Bambang Edi Pembuat Pesawat Mini
Oleh : Irma Tambunan
Jika kakak beradik Wilbur dan Orville Wright yang gagal meraih gelar sarjana sukses menciptakan pesawat terbang di Amerika Serikat, Bambang Edi Istyowanto, lulusan SMA, adalah sosok sukses pembuat replika pesawat terbang. Dari pesawat-pesawat mini inilah, ia bisa menghidupi pengangguran dan buruh tani musiman di desanya.
Kini seluruh maskapai penerbangan nasional, 15 maskapai penerbangan internasional, kalangan penerbangan militer, agen perjalanan, hingga para kolektor miniatur pesawat harus ngantre untuk bisa mendapat pesanan replika pesawat terbang buatannya.
Bambang membuat replika-replika pesawat di sebuah rumah sederhana miliknya di Dusun Bebekan, Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul. Dari situ karya-karyanya beredar ke berbagai penjuru dunia: Amerika, Australia, Belanda, Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Replika-replika pesawat itu digarap dengan dukungan lebih dari 80 warga desa berpendidikan rendah, yang biasanya hanya tahu membajak sawah, nyangkul, atau menanam padi. Mereka adalah orang-orang miskin di desa yang belum pernah naik pesawat. Namun, dari keahlian tangan merekalah miniatur pesawat dapat dinikmati dan didecakkagumi orang-orang dari berbagai belahan dunia.
Begitu detail setiap replika pesawat buatan Bambang. Replika dibuat dalam skala perbandingan yang tepat dengan pesawat aslinya. Bantuk kepala, sayap, ukuran mesin, nomor registrasi pesawat, hingga jumlah jendela di tiap sisi betul-betul sesuai. Hanya ukuran keduanyalah yang membedakan. ”Setiap membuat replika, saya harus lihat dulu spesifikasi pesawat yang asli. Perhitungannya betul-betul cermat supaya pembeli puas,” tuturnya.
Pria yang juga bekerja pada salah satu maskapai penerbangan di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, ini mengaku selalu memerhatikan setiap pesawat terbang yang tengah mendarat. Jendela pesawat, misalnya, dihitung satu per satu. Tak jarang pula Bambang harus memotret pesawat yang dimaksud, untuk memastikan akurasinya.
Bambang juga harus cermat memerhatikan tipe pesawat komersial maupun pesawat versi militer. Lalu, setiap datang pesanan jenis pesawat baru, ia lebih dahulu membuat cetakannya. Kini, ada sekitar 100 jenis pesawat yang pernah dibuatnya, di antaranya pesawat milik maskapai dalam negeri, ada juga pesawat Singapore Air Lines, Qantas, North West, hingga F-16, Hercules, atau Sukhoi.
Pesawat dalam bentuk replika ia jual hanya dalam harga kisaran Rp 10.000 (ukuran panjang 10 sentimeter) hingga Rp 750.000 (1 meter). Namun, para pembeli yang sebagian di antaranya adalah pedagang biasanya menjual kembali replika ini dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. ”Saya pernah menjual replika pesawat seharga Rp 70.000 ke seorang teman. Ternyata teman saya bisa menjual kembali replika itu ke seorang bule dengan harga 80 dollar AS, yang saat itu kurs rupiah Rp 10.000 per dollar. Betapa tingginya nilai karya saya ini,” tuturnya.
Coba-coba
Bambang bukan sejak kecil memimpikan usaha ini. Di tahun 1990-an ia melihat peluang usaha miniatur pesawat cukup besar. Jarang ada miniatur pesawat yang dipajang di kantor agen-agen perjalanan. Banyak penumpang pesawat yang ingin membeli miniatur pesawat sebagai oleh-oleh, tetapi tak tahu cara mendapatkannya.
Peluang inilah yang coba direalisasi menjadi sebuah usaha. Berbekal hasil coba-coba pada sebuah potongan kayu, dibuatlah sebuah replika pesawat sederhana. Meski Bambang bukan seorang mekanik pesawat atau ahli penerbangan, ternyata replika ini langsung diminati.
Pria kelahiran 23 Juli 1967 ini membangun usaha replika pesawat melalui Dani Arta Replika di Ganjuran tahun 1991, bersama istrinya, Ngadilah (38). Nama perusahaannya sendiri diambil dari nama anak keduanya, Dani Arta.
Dari iklan mulut ke mulut, produk buatan Bambang mulai dibanjiri pesanan. Sayangnya, replika dari bahan kayu ternyata kurang tahan lama dan hasilnya kurang mengilap. Ia pun mencoba menggunakan bahan fiberglass. Dengan pewarnaan yang sempurna, hingga kini replika pesawat dari bahan fiberglass yang ia buat sungguh mirip aslinya.
Produksi replika pesawat bisa mencapai rata-rata 150 pesawat per hari dan langsung dapat dipaketkan ke pemesan. Jumlah produksi ini, diakuinya, belum maksimal dari yang diharapkan mengingat pengeringan hasil pewarnaan masih mengandalkan tenaga matahari. ”Kalau musim hujan, hasilnya sulit maksimal. Pesawat-pesawat ini cuma dikeringkan dengan kipas angin atau dijemur dalam rumah,” tuturnya.
Bambang adalah contoh sukses yang bisa menghidupi orang-orang miskin di Bantul.
Sumber : Kompas, Senin, 26 September 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment