Jun 26, 2009

Dina Nuryati : Demi Sekolah Rela Menjadi TKI

Demi Sekolah Rela Menjadi TKI
Oleh : Lusiana Indriasari

Ribuan tenaga kerja Indonesia dideportasi dari Malaysia. Kebijakan ini membuat Dina Nuryati (27) resah. Mantan TKI yang kini mengenyam pendidikan di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, ini bahkan nekat meninggalkan kuliah kerja nyatanya untuk mengurus para tenaga kerja Indonesia.

Setelah mengurus izin ke sana ke mari, perempuan bertubuh kecil yang sehari-hari mengenakan jilbab ini meninggalkan Desa Donomulyo, Malang, Jawa Timur. Di desa itu Dina harus menyelesaikan kuliah kerja nyata (KKN) selama tiga bulan. ”Banyak TKI dideportasi karena tidak tahu aturan mainnya,” kata Dina, akhir pekan lalu.

Menurut Dina, penderitaan yang dialami para tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri bukan hanya kesalahan para TKI semata. Namun, juga merupakan kesalahan Pemerintah Indonesia. Pasalnya, pemerintah kurang memberikan informasi dan pendidikan yang benar kepada calon TKI. ”Penyuluhan harusnya benar-benar dilakukan ke desa-desa oleh aparat pemerintah. Ironisnya, banyak aparat di desa yang justru terlibat perekrutan TKI gelap,” ujar Dina.

Banyaknya persoalan yang dialami TKI menggugah Dina untuk bergerak. Saat menjalani KKN dan duduk sebagai Ketua Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia (FOBMI), Dina secara sembunyi-sembunyi memberi penyuluhan pre departure (sebelum keberangkatan) kepada warga desa. Dia harus ”bergerilya” karena banyak aparat desa yang terlibat dalam perekrutan TKI gelap. FOBMI sekarang berubah nama menjadi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Penderitaan yang dialami para TKI dirasakan benar oleh Dina. Matanya berkaca-kaca ketika mengingat peristiwa tujuh tahun silam, saat dia meminta izin orangtuanya, Suyalik (48) dan Mat Ngatemin (52), untuk menjadi TKI di Hongkong. Dina tidak punya pilihan lain. Demi meneruskan sekolah, remaja yang baru lulus SMA Negeri 1 Kepanjen, Malang, itu nekat merantau ke negeri orang untuk menjadi TKI.

Kedua orangtuanya menangis ketika mendengar Dina akan menjadi pembantu rumah tangga (PRT) di Hongkong. Namun karena kondisi ekonomi keluarga memang morat-marit, Mat Ngatemin dan Suyalik terpaksa mengizinkan Dina pergi.

”Aku enggak tega melihat wajah bapak. Dia monga-mangu (termangu) lamaaaa... sekali. Surat izin yang harusnya ditandatangani itu cuma dibolak-balik,” kenang Dina. Yang membuat perasaan Dina teriris-iris, setelah menandatangani surat itu, Ngatemin meminta maaf kepada Dina karena tidak mampu menyekolahkan Dina ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Dina terlahir dari keluarga miskin di Desa Patuksari, Malang, Jawa Timur, 25 Juli 1978 silam. Seperti warga desa kebanyakan, orangtua Dina bekerja sebagai petani. Karena tidak mampu menghasilkan, Ngatemin juga bekerja sebagai sopir angkot jurusan Malang-Gunung Kawi.

Calo

Dina bisa menjadi TKI di Hongkong melalui calo yang sering ”keluyuran” di desa tetangganya. Dia dijanjikan mendapat gaji sebesar 3.670 dollar Hongkong atau sekitar Rp 1,5 juta waktu itu. ”Begitu sampai di Hongkong, ternyata gaji yang aku terima hanya 2.000 dolar Hongkong (sekitar Rp 800.000). Orang agen mewanti-wanti, kalau ditanya polisi, aku harus bilang gajiku 3.670 dolar HK,” tutur Dina.

Sejak saat itulah Dina tahu bahwa banyak permainan busuk yang dilakukan oleh orang- orang PJTKI dan agen tenaga kerja di luar negeri. Selain banyak gaji TKI yang dipotong dengan alasan macam-macam, penempatan para TKI itu pun tidak sepenuhnya di bawah pengawasan Pemerintah Indonesia.

Menyadari lemahnya posisi TKI di luar negeri, Dina pun ikut aktif dalam organisasi buruh migran Indonesia (Indonesia Migran Worker Union/IMWU). Untungnya, dua majikan di tempat Dina bekerja mengizinkannya beraktivitas di luar rumah saat hari libur. Di IMWU, Dina ditunjuk sebagai Koordinator Reintegrasi. Sejak aktif di IMWU, Dina menjadi tahu apa saja yang dilarang dan diperbolehkan di negara itu.

Meski dibawa calo, Dina merasa sangat beruntung dibandingkan dengan TKI lainnya karena dia tidak mengalami penyiksaan. ”Kuncinya hanya berani. Berani menolak dan melaporkan ke polisi jika majikan melakukan kekerasan. Sayangnya, banyak TKI yang tidak memiliki informasi ke mana mereka harus mengadu,” kata Dina memaparkan. Saat aktif di IMWU, Dina dikirim ke Taiwan untuk mengikuti semacam workshop Migran Saving Alternative on Integration. Lokakarya ini membicarakan cara mengelola keuangan yang diperoleh TKI selama bekerja.

Dina juga pernah dikirim ke Nepal mewakili Coalition for Migran Rights (CMR). CMR adalah koalisi serikat buruh migran dari enam negara, yaitu Thailand, Filipina, Sri Lanka, India, Indonesia, dan Nepal. Koalisi ini membuat penelitian soal kondisi PRT dan hasilnya dipresentasikan di persiapan acara World Conference Against Rasicm di Nepal. Di CMR Dina ditunjuk sebagai executive committee.

Setelah pulang ke Tanah Air, Dina menjadi salah satu penggagas berdirinya persatuan organisasi buruh migran nasional Indonesia. Organisasi itu diwadahi oleh FOBMI (SBMI) dan Dina menjabat sebagai ketuanya selama dua tahun. Dina yang sedang menyelesaikan kuliahnya itu kini duduk sebagai Dewan Pertimbangan SBMI. Meski sudah banyak pengalaman, namun cita-cita Dina tidak pernah berubah: menjadi guru Bahasa Inggris.

Sumber : Kompas, Jumat, 8 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks