Makna Hidup bagi Dr Asghar Ali
Oleh : Maria Hartiningsih dan Imam Prihadiyoko
Bagi Dr Asghar Ali Engineer (67), hidup yang bermakna hanya dapat dicapai kalau seseorang mampu menghormati orang lain tanpa terjebak dalam sekat-sekat yang diciptakan bagi kepentingan kekuasaan.
Agama adalah sumber untuk menciptakan perdamaian. Itulah esensi agama. Mereka yang menggunakan dalih agama untuk melakukan kekerasan adalah mereka yang bermain dengan kekuasaan," tegas tokoh gerakan nonkekerasan dan reformis dari India itu.
Ditemui ketika berbicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Depok beberapa waktu lalu, Asghar Ali menegaskan, bukan agama yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan, melainkan obsesi pada kekuasaan dan keserakahan.
Menjadi orang beragama yang baik berarti menolak menyakiti sesama manusia, dan menjadi manusia yang baik berarti tidak terjebak pada simbol-simbol agama.
"Kekerasan tidak akan menghasilkan apa pun kecuali kehancuran," ujarnya menegaskan.
Jalur yang dipilih dalam mengupayakan perdamaian, keadilan dan harmoni sosial merupakan pilihan dari dua hal: non-violence atau non-existence. Asghar Ali memilih yang pertama.
Pilihan itu acap membawanya pada situasi rumit di dalam masyarakat India yang memiliki spektrum luas dalam agama, kelompok, etnis, dan kasta.
Akibatnya, ia tak hanya dipandang sebagai "musuh" oleh kelompok yang "berbeda", tetapi juga di dalam kelompok yang "sama" dengannya.
Tahun 2000, ia diserang oleh kelompok yang dipimpin oleh Syedna Mohammed Burdanuddin, Kepala Komunitas Bohra, ketika pulang dari seminar mengenai harmoni sosial.
Serangan itu tidak terlepas dari kegiatan Ali dan organisasinya, Gerakan Reformis Bohra yang membela kelompok Dawoodi Bohra, suatu komunitas kecil Islam yang berbeda aliran dengan kelompok Islam arus utama. Sebagian besar anggota kelompok itu adalah pedagang.
Organisasi itu juga melakukan advokasi untuk demokratisasi manajemen komunitas dan akuntabilitas dana komunitas, serta meminta pemerintah menghentikan penarikan pajak yang tinggi oleh para pemuka agama.
Perjuangannya menolak kekerasan komunal membuat Ali beberapa kali diserang; di antaranya di Calcutta tahun 1977, Hyderabad tahun 1977 dan 1981, serta di Mesir tahun 1983.
Menolak asumsi
Asghar Ali menolak asumsi-asumsi tentang pelaku kekerasan. "Kalau Anda membiarkan kekerasan terjadi, berarti Anda mendukung tindakan itu," ujarnya.
Ia mengingatkan penggunaan politik "atas nama" yang disuarakan para tokoh lewat media massa. Dia mencontohkan suara Sangh Parivar dan kelompoknya yang agresif, yang mengatasnamakan suara otentik dari 800 juta umat Hindu di India.
Suara itu membungkam suara lain dalam kelompok Hindu yang menolak kekerasan, seperti kasus pembakaran Masjid Babri di Ayodhya dan insiden kekerasan di Sabarmati Express yang menewaskan 59 orang.
Dalam Ayodya's Voice tanggal 9 Oktober 2003, Asghar Ali menuliskan pertemuannya dengan Mahant Gyndas, salah satu tokoh Hindu yang berpengaruh di Ayodhya. Ia menanyakan, kapan Kuil Ramjanambhooni dibangun di bekas reruntuhan Masjid Babri.
"Beliau mengatakan, kuil itu hanya akan dibangun kalau orang Hindu dan Muslim bekerja bersama membangunnya. Kebersatuan Hindu-Islam lebih penting dibandingkan kuil. Kalau tidak sepakat, tunggu keputusan pengadilan. Kuil itu tak bisa dibangun di atas tumpahnya darah manusia," tulis Ali.
Oleh kelompok Sangh Parivar, suara Mahant dianggap tidak berhak mewakili orang Hindu. Tetapi, setidaknya suara yang mewakili kemanusiaan universal itu mulai "mengganggu" hiruk-pikuk suara yang penuh prasangka dan kebencian.
"Gerakan menolak kekerasan di India terdiri dari individu dan kelompok dari berbagai agama, suku, kasta, kelompok, dan golongan," paparnya.
Ali juga menolak dominasi dan tekanan kapitalisme neoliberal AS yang menciptakan begitu banyak kekerasan di dunia. Ia menolak istilah-istilah yang digunakan Pemerintah Bush untuk memberikan stigma pada kelompok tertentu di dunia.
Bukan agama
"Mereka yang melakukan kekejian barangkali tidak tahu rasa kesakitan fisik dan psikologis yang diakibatkannya," ujarnya lirih.
Ia mengisahkan sepotong pengalaman yang membawanya terlibat dalam gerakan perdamaian dan menolak kekerasan, termasuk kekerasan komunal.
"Saya sedang belajar ketika terjadi kekerasan komunal di luar. Saya takut sekali. Pertanyaan ’mengapa orang melakukan kekejian atas nama agama’ terus memenuhi benak. Lalu saya belajar dan terus belajar, sampai akhirnya menemukan, bukan agama yang menyebabkan semua itu."
Selain menguasai ilmu agama (tafsir, tawil, fikih, dan hadis), Ali juga mengantongi ijazah sarjana teknik sipil dan sempat bekerja di perusahaan milik pemerintah kota Bombay selama 20 tahun. Ia mulai aktivismenya secara total di dalam gerakan pada tahun 1972 ketika terjadi kerusuhan di Udiapur.
Pandangan-pandangannya tentang berbagai hal, termasuk kesetaraan hubungan perempuan dan laki-laki serta dekonstruksi teks, dituliskan dalam lebih dari 40 buku dan ratusan artikel di media massa.
Seluruh upayanya itu membuat Asghar Ali terpilih sebagai penerima penghargaan Nobel alternatif, The Right Livelihood Awards tahun 2004.
Sumber : Kompas, Kamis, 1 Juni 2006
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment