Profesor Muda Eko Prasojo
Oleh : R Adhi Kusumaputra
Anggapan bahwa profesor atau guru besar adalah dosen tua menjelang pensiun dan berkaca mata tebal, kini sudah lama ditinggalkan. Sekarang, banyak dosen-dosen muda yang menyandang gelar profesor. Salah satunya adalah Eko Prasojo (36), yang saat ini menjabat Ketua Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
Bersama Eko, Rabu (13/9/2006) lalu dikukuhkan pula Prof Dr Safrie Nugraha (44), guru besar tetap Fakultas Hukum UI. Eko yang hari itu ditetapkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Administrasi Pemerintahan Daerah FISIP UI tercatat sebagai profesor termuda dalam sejarah FISIP Universitas Indonesia, dalam usia 35 tahun 11 bulan dan 10 hari.
"Saya akan mengisinya dengan menyumbang karya-karya ilmiah yang bermanfaat bagi bangsa dan negara," ujar Eko yang juga anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi Pemilu kepada Kompas sehari menjelang pengukuhannya.
Dalam perbincangan itu, Eko yang juga konsultan GTZ Support For Good Governance (SFGG), bantuan Jerman untuk Indonesia itu, mengaku sangat menikmati pekerjaannya. "Mentransfer ilmu kepada mahasiswa, memberi kontribusi kepada pemerintah. Mitra saya Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Kementerian Dalam Negeri," ungkap mantan Ketua Senat Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia periode 1993-1994.
Eko lahir 21 Juli 1970 di Kijang, Kepulauan Riau, dari pasangan Sanen Martowikromo (75), pensiunan PT Aneka Tambang Unit Bauksit di Riau, dan Ny Yatini (69). Ia menamatkan pendidikan S-1 di FISIP UI tahun 1995 dengan predikat cumlaude.
Tahun 1998-2003, Eko melanjutkan pendidikan ke Jerman atas beasiswa DAAD (Germans Student Exchange Service) untuk program master. Sementara gelar doktor di Bidang Ilmu Administrasi Publik diraihnya di Deutsche Hochschule für Verwaltungswissenschaften Speyer (Program Pascasarjana Administrasi Publik Speyer). Kedua gelar akademis itu juga diraih dengan predikat cumlaude.
Master Administrasi Publik diselesaikannya tahun 2000 dengan tesis "Hubungan Keuangan antara Federal dan Negara Bagian di Jerman". Sementara Doktor Administrasi Publik diraihnya tahun 2003 dengan disertasi bertajuk "Federalisme di Jerman dan Swiss: Apa yang Bisa Dipelajari untuk Indonesia". Disertasinya kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Politische Dezentralisierung in Indonesien (2003) oleh Peter Lang Publisher, Frankfurt, Jerman.
Pulang dari Jerman, Eko menjadi lektor dan dua tahun kemudian diangkat menjadi guru besar. "Saya mengejar itu karena peraturannya memang memungkinkan," ungkap suami Ir Ceffi Jenivita dan ayah Umniah Salsabila Prasojo (8) ini.
Hubungan pusat-daerah
Sejauh ini, sudah delapan karyanya dipublikasikan dalam buku, 30 karya ilmiah dalam jurnal, belum termasuk artikelnya dalam surat kabar dan majalah. Beberapa bukunya adalah Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis terhadap Pemilu 2004 dan Good Governance di Indonesia (2005), serta Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktur (2006).
Saat pengukuhan sebagai guru besar tetap bidang Ilmu Administrasi Publik pada FISIP UI, Eko menyampaikan pidatonya dengan judul "Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme".
Ada dua alasan utama yang menyebabkan Eko tertarik dengan judul itu. Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah masalah nasional yang sangat kritis, yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis).
Hubungan dinamis yang kritis ini, menurut Eko, acapkali menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi rusuh dan hancurnya eksistensi sebuah negara.
Kedua, dalam wacana akademik, gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam perjalanan negara dan bangsa Indonesia.
"Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami semata-mata sebagai kontra negara kesatuan atau keinginan untuk mendirikan negara federal. Pandangan ini tentu saja keliru," papar Eko.
Perjalanan panjang penelitiannya dan perenungan mendalam ihwal hubungan pusat dan daerah mengarahkannya pada kesimpulan bahwa praktik otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 jo UU No 32/2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi yang berlebihan di kabupaten dan kota.
"Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah. Ketentuan Pasal 4 Ayat 2 UU No 22/1999 yang menyebutkan tidak adanya hierarki satu sama lain antara provinsi dan kabupaten/kota, dalam praktiknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi gubernur sebagai wakil pusat di daerah," ujarnya.
Hubungan antara pemerintah kabupaten dan kota ke pusat secara langsung dilakukan tanpa lewat gubernur. Sehingga, kata Eko, ada kesan corak pemerintahan menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat provinsi.
Eko berpendapat, konsensus menghilangkan status daerah administratif di tingkat kabupaten dan kota, dan keinginan untuk tetap mempertahankan dual role dan dual status dari gubernur, harus diikuti dengan penguatan peran gubernur sebagai wakil pusat di daerah.
Jadi, menurut Eko, para bupati dan wali kota tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini karena locus otonomi daerah harus tetap berada di kabupaten dan kota.
"Pemikiran ini sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan mempercayakan gubernur melakukan tugas-tugas koordinasi, pengawasan, dan pembinaan terhadap kabupaten dan kota di wilayahnya," ujar Eko Prasojo.
Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara pusat dan daerah berdasarkan UU No 22/1999 dan juga UU No 32/2004 adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antartingkatan pemerintahan.
"Ketidakjelasan model pembagian kewenangan berdasarkan fungsi antartingkat pemerintahan memiliki dua wajah. Pada sektor yang bersifat profit sering kali terjadi tumpang tindih antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Sedangkan pada sektor bersifat pembiayaan sering terjadi kevakuman kewenangan," ungkap Eko.
Untuk mengatasi problem itu, Eko mengusulkan pembagian kewenangan dikembangkan menjadi tujuh, yaitu kewenangan mengatur oleh pusat, oleh provinsi, oleh kabupaten/kota, kewenangan mengurus terkait desentralisasi dan dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan sentralisasi.
Sumber : Kompas, Sabtu, 16 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment