Budi Darma dan Dunia Sastra
Oleh : Kris Razianto Mada dan Atika Walujani M
Apa kabar Budi Darma? Setelah kumpulan cerpen Orang-orang Blommington, novel Olenka, Rafilus, Ny Talis, rasanya sudah lama dunia sastra Indonesia tak disemarakkan karya Budi Darma. Kumpulan cerpen Fofo dan Senggring yang terbit tahun 2005 pun merupakan kompilasi cerpen tahun 1969-2003 yang tersebar di beberapa media.
Pengarang ini pernah dianggap menampilkan corak baru karya sastra pada cerpen-cerpennya di era tahun 1970-an. Demikian pula dengan novel-novelnya yang terbit di tahun 1980-an. Lewat tokoh dengan karakter yang sering kali ganjil dan gelap, Budi Darma mengaduk emosi pembaca karena terasa menelanjangi sifat dan niat manusia yang terdalam. Karyanya sarat perenungan tentang pencarian jati diri, pertanyaan tentang takdir dan nasib manusia.
Novel pertamanya, Olenka, yang terbit tahun 1983 memenangi Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983) serta Hadiah Sastra ASEAN (1984). Budi Darma juga menerima Anugerah Seni Pemerintah RI (1993), Satyalencana Kebudayaan dari Presiden RI (2003), dan Ahmad Bakrie Award dari Freedom Institute (2005). Karya-karya Budi Darma banyak dijadikan bahan seminar, penelitian, dan tesis di perguruan tinggi.
Ternyata Budi Darma masih aktif. Hari-hari sastrawan kelahiran Rembang, 25 April 1937, itu kini lebih banyak dipadati dengan tugas-tugas mengajar dan membimbing mahasiswa pascasarjana di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), diskusi, ceramah serta menulis esai.
Selain mengajar di Unesa, mantan Rektor IKIP Surabaya ini juga pernah mengajar di sejumlah perguruan tinggi lain di Indonesia, menjadi profesor tamu di National Institute of Education Nanyang Technological University, Singapura, serta Northern Territory University, Darwin, Australia. Ia juga menjadi editor buku South East Asian Literature yang diterbitkan Sekretariat ASEAN.
Budi Darma masih ramah, santun, sekaligus disiplin dan kritis. Dalam sebuah seminar sastra dan penelitian yang diselenggarakan para mahasiswa pada minggu ketiga Mei lalu, guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Unesa ini melempar otokritik terhadap produk perguruan tinggi.
Budi Darma menyatakan, banyak sarjana sastra tidak mampu berargumentasi dengan pelaku sastra di lapangan. Padahal, mereka mendapat didikan sastra dan bergelar resmi di bidang sastra. Hal ini, menurut dia, karena sebagian orang hanya mementingkan gelar kesarjanaan tanpa mendalami substansinya sehingga tidak memiliki fondasi keilmuan yang kokoh.
Meski vakum menulis karya sastra, Budi Darma tetap memelihara hubungan dengan dunia sastra. Ia menjadi kurator antologi cerpen pengarang Jawa Timur yang diterbitkan dalam rangka Festival Seni Surabaya tahun lalu. Ia pun menjadi tempat bertanya para penulis muda.
Mengenai kevakuman berkarya Budi Darma menyatakan, "Menulis fiksi memerlukan konsentrasi yang terfokus. Tidak seperti menulis tugas lain, menulis fiksi perlu waktu yang tidak terinterupsi pekerjaan yang lain."
Bagi doktor sastra lulusan Indiana University, Amerika Serikat, ini, menulis fiksi banyak dikendalikan oleh mood. Fiksi juga ada hubungannya dengan momentum, niat, dan ide. "Ide sebenarnya banyak. Kalau sudah muncul, ada momentum dan bisa menulis tanpa interupsi, semua gagasan yang terpendam akan muncul dengan sendirinya," ujar Budi Darma yang menulis Olenka saat belajar di Indiana, AS, dan menulis Rafilus saat melakukan penelitian di Inggris.
Menunggu "orang gila"
Ia menyambut baik banyaknya novel yang terbit belakangan ini. Hal itu dianggapnya bisa meningkatkan budaya baca masyarakat Indonesia.
"Dari segi kuantitas, hal itu baik. Meskipun demikian, harus tetap ada sastra yang serius dan idealis. Sastra yang tidak perlu dibaca masyarakat luas, tetapi mempunyai daya jangkau pemikiran yang berdimensi masa depan," ujarnya.
Menurut Budi Darma, yang menggerakkan dunia bukan massa, melainkan pemikir-pemikir yang sedikit namun berpengaruh. Demikian pula dunia sastra.
Apa yang terjadi di dunia buku bacaan saat ini dipandang Budi Darma sebagai kecenderungan budaya pop, saat selera masyarakat terus berubah. Banyak buku yang terbit, menjadi populer, namun cepat tenggelam. Industri perbukuan mengalami segmentasi, misalnya ada buku untuk anak-anak, remaja, dewasa, serta pelbagai genre untuk memenuhi selera masyarakat.
Dengan adanya segmentasi itu, pengarang dipacu untuk terus-menerus menulis, tanpa sempat merenung dan melakukan pengendapan. Pengarang cenderung "kejar tayang". Ada target untuk menyelesaikan dan menerbitkan novel dalam jangka waktu tertentu.
"Banyak pengarang yang menyerahkan naskah masih dalam bentuk draf yang sebenarnya bisa disempurnakan. Karena itu, sekarang peran editor makin penting. Editor pun mengalami segmentasi," tuturnya.
Lantas, kapan suami dari Sita Resmi, ayah dari Diana (37), Guritno (34), dan Hananto Widodo (32) serta kakek dari Darwinda ini menulis karya sastra lagi?
"Saya menunggu ada ’orang gila’ yang mau memberi beasiswa satu tahun sehingga saya bisa menyusun novel tanpa gangguan tugas-tugas lain," ujarnya sambil tersenyum.
Sumber : Kompas, Rabu, 31 Mei 2006
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment