Jun 25, 2009

Martin King yang Sangat Sampoerna

Martin King yang Sangat Sampoerna
Oleh: Pieter P Gero dan Ardhian Novianto

Sangat berbeda apa yang dilakukan Philip Morris begitu mengambil alih hampir seluruh saham milik perusahaan rokok PT HM Sampoerna. Jika perusahaan multinasional praktis meleburkan nama atau mencantumkan nama besar mereka pada logo atau produk perusahaan yang diakuisisinya, Philip Morris malah sebaliknya.

Setidaknya langkah Philip Morris itu terlihat pada Martin King yang kini dipercaya menjadi Presiden Direktur PT HM Sampoerna. Martin sehari-hari mengenakan seragam hitam-hitam dengan logo Sampoerna di dada kirinya. Hal serupa juga dilakukan 14 anggota staf asal Philip Morris yang kini terlibat di HM Sampoerna.

Saya bangga mengenakan seragam HM Sampoerna karena citra dan nama besar perusahaan ini sudah sangat bagus. Jadi tidak ada yang perlu dirombak, termasuk tetap mempertahankan rokok sigaret keretek keluaran Sampoerna yang khas, ujarnya saat ditemui di Jakarta, dua pekan lalu.

Martin yang kelahiran Virginia, Amerika Serikat (AS), dan bergabung dengan Philip Morris sejak tahun 1991 ini memang sudah sangat Sampoerna. Investasi sebesar 5 miliar dollar AS dengan membeli perusahaan rokok PT HM Sampoerna Tbk yang hanya bernilai sekitar 1 miliar dollar AS tidak berarti Philip Morris, yang merupakan raksasa industri tembakau dunia ini, akan melenyapkan Sampoerna.

Investor sering lupa kalau mereka mengakuisisi suatu perusahaan, tentu karena perusahaan tersebut memiliki citra dan kinerja yang baik. Banyak yang begitu masuk langsung ganti semuanya. Mereka juga mencantumkan nama baru, termasuk logo mereka pada produk. Kami tidak begitu, ujarnya.

Seraya menyulut sebatang rokok keluaran Sampoerna, Martin memperlihatkan tak adanya logo Philip Morris pada sejumlah kemasan rokok keluaran Sampoerna yang ada di meja di depannya. Karena kalau soal rokok keretek, bukan citra dari Philip Morris, tetapi citra dari Sampoerna, kata Martin.

Tetap padat karya

Soal citra rokok keretek, berarti juga soal keretek tangan yang begitu padat karya. Lazimnya, sebuah perusahaan multinasional mesin merupakan pilihan cepat ketimbang sebuah industri padat karya. Apalagi untuk sebuah nilai investasi yang lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun itu.

Kami tidak berpikir untuk menggantikannya dengan mesin. Orang lain mungkin berpikir agar lebih efektif dan efisien sebaiknya menggantikannya dengan mesin. Kami tidak akan melakukan hal itu di Indonesia, ujar Martin.

Karena itu, selama lebih dari setengah tahun berada di Sampoerna, Martin yang sebelumnya menjadi Direktur Pelaksana Philip Morris di Beijing, China, ini mengaku tidak melakukan banyak perubahan berarti di Sampoerna. Manajemennya pun dipertahankan. Philip Morris juga hanya membawa 14 anggota staf, termasuk saya, ujarnya.

Semua anggota staf Philip Morris malah melebur, larut ke dalam pola kerja dan sistem yang sudah tercipta di Sampoerna. Jadi tak ada kasak-kusuk karena karyawan takut akan diberhentikan atau dicopot dari jabatanya, apalagi bakal ada ribuan pekerja rokok keretek tangan yang akan diberhentikan.

Saya kira, modal investasi ini yang pas untuk Indonesia. Anda bayangkan, dengan sistem padat karya dan pola kemitraan ini, kami sudah menikmati pertumbuhan penjualan hingga 44 persen dalam enam bulan ini, ujarnya sambil tersenyum.

Yang terpenting bagi Philip Morris, katanya, adalah mengintegrasikan kelebihan sehingga mampu menghasilkan sinergi yang meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Citra dan kebanggaan akan merek dari satu cita rasa lokal tidak perlu diganggu, karena justru itulah yang dibelinya. Kami datang untuk membeli harta karun ini. Jadi, jangan sampai kami merusaknya. Sebisa mungkin kami justru meningkatkan nilainya. Semakin meningkatkan apa yang sudah baik ini, katanya.

Risiko investasi

Soal investasi di Indonesia yang oleh sebagian kalangan dinilai belum menarik dan berisiko, Martin secara diplomatis menampiknya. Investasi di Indonesia mungkin memang berisiko jika tidak dilakukan dengan cara yang tepat, ujarnya.

Cara yang paling tepat berinvestasi di Indonesia adalah dengan tetap menjaga perasaan dan kebanggaan lokal, libatkan masyarakat sekitar dalam pengembangan industrinya, dan padat karya, katanya tegas. Dia juga mengakui pemerintahan Indonesia yang ada saat ini cukup terbuka dalam mendengar dan memperbaiki segala kekurangan yang dikeluhkan investor.

Soal tips berinvestasi di Indonesia ini, Martin bersama Louis Camilleri, CEO Altria Group, induk perusahaan Philip Morris, pada 14-15 September ini akan berbicara pada sebuah forum investor di New York, AS. Forum yang juga akan menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini akan membahas rinci soal risiko dan keuntungan berinvestasi di Indonesia.

Saya akan bercerita tentang pengalaman saya di sini. Saya tinggal di bumi Indonesia, bekerja pada perusahaan di Indonesia. Semuanya aman-aman saja, ujar Martin.

Suami dari Ro, panggilan sayang dari Ross Marry, rekan kuliahnya sesama di Universitas Harvard, ini sebenarnya menyukai golf. Namun, selama setengah tahun lebih berada di Indonesia, dia belum sempat mencoba sebuah lapangan golf yang begitu banyak bertebaran di negeri ini. Saya belum sempat ke mana-mana, termasuk ke Bali. Masih sangat sibuk, katanya.

Martin memang harus menjadi Sampoerna dengan berkunjung ke berbagai pabrik di Indonesia, termasuk mitra petani yang selama ini membantu Sampoerna.

Sumber : Kompas, Kamis, 8 September 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks