Anyang, 35 Tahun Memimpin Suku Akit
Oleh : Neli Triana
Tubuhnya jangkung. Dadanya bidang. Dalam usia memasuki 58 tahun, ia tetap terlihat gesit. Sekilas ia mirip orang Melayu yang berkulit sawo matang cenderung hitam. Tetapi jika diperhatikan, barulah terlihat gurat-gurat wajah khas oriental, terutama matanya yang sipit.
Laki-laki itu adalah Anyang. Sejak tahun 1972, ia didaulat dan dipercaya masyarakat serta pemerintahan setempat sebagai Kepala Desa Titi Akar, sebuah desa di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang hampir lebih dari 70 persen penduduknya adalah salah satu dari lima suku terasing di Riau, yaitu suku Akit.
Titi Akar terletak di Kecamatan Rupat Utara yang berhadapan langsung dengan Malaysia dan Selat Malaka sebagai pembatasnya. Desa ini cukup terpencil dan sulit dijangkau masyarakat luar. Jika ingin mencapai Titi Akar, orang harus lebih dulu melewati Kota Dumai, sekitar empat jam dari Kota Pekanbaru, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan pompong (perahu tradisional) selama empat jam atau kapal cepat (speed boat) selama sekitar satu jam.
”Suku kami adalah penduduk asli Bengkalis. Sejak beratus tahun lalu kami menggantungkan hidup dari hutan dan laut. Sempat disebut suku primitif, tetapi dalam 35 tahun terakhir masyarakat kami telah banyak berubah tanpa melupakan budaya sendiri serta keterikatan kami kepada alam,” papar Anyang.
Memimpin sebuah kawasan yang masih ”liar” memang menjadi tantangan tersendiri bagi Anyang. Berbekal keyakinan dan kedekatan emosional serta budaya sebagai sesama anggota suku Akit, ternyata mampu membuat Anyang bertahan selama 35 tahun dan terpilih kembali untuk lima tahun berikutnya hingga 2011 nanti.
Terpilihnya Anyang menjadi kepala desa tak terlepas dari peran sang ayah. Sang ayah, Batin Pancang, selain sebagai tetua adat setempat juga dikenal sebagai pembela kedaulatan Indonesia. Ini terbukti atas jasanya yang telah melindungi dan mendukung aksi perlawanan terhadap agresi Belanda tahun 1948.
Gubernur Riau Soebrantas pada era tahun 1970-an pun menyempatkan datang melayat ketika Batin Pancang meninggal. Tujuh hari setelah kematian ayahnya, Anyang dinobatkan sebagai kepala desa. Tugasnya hanya satu, membawa kesejahteraan bagi masyarakat suku Akit, terutama dengan mengenalkan pendidikan, peningkatan standar kesehatan, serta membangun perekonomian masyarakat.
Merintis sekolah
Anyang membuat gebrakan dengan merintis dibukanya sekolah dasar di Titi Akar. Dari satu kompleks bangunan, kini telah berdiri empat kompleks SD di desanya ditambah satu sekolah menengah pertama. Namun, meski sudah lebih dari 1.000 anak suku Akit dan warga pendatang ditampung di keempat SD dan satu SMP tersebut, saat ini tercatat hanya 40-an guru yang melayani semua murid.
Bapak lima anak dan lima cucu yang selalu didampingi istrinya, Solehah, ini secara berangsur-angsur menerapkan pola keluarga berencana kepada masyarakat Akit. Anyang sendiri adalah produk dari keluarga besar. Ia adalah anak kesembilan dari 11 bersaudara.
Diakuinya, masyarakat Akit masih menganut banyak anak banyak rezeki sehingga sampai tahun 1980-an rata-rata dalam satu keluarga masyarakat Akit selalu diramaikan belasan bahkan mencapai 20 anak. Sejak tahun 1990-an, meski masih terdapat keluarga dengan jumlah anak tujuh-delapan orang, rata-rata suku Akit kini hanya memiliki keturunan empat-lima orang saja.
Suku Akit termasuk ras proto-Melayu yang masih bertahan tanpa banyak perubahan hingga kini. Mereka diyakini hijrah langsung dari dataran China beberapa ratus tahun lalu. Saat ini, dari total 4.300-an penduduk Titi Akar, 3.600 orang di antaranya adalah suku Akit.
Warga suku Akit memiliki identitas khas, tampak pada penggunaan nama-nama yang simpel terdiri dari satu atau dua suku kata, seperti Jin, Jung, Cin, As, Ong atau Ahok, Anyang, dan lain-lain.
Dibandingkan dengan suku lainnya, suku Akit termasuk masyarakat terasing yang paling berhasil secara mandiri beradaptasi dengan dunia modern tanpa kehilangan jati dirinya. Anyang juga menunjukkan keterbukaan masyarakat Akit terhadap pendatang.
Dari generasi baru yang mengalami pembauran dengan banyaknya pendatang dari Melayu, Bugis, Jawa, dan Minang, masyarakat Akit sekarang mulai menggunakan beragam nama, seperti Zainal, Buyung, Mahadi, dan Linda.
Saat masih kanak-kanak, lekat dalam ingatan Anyang bagaimana masyarakat sukunya hidup begitu ”apa adanya”. Hampir tidak ada interaksi dengan dunia luar karena lokasinya yang sulit dijangkau.
Kini, masyarakat Akit sebagian besar telah hidup dalam perkampungan dengan mata pencarian utama berladang dan berkebun, juga tetap sebagai nelayan. Anyang berusaha memicu mereka lebih kreatif dan membuka jalan agar roda perekonomian lebih cepat berputar.
”Mengubah cara hidup orang sehari-hari memang tidak mudah. Jika dilihat hasilnya saat ini, semua terasa amat lambat bahkan mandek. Akan tetapi, saya dan masyarakat Akit tidak akan menyerah. Kami menyadari semua memang perlu proses dan itu berarti butuh waktu panjang. Pendekatan kepada masyarakat harus disertai contoh nyata dan saya berusaha menjadi salah satu proyek percontohan tersebut,” paparnya.
Sumber : Kompas, Sabtu, 1 Juli 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment