Rini Akan Mengantarkan Anda di Hamburg
Oleh : Taufik H Minhardja
Ayahnya bilang begini,"Sebelum usia kamu 40 tahun, kamu itu mesti kerja mati-matian. Kalau kamu tidak bisa melakukan itu, maka hidupmu gagal."
PESAN almarhum ayahnya itu terngiang-ngiang terus dalam pikiran perempuan paruh baya bernama Catharina-yang akrab dipanggil Rini. Karena itu, ia ingin selalu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari supaya ia tidak termasuk dalam orang-orang yang hidupnya gagal.
Ayahnya yang keturunan China meninggal tahun 1995, sedangkan ibunya yang berdarah Betawi meninggal berbarengan dengan peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh pada 26 Desember tahun lalu.
Tahun 1988 Rini dinikahi Hermann Wijanto, seorang pelaut yang sudah selama 30 tahun bekerja di kapal Jerman. Hermann mengajaknya pindah ke Hamburg. Di sana Rini gigih mencari pekerjaan, yang membawanya ke dunia yang selama ini digeluti kaum pria, yakni menjadi sopir taksi. Profesi itu sudah ia jalani selama delapan tahun terakhir.
PERTEMUAN Kompas dengan Rini pada hari Sabtu, 9 April, itu tidak disengaja. Cuaca yang dingin di bawah 10 derajat Celsius yang disertai angin kencang pada petang itu memaksa kami berempat untuk naik taksi, daripada berjalan kaki, dari sebuah kantor di pusat kota ke hotel, yang jaraknya sekitar tiga kilometer.
Kami berjalan ke arah taksi yang sedang berjejer menunggu penumpang di seberang mal C & A. Kepada sopir taksi yang terdepan itu, kami bertanya apakah empat orang boleh naik dalam satu taksi. Tanpa diduga, sopir itu menjawab dalam bahasa Indonesia, "Boleh!"
Suaranya terdengar suara perempuan. Rupanya jaket penghangat tubuh berwarna kuning serta topi putih yang dikenakannya tidak serta-merta menunjukkan bahwa sopir itu seorang perempuan.
Mendapat jawaban seperti itu, kami lalu menaiki taksi tersebut dengan penuh keriangan disertai kekaguman. Sambil ngobrol macam-macam, Rini lalu mengantarkan kami ke Suitehotel. Sesampainya di depan hotel, kami lalu menyerahkan ongkos taksi 6 euro atau sekitar Rp 75.000.
Sayang Rini waktu itu menolak diajak makan malam bersama. "Saya malam ini sudah punya janji untuk ngerumpi dengan ibu-ibu asal Indonesia," kata Rini, sambil menyebutkan sebuah tempat. Ia menyatakan tidak enak kepada tuan rumah kalau ia harus membatalkan janji begitu saja. Apalagi pertemuan itu diselenggarakan hanya sebulan sekali.
Perempuan asal Cibubur, Jakarta Timur, itu kini memakai nama Catharina Wijanto dan tinggal di Marienthaler Strasse, Hamburg. Pasangan ini memiliki tiga anak: dua anak perempuan yang dilahirkan di Indonesia dan bungsu laki-laki lahir di Jerman.
Ketiganya masih bersekolah. Yang terbesar akan menjadi guru taman kanak- kanak, yang kedua ingin menjadi asisten dokter, sedangkan yang ketiga masih di tingkat SMP.
Sebagai seorang ibu, Rini biasa bangun pagi, pukul 06.00 atau 08.00. Lalu ia mengerjakan pekerjaan seperti ibu-ibu lainnya, misalnya mempersiapkan masakan bagi anak-anaknya dan mencuci. Sekitar pukul 10.00 ia baru memulai pekerjaannya sebagai sopir taksi hingga sekitar pukul 16.00 atau 18.00.
Dengan begitu, ia bisa membantu suami dalam menghidupi kebutuhan keluarganya pada tingkat yang cukup.
"Saya harus membayar sewa apartemen 700 euro sebulan (sekitar Rp 8,6 juta). Belum lagi kebutuhan sehari-hari, urusan listrik, dan macam-macam," katanya.
RINI bercerita, selama menjadi sopir taksi, ia tidak mengalami kesulitan apa- apa karena hanya membawa kendaraannya siang hari. "Malam hari giliran suami saya membawa mobil ini," ujarnya.
Suaminya yang dulu pelaut kini beralih profesi, dengan memiliki taksi yang bermesin Mercedes Benz itu. Di Jerman, kata Rini, setiap taksi harus dimiliki oleh sebuah perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan itu hanya memiliki satu taksi saja, seperti perusahaannya itu.
Menjadi sopir taksi, kata Rini, tidak gampang. Rini harus melalui dua tahap, yakni memiliki SIM biasa, lalu SIM taksi, yang keseluruhannya baru bisa dimiliki dalam waktu enam bulan. Tesnya macam-macam. Salah satu jenis tes yang harus dijalani adalah mencari alternatif jalan terdekat untuk satu tujuan tertentu.
Tes itu penting, ujar Rini, sebab berdasarkan kuitansi pembayaran taksi itu, penumpang bisa mengajukan tuntutan kalau ternyata ia dibawa melalui rute yang jauh, apalagi berputar-putar dengan sengaja.
"Jarang di sini penumpang yang kurang ajar. Mereka baik-baik. Biasanya kita yang mengucapkan selamat pagi atau siang terlebih dahulu. Di sini sering sekali saya disapa lebih dulu oleh mereka," ujar Rini.
Sering juga Rini membawa penumpang nenek-nenek. "Mereka paling banyak ngoceh-nya. Ngomong melulu sepanjang jalan. Mungkin karena di rumahnya sendiri jarang ngomong ya," kata Rini sambil tersenyum.
Dulu Rini sering bertemu dengan ibu-ibu dari Konsulat RI. "Sekarang enggak pernah sejak Dharma Wanita bubar. Paling-paling pertemuan sebulan sekali, seperti nanti malam, dengan ibu-ibu lainnya. Kangen-kangenan bercanda dalam bahasa Indonesia," kata Rini.
Selama menjadi sopir taksi selama delapan tahun, Rini juga belum pernah bertemu dengan sopir perempuan.
Rini mengatakan tidak tahu lagi harus bekerja di mana di Hamburg untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Tetapi, menjadi sopir taksi secara bergantian dengan suaminya, menurut Rini, sudah bisa mencukupi kebutuhan standar hidupnya di Hamburg.
"Pilihannya memang kita harus bekerja 24 jam untuk cari duit, ya untuk anak-anak saya itu," kata Rini.
Kepada Rini ditawarkan untuk mengantarkan kami dari hotel ke bandara Hamburg keesokan harinya, Minggu siang. Namun Rini mengatakan tidak bisa memberikan janji, apalagi Minggu merupakan hari libur, kesempatan yang jarang bagi dirinya untuk bercengkerama dengan keluarga.
AKHIRNYA Rini berpamitan, menyetir sendiri lagi taksinya, berharap mendapatkan penumpang baru.
Kalau Anda ke Hamburg, mudah-mudahan Anda berkesempatan bertemu dengan Rini, seorang pejuang yang dengan senang hati akan mengantarkan Anda dengan Mercedes Benz kuning bernomor HH UM 2521 itu.... (TAUFIK H MIHARDJA)
Sumber : Kompas, Jumat, 15 April 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment