Jun 4, 2009

Bajik Rubuh Simpei, Pujangga Karungut Dayak

Bajik R Simpei, Pujangga Karungut Dayak
Oleh : C Anto Saptowalyono

Bagi warga Kalimantan Tengah, karungut atau syair yang dinyanyikan merupakan bagian khazanah budaya etnik Dayak. Karungut setara dengan pantun di Tanah Melayu atau kidung di Jawa. Bajik Rubuh Simpei adalah satu dari sedikit pujangga karungut. Ia setia menjaga seni budaya khas Dayak ini.

Syair karungut acapkali dituturkan dengan iringan alat musik kecapi. Inilah salah satu contoh bait karungut bertajuk Kabar Bahalap (Kabar Baik) yang digubah Bajik:

Salamat hasundau je mina mama
Pahari biti bakas tabela
Ije melai kota kea melai desa
Kabar bahalap handak inyarita

Terjemahan bebas syair gubahan Bajik tersebut adalah selamat bertemu ibu, bapa, tua muda, baik yang ada di kota maupun di desa. Ini ada berita baik yang mau disampaikan.

Ditemui di rumahnya yang berdinding kayu dan beratap separuh sirap ulin dan separuh seng di Gang Batuah Nomor 45, Kelurahan Langkai, Kecamatan Pahandut, Palangkaraya, Bajik (67) mengisahkan perjalanannya sebagai pujangga karungut.

"Saya sudah mulai menulis syair karungut sejak tahun 1959. Banyak kertas-kertas syair yang saya tulis sudah tidak ketahuan lagi ada di mana, karena ada yang meminjam dan rupanya mereka lupa mengembalikan," kata Bajik di Palangkaraya, pertengahan Mei lalu.

Salah satu syair karungut karya awal Bajik yang hilang tak tentu rimbanya bercerita tentang Bawi Kameloh, yakni kisah tentang dewi nan cantik jelita.

Meskipun banyak kertas syair karungutnya yang hilang, Bajik merasa masih beruntung. Sebab, masih ada 20 syair karungut karangan Bajik yang sempat terdokumentasikan pada Dinas Pariwisata, Seni, dan Kebudayaan Palangkaraya. Sebanyak 10 syair di antaranya sudah diarsipkan dalam bentuk rekaman keping video compact digital.

Menurut Bajik, panjang-pendek syair karungut sangat bervariasi tergantung dari temanya. Untuk tema berisi pesan, panjang syair biasanya 10 hingga 30 bait. Setiap baitnya mengandung empat baris. Sedangkan karungut yang menceritakan suatu legenda atau epos kepahlawanan, panjangnya bisa sampai 300 bait.

Bajik membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk menyanyikan karungut berisi 12 bait. "Kadang kala ada baris yang terlalu panjang untuk suatu rentang nada pengiring. Tetapi ini dapat disiasati dengan percepatan pengucapan pada salah satu kata. Misalnya, kata kelas bisa diucapkan dengan ke-las, atau dapat juga disingkat menjadi klas," katanya.

Selain kecapi, pelantunan syair karungut juga dapat diiringi alat musik tambahan seperti gendang, kenong, gong, juga suling. Kecapi yang digunakan untuk mengiringi karungut biasanya terbuat dari kayu ringan seperti jelutung (Dyera costulata). Sedangkan senar kecapi untuk karungut, kata Bajik, pada masa lalu dibuat dari rotan yang diserut tipis. Akan tetapi, sekarang ini senar kecapi sudah menggunakan nilon atau senar kawat.

Pengaruh keluarga

Ihwal yang mendorong Bajik merangkai kata dalam bait-bait karungut tidak lepas dari pengaruh keluarga. Kakek buyut, kakek, dan ayah Bajik adalah pemuka Kaharingan yang sering menggelar ritual menggunakan lagu-lagu rohani Dayak. Bahkan, Bajik pun saat ini menjadi basir dan handepang telun, yakni pemuka agama Hindu Kaharingan.

Sejak muda, sudah terbersit di benak Bajik untuk melestarikan karungut, yakni dengan terlibat langsung dalam kerja tulis menggubah syair yang kesemuanya dalam bahasa Dayak. Kebanyakan karungut ditulis dalam bahasa Dayak Ngaju, namun syair juga dapat digubah dalam bahasa Ot Danum, Manyan, atau bahasa subsuku Dayak lainnya.

Suasana yang sepi dan sejuk adalah kondisi yang menurut Bajik sangat mendukung dalam menulis syair. "Saya ingat pernah menulis bait karungut ketika dulu masih kerja kayu (bekerja di sebuah perusahaan kayu) di kawasan hutan Barito," kata ayah tujuh anak dan kakek lima cucu ini.

Hingga kini Bajik masih menulis syair karungut. Ini dilakukannya di sela waktu luang meneliti dan menulis obat- obatan tradisional khas Dayak.

Saat ini, dia juga tengah menyusun karungut berisi kisah legenda petak malai, yakni tanah berkekuatan magis yang bisa memanggil orang banyak. Hewan-hewan juga tertarik untuk mendatangi petak malai itu.

Delae, istri Bajik, kini mengasuh Sanggar Eka Huang yang melatih seni tari dan juga karungut. Anak-anak Bajik pun mewarisi bakat menyanyikan karungut dan juga bermain kecapi. Salah seorang anaknya, Bennie Putra, pernah meraih juara lomba karungut yang digelar Kepolisian Daerah Kalteng.

Beberapa pentas karungut pernah diikuti Bajik di beberapa daerah, semisal Semarang, Kebumen, Jakarta, Bali, Bengkulu, Lampung, Palembang, dan juga Palu. Bajik juga pernah menjadi juri perlombaan karungut, seperti digelar bulan April lalu di Palangkaraya.

Kepedulian Bajik terhadap karungut tidaklah sia-sia, karena hingga kini seni syair Dayak ini masih lestari. Hal yang membanggakan, kata Bajik, hampir 90 persen dari peserta festival karungut yang lazim digelar tiap tahun dalam peringatan hari jadi Kota Palangkaraya dan Provinsi Kalteng (termasuk di bulan April dan Mei 2007 ini) berasal dari generasi muda.

Namun, Bajik masih menyimpan keinginan, yakni agar pemerintah pusat rajin menampilkan karungut di pentas nasional. Dengan demikian, karungut lebih dikenal, terlestarikan. Ujung- ujungnya, karungut dapat menjadi benteng dari gempuran pengaruh budaya luar negeri.

Sumber : Kompas, Rabu, 6 Juni 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks