Dina Astita, Daya Hidup Perempuan Aceh
Oleh : Evy Rachmawati
SEORANG perempuan dari Tanah Rencong baru-baru ini masuk dalam daftar seratus tokoh paling berpengaruh di dunia versi majalah Time. Dina Astita (33)-perempuan ini-kini disejajarkan dengan deretan tokoh berpengaruh di dunia. Ia dianggap berhasil menggalang dukungan dari kalangan masyarakat internasional untuk membangkitkan dunia pendidikan di Calang, pusat kota Kabupaten Aceh Jaya yang luluh lantak diterjang tsunami.
SAYA tidak pernah mengira bakal dapat penghargaan seperti ini. Itu merupakan rahmat yang besar. Saya ini kan hanya seorang guru bantu Bahasa Inggris," tutur lulusan Institut Agama Islam Negeri Ar Raniri ini saat ditemui di kediamannya di Calang. Namun ia mengaku merasa jengah dan khawatir ada yang merasa tersinggung dengan penghargaan itu.
Terpilihnya Dina sebagai salah seorang tokoh berpengaruh di dunia mengundang beragam reaksi dari kalangan masyarakat. Sejumlah murid sekolah darurat tempat dia mengajar menyatakan bangga dengan prestasi yang diraih gurunya itu dan bercita-cita menjadi guru. "Saya ingin jadi guru seperti Ibu Dina," tutur beberapa murid perempuan.
Namun, sejumlah pihak menilai pemberitaan tentang istri dari Usman Ahmady ini terlampau berlebihan. Pimpinan SMP Darurat Calang yang baru ditunjuk dinas pendidikan setempat, misalnya, menyatakan Dina sekarang tidak lagi berperan dalam mengelola sekolah itu lantaran hanya berstatus sebagai guru bantu.
Kendati demikian, Dina menyatakan tidak bakal surut langkah dalam membangkitkan dunia pendidikan di daerah yang telah hancur itu. Saat ditemui di sekolah darurat, ia terlihat sibuk mengajar ratusan murid SMP di dalam tenda. Karena saat itu hanya ada dua guru, ia merangkap mengajar dua kelas dan harus berpindah-pindah tenda. "Saya tidak akan pernah berhenti mengajar," ujarnya.
KETIKA bencana tsunami menghancurkan Kabupaten Aceh Jaya, baru ada sekolah darurat yang hanya diisi kegiatan bermain sambil bernyanyi. Beberapa pekan kemudian Dina bergabung menjadi pengajar di sekolah itu dan mengajak para guru membentuk manajemen sekolah untuk membangkitkan kembali kegiatan belajar-mengajar. "Jangan sampai masa depan anak-anak korban tsunami hilang," ungkapnya.
Dalam kondisi berduka lantaran kehilangan tiga anaknya dalam tsunami, Dina mulai mengumpulkan anak-anak yang ada di beberapa tempat pengungsian bersama dengan sejumlah guru lainnya. Semula baru sekitar 20 anak yang ikut dan belajar di dalam tenda beralaskan terpal. Lambat laun jumlah murid yang datang terus bertambah hingga mencapai ratusan siswa.
Berbekal kemampuan berbahasa Inggris, ia berjalan kaki mendatangi sejumlah sekretariat organisasi nonpemerintah internasional di Calang. Ia meminta berbagai bantuan bagi anak-anak korban tsunami, mulai dari buku-buku tulis, buku paket pelajaran, bangku, dan pakaian seragam. "Saya hanya mau bantuan barang. Kalau dikasih uang, ke mana kami harus membelinya. Jalur darat menuju Calang terputus," tuturnya.
Perempuan kelahiran Lamno, Aceh Jaya, 6 Juni 1971, ini mengaku hanya meminta bantuan barang sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak ada bantuan yang tertimbun. Setelah melihat penyaluran bantuan itu tepat sasaran, bantuan pun mengalir dari sejumlah organisasi nonpemerintah asing. "Saya mencatat semua bantuan yang masuk. LSM asing itu mengutamakan kejujuran, jangan sampai kita menyalahgunakan kepercayaan mereka," kata Dina.
Ketika banyak murid tidak masuk sekolah karena mahalnya biaya transportasi, ia pun meminta berbagai pihak untuk menyediakan sarana transportasi gratis dan membangun asrama bagi para murid yang jadi korban tsunami dan tinggal di luar Calang. "Kami berusaha memenuhi semua kebutuhan siswa seperti seragam, pembalut bagi siswi, dan makanan untuk anak-anak yang terpisah dari orang tua," ungkapnya.
Kini aktivitas belajar-mengajar makin berdenyut. Para murid SD sudah ditempatkan di bangunan semipermanen. Sementara sebagian siswa SLTP dan SLTA mendapat meja dan kursi meskipun masih belajar di bawah tenda. Padahal, semula sejumlah tenda yang dijadikan ruang kelas kerap ambruk ketika hujan deras maupun saat helikopter lewat.
"Kami sekarang sedang mendata para janda dan anak-anak yatim piatu korban tsunami di beberapa tempat pengungsian di wilayah Aceh Jaya untuk memudahkan penyaluran bantuan," ujar Dina. Karena banyak lokasi pengungsian yang terpencil, ia kadangkala naik truk maupun naik kendaraan milik organisasi nirlaba asing.
DI balik kegigihannya memperjuangkan pengembangan pendidikan di Tanah Rencong, hingga kini ia masih menyimpan duka yang mendalam. Dalam bencana gempa dan tsunami, ia kehilangan tiga anak lelakinya, yakni Almanda (7), Aldius (6), dan Al Tausal (4).
Pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004, ia dan suaminya berangkat ke Banda Aceh untuk menghadiri pesta pernikahan kerabatnya. Sementara ketiga anaknya ditinggal di rumah ditemani seorang anak angkatnya. "Karena anak-anak mau ujian, kami tidak mengajak mereka pergi," tutur Dina.
Saat bencana terjadi, berulang kali Dina menelepon rumahnya di Calang untuk menanyakan keadaan keluarganya, tetapi saluran telepon tidak tersambung. Dalam kondisi panik, ia dan suaminya berniat kembali ke rumah pada malam harinya, tetapi jalur transportasi Banda Aceh-Calang terputus. "Kami sempat nekat mau pulang dengan berjalan kaki, tetapi dilarang orang tua," tuturnya.
Ketika Bupati Aceh Jaya menginstruksikan seluruh pegawai negeri untuk kembali ke Calang, mereka berdua ikut pemberangkatan pertama kapal penumpang menuju ke lokasi bencana itu dan tiba pada tengah malam. Mereka tinggal dalam tenda bersama pegawai lainnya. "Saya satu-satunya perempuan yang ada di tenda itu, sedangkan yang lain masih di Banda Aceh," kata Dina.
Keesokan harinya Dina dan suaminya mendatangi lokasi rumah mereka, tetapi yang tersisa hanya puing-puing. Ia pun mengais-ngais reruntuhan rumahnya. "Saya hanya mengambil baju dan mainan ketiga anak saya agar bisa dipakai kalau mereka ditemukan," tuturnya sambil berlinang air mata ketika suaminya membacakan catatan harian saat tsunami.
Ia terus menyimpan harapan suatu saat kelak ia dan suaminya dipertemukan kembali dengan ketiga anak mereka. Asa itu pula yang dapat membuatnya tetap bertahan dan hanya tersenyum menghadapi berbagai tantangan yang ada. "Kalau ada informasi tentang anak-anak kami, tolong kabari ya," demikian pesan yang dititipkan Dina dan suaminya. (EVY RACHMAWATI)
Sumber : Kompas, Senin, 25 April 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment