadikan SMA PGRI Cibinong menjadi sekolah yang diperhitungkan.

Berawal dari tanah yang dibeli dari dana yang disisihkan dari uang sekolah dan membangun dengan utang, secara fisik kini SMA Plus PGRI Cibinong tidak kalah dibanding sekolah-sekolah papan atas.

Sekolah itu bahkan memiliki gedung khusus yang didedikasikan untuk pengembangan teknologi informasi. Ruang gurunya tergolong mewah karena bisa siap sewaktu-waktu dipakai untuk simposium. Halaman tengah sekolah dipenuhi pohon-pohon rindang yang dimanfaatkan untuk kegiatan belajar-mengajar di alam terbuka.

"Sekolah kami ini sekolah abnormal. Biasanya ada yayasan punya duit, bangun gedung, dan kepala sekolah tinggal menerima kuncinya. Sekolah PGRI tumbuh dari bawah, tidak ada sumber dari yayasan," tutur Basyarudin.

Belajar terus

Basyarudin tidak lahir dari keluarga berpendidikan. Anak bertiga saudara dari seorang petani buta huruf di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, ini dikenal ulet.

Dari orangtuanyalah ia memperoleh dorongan untuk terus belajar. Sejak SD sampai SMA ia pergi-pulang ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer. Di sela-sela kegiatan bersekolah ia memelihara kerbau untuk tabungan pendidikannya. Terpesona terhadap guru sejarahnya, Basyarudin muda bercita-cita jadi guru.

Lulus SMA, ia menjual empat kerbaunya untuk merantau ke Jawa. Dengan dana yang terbatas ia memilih mengambil program studi diploma 3 di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung. Ia diangkat menjadi guru pegawai negeri pada 1977 di SMA Negeri 1 Bogor filial Cibinong. Siang hari ia merangkap mengajar di SMA PGRI Cibinong yang dulu menumpang di sekolah itu.

Tidak puas oleh pendidikannya, Basyarudin mengajukan permohonan melanjutkan studi. Ia sempat mengajukan pengunduran diri ketika permohonan itu ditolak. Izin akhirnya diperoleh. Ia kuliah sembari mengajar. Untuk menghemat pengeluaran, ia harus menginap di Masjid Kampus IKIP Negeri Jakarta.

Keuletan dan latar belakang pendidikan ekonomi membuat Basyarudin piawai mengelola sumber-sumber dana di sekolah. Sejak ia ditunjuk jadi kepala sekolah pada 1982 sampai sekarang, SMA PGRI Plus tidak pernah berhenti membangun. Setelah fisik tertata, Basyarudin membuat lompatan dengan memberlakukan metode pembelajaran kuantum di sekolahnya.

Kini, tidak ada lagi guru yang menghabiskan waktu mengajarnya dengan berceramah di depan kelas. Siswa bebas mengajukan pendapat dan bertanya. Murid diberi kesempatan mengembangkan diri dalam kegiatan kesenian dan keterampilan sesuai bakat dan minat masing-masing.

"Kalau di sekolah umumnya di dalam kelas, kalau tidak mendikte, guru menulis di papan tulis dan anak mencatat. Atau, seorang anak disuruh mencatat di papan tulis, anak-anak lain menyalin, gurunya baca koran. Celakanya lagi, anak-anaknya disuruh mencatat, guru tidak ada di dalam kelas. Kegiatan belajar-mengajar kita tidak jauh dari itu. Bagaimana anak-anak kita bisa kreatif?" papar Basyarudin.

Bapak dari tiga anak ini lebih mirip seorang manajer daripada birokrat. Ia terus bergerak tanpa harus ada juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis). Terobosan dibuat Basyarudin ketika berkenalan dengan Suparno Midi (46), seorang otodidak dalam bidang komputer.

Tanpa ragu-ragu ia merekrut Suparno dan dijadikan "tangan kanannya" untuk mengembangkan teknologi informasi di sekolahnya. Suparno yang tidak berijazah perguruan tinggi mampu membangun pembelajaran alternatif teknologi informasi dengan biaya murah. SMA PGRI Plus merupakan contoh perguruan rakyat yang memberikan pelayanan pendidikan yang baik, unggul dalam teknologi informasi, tanpa embel-embel biaya mahal.

Di sela-sela kesibukannya memimpin sekolah, Basyarudin terus belajar. Dua gurunya dibiayai sekolahnya untuk mengambil program studi pascasarjana di bidang komputer dan manajemen pendidikan. Basyarudin sendiri kini mengikuti program studi doktor di Universitas Negeri Jakarta, sekalipun tidak lama lagi ia akan memasuki masa pensiun.

"Saya ingin memberikan contoh, sudah tua pun saya masih sekolah. Pembelajaran yang tidak pernah berhenti dibutuhkan untuk seorang guru," papar Basyarudin.

Sumber : Kompas, Jumat, 6 Oktober 2006

1 comments:

Ef Nano said...

Kepala Sekolah yang hebat. Bukti bahwa pemimpin yang baik terlihat dari kepemimpinannya.

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks