Jun 4, 2009

Canon Gideon Byamugisha : Memecah Kebisuan HIV/AIDS dari Uganda

Memecah Kebisuan HIV/AIDS dari Uganda
Oleh : Elok Dyah Messwati

Sore itu Pendeta Canon Gideon Byamugisha (48) menghadiri ibadah Oikumene di Gelanggang Olahraga Cendrawasih Apo, Jayapura. Bersama beberapa pendeta dan uskup, Canon Gideon mendoakan masyarakat Papua agar mampu membentengi diri dari bahaya HIV/AIDS.

Melihat penampilannya yang tenang, kebanyakan orang tak akan menyangka Canon Gideon Byamugisha adalah salah seorang pengidap HIV/AIDS.

Tak mudah hidup yang dilaluinya sejak ia divonis mengidap HIV/AIDS pada 1992. Namun, Canon Gideon memilih tetap tegar menjalani hidup. Bahkan, untuk "membunuh" waktu dan menghilangkan bosan, humor-humor segar terus meluncur darinya.

Itu ia buktikan sejak keberangkatannya ke Jayapura tanggal 8 Mei 2007 malam. Di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, sembari menunggu pesawat lepas landas, segala lelucon koleksinya ia lontarkan.

Dalam pesawat menuju Jayapura, ia memilih membaca buku dan tidak tidur. Padahal, beberapa hari sebelumnya ia baru saja terbang jauh dari negara asalnya, Uganda, Afrika Timur.

Esok harinya, 9 Mei 2007, sekitar pukul 07.00 WIT, saat pesawat gagal mendarat di Bandar Udara Sentani, Jayapura, karena hujan lebat dan kabut tebal menutup landasan pesawat, ia tidak khawatir.

Dia hanya bertanya apa yang terjadi. Setelah dijelaskan situasinya bahwa pesawat harus mendarat sementara di Biak, ia hanya tersenyum dan berujar, "Indonesia ini negara yang sangat luas. Tujuh jam terbang, kita tetap di Indonesia. Kalau kami di Uganda, tujuh jam terbang sudah melewati banyak negara."

Tak pelak, di Biak, sembari menunggu penerbangan selanjutnya, Canon Gideon terus melontarkan guyonan bagi rekan-rekannya dari World Vision Indonesia, organisasi yang mengundang dia datang ke Indonesia.

Memilih terbuka

Hubungan Canon Gideon Byamugisha dengan HIV dimulai tahun 1991. Saat itu, sebagai teolog muda dari Uganda, ia bersama istrinya, Kellen, tengah bersiap berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi strata 3.

Namun, tiba-tiba istrinya mengalami sesak napas, yang diduga pneumonia. Seminggu kemudian Kellen meninggal dunia. Canon Gideon tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Dokter yang menangani istrinya pun tak tega memberi tahu Canon Gideon tentang penyebab kematian istrinya.

"Setelah enam bulan, baru saya diberi tahu bahwa istri saya mengidap HIV. Itu sudah tahun 1992. Saya diminta untuk tes HIV dan saya melakukannya. Ternyata saya juga positif HIV," paparnya.

Saat ditawari untuk tes ulang, Canon Gideon menolak. Ia terpukul menghadapi realitas bahwa dirinya positif mengidap HIV.

"Saya benar-benar terpukul. Ini sangat berat bagi saya karena saat itu ada stigma bahwa HIV/AIDS menyerang orang-orang jahat, pekerja seks komersial, homoseksual, dan pemakai narkotika. Sementara saya seorang pendeta yang selalu setia pada istri. Saya tak bisa memahami hal ini," tuturnya.

Namun, hidup terus berjalan, Canon Gideon pun berupaya memahami apa yang terjadi. Mengapa ini bisa terjadi pada dirinya? Ia menemukan jawabnya, selama hidup dia pernah mendapatkan transfusi empat kantung darah dan menerima sekitar 350 kali suntikan malaria. Pada masa itu, jarum suntik yang digunakan di negaranya bisa jadi tidak steril.

"Hal pertama yang saya lakukan adalah menerima kondisi ini. Saya meyakini Tuhan menyertai saya dalam hidup. Saya harus memecahkan kebisuan ini. Saya memutuskan menyatakan status saya kepada keluarga, gereja, serta masyarakat. Ini agar tak ada lagi orang yang terkena HIV," kata Canon Gideon yang putrinya, Patience Mary Busingye, tidak positif HIV.

Stigma yang dikhawatirkan Canon Gideon bakal diterimanya karena positif HIV ternyata tak terjadi. Ini karena dia langsung memilih bersikap terbuka tentang kondisi dirinya dan mengapa dia sampai positif HIV.

Menjadi pembicara

Tahun 1995 dia menikah dengan seorang perempuan yang juga positif HIV dan suaminya telah meninggal dunia. Pamela, nama istri keduanya. Selama tujuh tahun mereka menunda memiliki anak karena khawatir akan menularkan HIV kepada anak-anak mereka. Namun, kemudian lahir dua anak. Love (4,5) dan Hope (3,5), demikian Canon Gideon memberi nama anak-anaknya. Mereka tidak tertular HIV dan tumbuh sehat.

Dengan makin tingginya kasus HIV di Uganda, Canon Gideon makin serius untuk memutus mata rantai penularan penyakit itu. Saat ini di Uganda prevalensi HIV sebanyak 1,1 juta orang yang positif HIV, di mana sekitar 500.000 orang telah meninggal dunia. Maka, kira-kira dua juta anak-anak di Uganda pun hidup sebagai yatim piatu.

Ia kemudian menjadi pembicara di mana-mana, Canon Gideon telah pergi ke 40 negara. Kenyataan di Papua pun membuat Canon Gideon prihatin. Ketika mengetahui data yang tercatat 3.252 kasus HIV/AIDS di Papua terbanyak sebab hubungan seksual berisiko, menurut dia, kondom bukanlah jawaban satu-satunya.

"Orang harus sadar, dia mesti hidup benar, setia kepada pasangan. Ini supaya virus ini tidak menular kepada kita," katanya kepada ratusan orang yang ditemuinya selama berada di Papua pada 8-18 Mei.

Strategi

Canon Gideon Byamugisha adalah anak tertua dari 14 anak (empat meninggal dunia) pasangan John B Karakabire dan Mary Changwa Karakabire. Ia mengenyam pendidikan sarjana pendidikan dan teologi. Jenjang strata dua dia selesaikan di Universitas Nkumba, Uganda.

Pada 16 tahun terakhir Canon Gideon banyak bergelut dalam aktivitas melawan HIV/AIDS, seperti memberikan pelatihan kepada para konselor atau penyuluh HIV/AIDS, dan menjadi manajer pada pengawasan dan pencegahan HIV/AIDS. Ia menjadi semacam duta HIV/AIDS di wilayah Afrika Timur, Sudan, dan negara-negara di Tanduk Afrika.

Strategi promosi pencegahan HIV/AIDS untuk kalangan pelajar dan mahasiswa di Uganda, dia ungkapkan setiap kali ada kesempatan berbicara di mana pun.

Strategi tersebut adalah memastikan setiap siswa dan mahasiswa mendapatkan informasi yang tepat bagaimana cara penularan HIV/AIDS, pencegahan dan bersikap agar tidak terjadi diskriminasi, menggunakan radio dengan mengundang dokter, mengintegrasikan soal HIV/AIDS ke dalam mata pelajaran, serta melatih siswa dan mahasiswa sebagai kader sebaya.

Selain itu, setidaknya seminggu sekali, yakni setiap Jumat, selama satu jam di sekolah-sekolah ada pembicaraan tentang HIV/AIDS.

Sumber : Kompas, Selasa, 19 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks