Jun 18, 2009

Eliza Kissya, Penjaga Adat dan Hutan Haruku

Eliza Kissya, Penjaga Adat dan Hutan Haruku
Oleh : M Zaid Wahyudi

Tatapannya tajam. Nada bicaranya tegas. Apalagi menyangkut pelestarian lingkungan dan perjuangan masyarakat adat. Dia tak peduli walau pekerjaannya penuh tekanan, berisiko tinggi, dan tak menghasilkan gaji.

Kecintaan Eliza Kissya untuk melestarikan lingkungan dan adat di Pulau Haruku justru mengalahkan ketakutan dan stres yang dialaminya selama ini. Pria yang disapa Om Ely itu adalah kepala kewang (polisi hutan) di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku.

Negeri adalah sebutan lain dari ”desa” di Maluku bagian tengah yang meliputi Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease. Ely adalah generasi keenam dari keluarga kewang di Haruku.

Tekanan berat yang dihadapi Ely sering kali membuatnya stres. Bahkan, Elizabeth, sang istri, dan anak-anaknya pernah memintanya untuk mengundurkan diri dari profesi itu. Terlebih lagi, banyak waktu keluarga terbuang oleh kesibukan Ely yang justru menimbulkan tekanan bagi dirinya.

Namun, beban moral untuk terus melestarikan adat tradisi dan kelestarian lingkungan membuatnya terus bertahan. Keluarga akhirnya pasrah dan mendukung keteguhan hatinya.

Tanggung jawab banyak

Ely yang lahir pada 12 Maret 1949 itu sudah 26 tahun menjadi kepala kewang, yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Profesi itu seharusnya jatuh ke tangan kakaknya. Namun, karena kakaknya telah menjadi sekretaris desa, maka ia yang ditunjuk mewakili marganya untuk menjadi kewang.

Tanggung jawab untuk melestarikan adat leluhur menjadi dorongan kuat bagi Ely untuk mau menjadi kewang. Tugas sebagai kepala kewang bukanlah hal yang mudah. Meskipun namanya polisi hutan, kewang di Negeri Haruku bukan hanya bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan, melainkan juga menjaga kelestarian sumber daya laut.

Kewang juga berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara norma susila, serta menegakkan hukum adat atas setiap pelanggaran aturan yang ada sejak zaman nenek moyang mereka.

Tantangan terberatnya sebagai seorang pemangku adat adalah tidak adanya pengakuan legal pemerintah atas sistem adat yang berlaku di negerinya. Pemberlakuan sistem desa di masa Orde Baru telah mengikis sebagian norma adat di sejumlah daerah, termasuk di Haruku.

Runyamnya penghargaan dan pemahaman anak muda terhadap sistem adat yang berlaku di daerah sangatlah kurang. Demikian pula penghargaan mereka atas profesi para pemangku adat. Tidak berlebihan bila Ely cemas, siapa yang akan meneruskan tugas mulia yang kini diembannya.

Tugas seorang kewang memang berat. Untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati di wilayah perairan di zaman modern ini, para kewang harus berhadapan dengan para nelayan yang menggunakan bom ikan dan pemakaian mata jaring yang dapat menangkap benih-benih ikan.

Padahal, peralatan kewang sangatlah minim. Apalagi kewenangannya yang sangat terbatas membuat para kewang Haruku tidak dapat memberi sanksi kepada nelayan dari desa lain. Untuk menjaga ketertiban masyarakat, para kewang tidak hanya berpatroli keliling desa, tetapi juga harus menyelenggarakan peradilan adat untuk menghukum mereka yang melanggar ketentuan adat.

Masa-masa sulit yang dihadapi Ely adalah saat ia harus menjadi saksi dalam persidangan di pengadilan negeri atas kasus penangkapan ikan dengan bom. Selain menghadapi tekanan, Ely harus dikecewakan dengan vonis ringan yang dijatuhkan pengadilan terhadap perusak lingkungan tersebut. Upaya yang ia lakukan bersama para kewang lainnya terasa sia-sia.

Penghargaan

Bercermin dari kasus itu, Ely mengubah langkahnya. Seiring usia yang semakin matang, Ely memilih menggunakan cara-cara yang lebih lembut dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Menanamkan pentingnya arti lingkungan kepada masyarakat, terutama kaum muda, menjadi pilihan perjuangan Ely saat ini. ”Saya hanya berharap anak-anak muda untuk mencintai lingkungannya,” kata Ely.

Upaya para kewang menjaga kelestarian sumber daya hayati Haruku diakui pemerintah berupa penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan pada tahun 1985 dan Satya Lencana Pembangunan tahun 1999.

Pengakuan pemerintah atas sistem pemerintahan adat dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebahagiaan terbesar yang dirasakan Ely.

Pengakuan sistem pemerintahan adat memacu sejumlah desa di Maluku untuk kembali pada sistem pemerintahan adat setingkat desa, seperti ”negeri” untuk desa-desa di Maluku bagian tengah atau ”ohoy” di Maluku Tenggara.

”Saya lega bila apa yang saya perjuangkan berhasil tercapai,” ujar Ely.

Meskipun hanya tamatan sekolah dasar, Ely mempunyai cita-cita dan pemikiran yang maju. Kelestarian lingkungan harus tetap dipertahankan karena mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara berkelanjutan.

Menyadari pekerjaannya tak bergaji, dia pun menanam cengkeh, singkong, dan aneka sayur-mayur. Memang, hasil kebun terkadang tidak cukup. Namun, dengan kegigihannya, Ely mampu membesarkan enam anaknya yang beberapa di antaranya berhasil mengenyam pendidikan tinggi.

Bahkan, kini dibantu anak dan beberapa tenaga kerja, Ely menekuni pengembangan budidaya sayuran organik dan mengembangkan wisata budaya di desanya. ”Saya bahagia bisa menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri dan orang lain,” kata Ely.

Sumber : Kompas, Kamis, 23 Maret 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks