Jun 4, 2009

Bambang Ismawan Menginspirasi Indonesia

Bambang Ismawan Menginspirasi Indonesia
Oleh : Haryo Damardono

Bina Swadaya dan Bambang Ismawan (69) harus dieja dalam satu tarikan napas. Lebih dari 40 tahun, dua sosok itu bergelut mendampingi, melayani, menggerakkan masyarakat. Kegiatannya disebut filantrofis yang belakangan ini populer dengan sebutan civil society.

Setelah 40 tahun Bina Swadaya berkarya, dibantu masyarakat sipil, donor, kelompok dampingan, pemerintah dan pers, kami ingin berterima kasih. Kami ingin memberi penghargaan bertitel ’Kusala Swadaya’ terhadap para pelaku keswadayaan," ungkap Pendiri dan Ketua Yayasan Bina Swadaya, Bambang Ismawan, di kantornya, Cimanggis, Jakarta.

Kusala Swadaya—kusala artinya penghargaan—tanda terima kasih itu diberikan kepada motivator, kelompok masyarakat, wartawan, dan media. Mereka yang memberi kontribusi besar dalam pengembangan keswadayaan di Indonesia. Kusala Swadaya pertama kali disampaikan dalam acara syukuran 40 tahun Bina Swadaya, 26 Mei lalu di Wisma Hijau, Cimanggis.

Menurut Bambang, salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan tak hanya menjadi kepedulian pemerintah, tetapi juga masyarakat luas, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) lewat upaya pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. Upaya itu ditempuh dengan keyakinan, mereka bukanlah the have not tetapi the have little.

Mereka sulit mengatasi kemiskinannya sendiri. Tetapi, lewat kebersamaan dalam satu wadah kelompok usaha bersama (KUB) atau kelompok swadaya masyarakat (KSM) dengan anggota rata-rata 20-30 orang, mereka bisa mengatasi kekurangannya. Orientasi wadah-wadah binaan Bina Swadaya itu meningkatkan pendapatan rakyat miskin lewat kegiatan micro finance (keuangan mikro) dan micro enterprise (usaha mikro), mengutamakan pendidikan anggota, memupuk kemampuan diri dan sosial.

"Saya ingin Bina Swadaya menjadi panggung bagi individu dan kelompok yang berjuang di atas kaki sendiri agar bisa diteladani. Bina Swadaya memacu semangat masyarakat lemah, miskin, dan terpinggirkan agar mampu secara sosial dan mandiri. Saya ingin kisah mereka ditulis agar masyarakat sadar punya potensi besar," ujar penggemar senam San Khung dan setia joging pagi itu.

Sejak tahun 1967

Perjuangan keswadayaan dimulai Bambang sejak tahun 1967, saat mendirikan Yayasan Sosial Tani Membangun, cikal bakal Bina Swadaya yang lahir 24 Mei 1967.

"Saya memberdayakan masyarakat lemah diawali dengan rasa malu. Mengapa? Tahun 1960-an itu saya bertemu John Dijkstra SJ (almarhum), pastor Belanda yang masuk-keluar Gunung Kidul menolong warga dari paceklik dengan mengajak menanami lahan telantar dan bantuan keuangan. Mengapa dia, orang asing, yang membantu rakyatku, bukan saya?"

Kala itu Bambang sedang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia bimbang. Walau kuliah di fakultas ekonomi, dia tak ingin berbisnis. Namun, apa yang dilakukan Pater Dijkstra menggugah keinginannya untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Ia juga disemangati oleh Sylvia Ismawan, sarjana Fisipol UGM yang lalu jadi istrinya.

Kisah perjuangan 40 tahun Bina Swadaya penuh jatuh bangun, di tengah menjamur dan menyurutnya kegiatan LSM lain. Namun, Bina Swadaya yang berkantor pusat di Jakarta bisa eksis.

"Awalnya perjuangan Bina Swadaya terseok-seok. Contoh konkret, saat Bina Swadaya menerbitkan majalah Trubus tahun 1969. Ini negara agraris, kenapa tak ada majalah pertanian? Bagaimana petani yang sebagian besar golongan lemah itu mendapat informasi cara menanam atau tentang varietas tanaman tertentu?"

Selama 15 tahun pertama Trubus rugi, tak ada pembeli dan pengiklan. Namun, Bambang bertahan walau harus berutang. Usahanya tak sia-sia, tiras Trubus kini sekitar 70.000 eksemplar per bulan dan menjadi inspirasi bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) pascakrisis moneter untuk usaha agribisnis, sumber referensi berbagai persoalan pertanian dan ikutannya, termasuk mendongkrak nama dan gengsi tanaman-tanaman hias.

Dari pengalamannya selama 40 tahun di bidang pemberdayaan masyarakat miskin, Bambang mengemukakan, kalau diberi kredit mikro, mereka tak butuh bunga murah, karena berkat keuletannyalah kegiatan ekonomi bisa menguntungkan.

Bambang mengutip disertasi Mat Syukur yang membuktikan bahwa keuntungan usaha mikro umumnya mencapai 15 hingga 214 persen per bulan dari modal awal. Sedangkan pengembalian kreditnya, berdasarkan pengalaman Bina Swadaya, yang kini punya empat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 14 cabang Pelayanan Keuangan Mikro, lebih dari 90 persen.

Mitra kerja pemerintah

Salah satu kunci meluasnya pola pemberdayaan Bina Swadaya terhadap masyarakat Indonesia selama puluhan tahun adalah menjadikan pemerintah sebagai mitra kerja.

Bambang, penerima Satyalencana Pembangunan tahun 1995, mengusulkan agar istilah organisasi nonpemerintah (NGO) diganti LSM. Ini agar tak terkesan sebagai oposan terhadap pemerintah. Alasannya, ketika ide pemberdayaan meluas, justru dibutuhkan campur tangan pemerintah yang memiliki jaringan hingga pelosok desa.

Terbentuknya kerja sama Program Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dengan Bank Rakyat Indonesia, Program Perhutanan Sosial dengan Perum Perhutani dan The Ford Foundation, Program Irigasi Terpadu dengan Pekerjaan Umum pun, tak lepas dari "formula" Bina Swadaya yang diterapkan dalam kebijakan pemerintah. Kerja sama juga dibina dengan perusahaan swasta seperti Coca-Cola dan Carrefour.

Bina Swadaya memiliki 17 perusahaan yang mengembangkan lima bidang kegiatan, yakni keuangan mikro, agribisnis, komunikasi pembangunan, wisata alternatif, dan pemberdayaan masyarakat warga. Pusat pelatihan didirikan dengan sasaran pendidikan dan pelatihan bidang agribisnis untuk memberdayakan masyarakat sipil. Sampai tahun 2007 ini dihasilkan lebih dari 10.000 alumni.

Tahun depan, tepat pada usia 70 tahun, Bambang berencana mengundurkan diri dari kegiatan Bina Swadaya. "Saya siap menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan Bina Swadaya," katanya. Tetapi, ia akan terus berusaha empowering the poor throughout Indonesia: menginspirasi masa depan Indonesia!

Sumber : Kompas, Kamis, 7 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks