Jun 18, 2009

Condoleezza Rice : Wanita Pendekar AS

Wanita Pendekar AS
Oleh : Mulyawan Karim dan Simon Saragih

Condoleezza Rice (52) disebut sebagai salah seorang warga terbaik dan paling cemerlang di Amerika Serikat. Wanita yang masih lajang itu menjadi Menlu AS ke-66 dan perempuan kulit hitam pertama yang menduduki jabatan itu. Rice, yang pernah dijuluki sebagai Pendekar Perang itu, memang mempunyai aura yang memesona.

Arifin Siregar, mantan Gubernur Bank Indonesia, memberi kata pengantar sebelum Rice berbicara di forum yang diselenggarakan Indonesia Council on World Affairs (ICWA) di Jakarta, Rabu (15/3/2006).

”Dengan kecemerlangannya, ia adalah seorang yang bisa memukau lawan debatnya. Ia bahkan tetap bisa memukau lawan debatnya karena pendekatannya yang personal meski lawan debat itu tak bisa menerima argumentasinya,” demikian Arifin secara singkat soal Rice, yang tersenyum simpul.

”Oh, terima kasih banyak! Saya tidak akan pernah melupakan kata pengantar yang begitu indah,” kata Rice, yang menyalami Arifin sambil membungkuk ala Asia.

Gambaran tentang birokrat pemerintahan AS di bawah Presiden George Walker Bush sedikitnya tercoreng dengan invasi AS ke Irak. Pemerintahan AS sekarang juga kadang dijuluki sebagai si penerkam (hawkish).

Rice, mau tak mau, juga menjadi bagian dari gambaran itu. Dengan melihatnya berbicara di televisi, dengan kalimat-kalimat yang menekan Korea Utara, Iran, Suriah, kini Hamas, jelas Rice bukan pribadi yang menawan.

Waspadalah! Kesan itu bisa hilang ketika ia berbicara. Para hadirin rela hadir dua jam sebelum ia bicara, sebagian juga rela barang-barangnya diendus-endus anjing pelacak. Kursi-kursi pun penuh. Setelah diam sejenak, Rice lalu muncul di ruangan. Ia tak terlihat seperti menteri luar negeri (menlu), tetapi wanita bersahaja dengan bajunya yang coklat muda, salah satu simbol kelembutan.

Ia tampaknya menguasai keahlian berkomunikasi, tidak saja pada artikulasi ucapan-ucapan, tetapi juga perpaduan tutur katanya dengan mimik wajah dan bahasa tubuh alamiahnya. Bukan itu saja. Ia tahu berhubungan dengan komunitas Asia, yang terbiasa dengan menyalam tangan lalu diperkuat dengan sentuhan tangan kiri. Ia ingin memperlihatkan keseriusan bahwa ia adalah seorang teman sejati.

Lepas dari faktor AS, sang adi kuasa di balik namanya, Rice memang memiliki aura. Orang akan langsung melupakan wajahnya yang tidak fotogenik, tetapi terpesona pada kelihaiannya berbicara. Mungkin tidak semua akan merasakan hal serupa itu, dan tetap menganggapnya ia tetaplah bagian dari kelompok hawkish. Namun, setidaknya hadirin yang mengikuti pidatonya merasakan kehangatan dan sebuah akhir yang sedap dari forum itu tatkala mantan Menlu Ali Alatas memberikan suvenir kepada Rice, yang langsung berujar, ”Oh, aku sangat berterima kasih!”

Jangan tanyakan kemampuannya menjawab sejumlah pertanyaan yang menggugat kebijakan AS, yang melukai perasaan warga di sejumlah negara. Ia berhasil membelokkan persoalan dan membawa hadirin menjadi berada di sudut pandangnya, apalagi jika terlalu terlena kepada Rice. Perannya sebagai diplomat relatif paripurna, dari sisi luar.

Selanjutnya, kenyataan kembali hadir ketika forum itu berlalu. AS adalah tetap AS dengan sedikit nuansa arogansi. Hadirin menunggu sebelum Rice hadir dan dicegat tak bisa keluar ruangan sebelum Rice berlalu.

Putri tunggal

Ia merupakan menlu yang menggantikan Colin Powell sejak Januari 2005. Meski mempunyai sikap keras yang membuatnya dijuluki ”putri pendekar” (warrior princess), Rice menjadi salah satu anggota kabinet Bush yang paling populer. Ia sekutu yang tak diragukan Bush. Nyaris tak ada liburan akhir pekan yang tak dihabiskan Rice bersama Bush dan istrinya, Laura, di Camp David.

Dilahirkan di Birmingham, Negara Bagian Alabama, 14 November 1954, Rice anak tunggal dari Angelena Rice (guru) dan John Wesley Rice Jr (pendeta). Nama Condoleezza berasal dari ungkapan dalam khazanah musik Italia: ”Con dolcezza”, yang berarti ”dengan manis”.

Di masa kanak-kanaknya, rasisme merupakan hal yang sudah berurat-berakar di Alabama. Ia baru berumur delapan tahun ketika teman sekolahnya, Denise McNair, tewas dalam peledakan bom di sebuah gereja oleh Ku Klux Klan, kelompok kulit putih rasis, 15 September 1963.

Pengalaman pahit itu membulatkan tekadnya untuk menantang kemalangan dan perlunya menjadi yang terbaik. Setelah belajar piano di sebuah sanggar musik di Aspen, Rice diterima sebagai mahasiswi musik di Universitas Denver. Di usia 15 tahun itu, Rice mulai mengikuti berbagai kuliah untuk meraih cita-cita menjadi seorang pianis dalam konser musik klasik. Namun, cita-citanya berubah setelah ia menyadari permainan pianonya tak cukup baik untuk menjadikannya sebagai pianis dunia.

Rice lalu mengikuti kursus tentang politik internasional yang diberikan oleh Josef Korbel, ayah dari mantan Menteri Luar negeri AS Madeleine Albright. Pengalaman ini memicu ketertarikannya kepada Uni Soviet dan hubungan internasional.

Pada tahun 1974, dalam usia 19, Rice meraih gelar BA bidang ilmu politik di Universitas Denver. Tahun berikutnya, 1975, ia menggondol gelar master ilmu politik di Universitas Notre Dame. Rice pertama kali bekerja di Departemen Luar Negeri pada tahun 1977.

Di usia 26, tahun 1981, Rice meraih gelar doktor (PhD) di Sekolah Tinggi Kajian Internasional, Universitas Denver. Pada tahun yang sama, ia menjadi anggota Pusat Kajian Keamanan Internasional Pengendalian Senjata Universitas Stanford.

Setelah sempat bekerja sebagai penasihat masalah Uni Soviet pada Dewan Keamanan Nasional tahun 1991, Rice kembali ke Universitas Stanford dan pada tahun 1993 diangkat menjadi pembantu rektor. Ia menjadi rektor termuda sepanjang sejarah di universitas prestisius itu.

Rice fasih berbahasa Rusia, Perancis, Jerman, dan Spanyol. Ketika diangkat sebagai penasihat keamanan nasional pada pemerintahan Presiden George Walker Bush, Rice sudah menjadi anggota dewan direksi di sejumlah perusahaan, termasuk dewan direksi raksasa perminyakan Chevron Corporation.

Sejak George Walker Bush menjadi presiden, Rice sudah memberi pengaruh yang kental dalam strategi kebijakan luar negerinya. Pengamat menduga, ialah yang memelopori sikap unilateralisme AS di bulan-bulan pertama pemerintahan Bush.

Sumber : Kompas, Kamis, 16 Maret 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks