Jun 20, 2009

Cholis Widjaja : Jalan Hidup Juru Pantun

Jalan Hidup Juru Pantun
Oleh : Her Suganda*

Sulit dibayangkan bagaimana nasib seseorang jika ternyata lebih memilih pantun sebagai taruhan masa depannya. Selain secara materi tidak menjanjikan, secara moril tidak ada penghargaan. Apalagi dalam situasi kesenian pantun banyak dilupakan, sebagaimana nasib kesenian tradisional lainnya, seperti saat ini.

Namun, Cholis Widjaja (85) pantang menyerah. Satu-satunya juru pantun yang tersisa di Tasikmalaya, Jawa Barat, itu berjanji akan mencurahkan dedikasinya pada pantun sampai fisiknya tidak mampu lagi. Hingga kini ia masih melayani permintaan untuk naik pentas.

”Yang terakhir, tahun 2004 panggilan pentas di Lakbok untuk upacara ruwat,” kata kakek 14 cucu itu. Lakbok terletak di Kabupaten Ciamis, letaknya hampir berbatasan dengan wilayah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Untuk masyarakat Sunda, kesenian pantun yang banyak mengandung nilai filosofi masyarakat Sunda itu sering ditampilkan dalam upacara sakral, semisal ruwat. Juru pantun bertindak sebagai perantara yang berkomunikasi dengan leluhur, sekaligus menjadi juru penerang dan penghibur.

Seni pantun diperkirakan muncul pada awal berdirinya Kerajaan Sunda. Dalam tradisi lisan, sebagaimana pantun Ciung Wanara dikisahkan bahwa setelah mengadu kekuatan yang sama kuat, kakak- beradik Ciung Wanara dan Hariang Banga sepakat mengakhiri perkelahian dan bersumpah membagi dua wilayah kekuasaan di Pulau Jawa. Wilayah barat disebut Sunda dan wilayah timur menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit.

Setelah bersalaman, kedua kakak-beradik itu berpisah. Ciung Wanara menuju barat seraya menembang pantun, sedangkan Hariang Banga pergi ke timur sambil bersenandung. Konon itulah sebabnya seni pantun hanya berkembang di Tanah Sunda, sedangkan gamelan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Seumur hidup

Pertunjukan pantun dalam masyarakat Sunda disampaikan bertutur dengan diiringi petikan kecapi dan kadang ditambah instrumen lain, seperti kecrek, seruling, dan tarawangsa.

Dalam perkembangan selanjutnya, jumlah nayaga (penabuh gamelan) bertambah banyak. Cholis Widjaja yang memimpin Kelompok Pantun ”Cahaya Mekar” melengkapinya dengan gamelan dan sinden. Bahkan untuk memenuhi selera penonton, pergelaran diselingi oleh tari jaipongan.

Cholis mengadakan pergelaran sejak pukul 20.00 hingga menjelang subuh. Sebelum mulai ia membakar kemenyan seraya membaca doa di depan sesajen yang terdiri dari rokok, kopi, kembang-kembangan, telur ayam, bekakak, dan rujak-rujakan. Menjelang usai, juru pantun membacakan rajah dan untuk kesekian kali memohon keselamatan.

Karena lakon pantun umumnya merupakan lakon khusus, maka Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Prof Drs Jakob Sumardjo menilai jenis kesenian ini mengandung nilai sejarah masyarakat Sunda.

Lahir di Tasikmalaya pada kira-kira tahun 1921. Setamat dari pendidikan di Vervolegschool dalam usia 20 tahun Cholis mengadu nasib sebagai penjahit di Binong, Bandung. Malam harinya ia belajar seni pantun, sampai akhirnya memperoleh kesempatan tampil di Radio Republik Indonesia Stasiun Bandung dan gedung Yayasan Pusat Kebudayaan, Bandung.

Ternyata tidak mudah menjadi juru pantun. Cholis Widjaja harus tirakat dan ziarah ke berbagai tempat, juga berpuasa pada waktu tertentu. Berkat ketekunan dan keuletannya, kini ia menguasai di luar kepala tidak kurang dari 84 cerita.

Cholis meninggalkan Bandung tahun 1960-an untuk kembali ke tempat asalnya, Desa Sukamanah. Di sana sejak tahun 1964 ia menjadi polisi desa. Pekerjaan itu ditekuninya sampai camat setempat mengetahui kemampuannya. Sejak tahun 1971 ia diminta mengisi acara kesenian pantun di studio Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya secara tetap. Namun, acara itu sejak 2003 tidak mengudara lagi.

Praktis sejak itu dia hanya menunggu panggilan. Entah untuk meruwat rumah, kebun, atau anak tunggal agar sang anak sehat sejahtera. Namun, dalam masyarakat yang berubah, undangan semacam itu semakin langka. Bisa dua kali dalam setahun saja sudah cukup bagus. ”Beda dari dulu, hampir tiap bulan tidak pernah kosong,” kenangnya.

Kelompoknya hanya menerima sekitar Rp 2 juta untuk satu kali pagelaran, termasuk untuk biaya transpor serta sewa gamelan, sistem suara, dan diesel. Sisanya baru dibagi-bagikan untuk 11 awak gamelan dan sinden.

Cholis Widjaja menerima ”honor” jika semua kewajiban ke semua anak buahnya selesai. ”Pernah untuk pentas semalam suntuk, saya hanya menerima bagian Rp 120.000”, katanya.

Apa yang diterimanya itu masih dianggap lebih baik karena sampai November tahun 2005 ini tak seorang pun memanggil kelompok pantunnya. Dunia seni pantun makin suram. Sementara kondisi fisik juru pantunnya jauh menurun. Maka nasib kesenian itu sudah bisa dibayangkan bagaimana masa depannya.

*Her Suganda Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

Sumber : Kompas, Rabu, 23 November 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks