Jun 27, 2009

Dirjo Tambur, Si Tokoh Antagonis

Dirjo Tambur, Si Tokoh Antagonis
Oleh : Ita

DALAM usianya yang ke-72 tahun, nama Dirjo Tambur masih saja melekat dalam ingatan orang. "Oh, Mbah Dirjo yang jahat itu," begitu celetukan yang muncul setiap kali si tokoh antagonis ini akan naik panggung. Dan berkat peran antagonislah, ia menjadi sosok yang fenomenal.

Menjadi fenomenal karena dalam usianya yang semakin tua ini, masyarakat di wilayah DIY dan Jawa Tengah, khususnya yang tinggal di pedesaan hingga yang terpelosok, masih sering kali berebutan menanggapnya. Tak ada alasan lebih kuat selain sekadar ingin dibuat tertawa meski terkadang mereka harus pula terenyak dipenuhi amarah, lewat lakon ketoprak khas Dirjo.

Sejak berkiprah di dunia seni ketoprak, Dirjo muda memilih peran antagonis menjadi bagian dari pencitraan diri, bahkan hingga sekarang. Citra inilah yang sering kali membuat masyarakat jadi semakin marah atau malah akan semakin kagum, setiap kali Dirjo menuntaskan aksi panggungnya. Selalu kontroversial, begitulah pandangan Slamet HS, pemimpin Ketoprak RRI, yang mengenal dekat Dirjo.

Karakternya begitu kuat sehingga mudah memancing emosi penonton. Pentas ketoprak perdananya di TVRI tahun 1987 menjadi puncak perhatian masyarakat karena di saat itulah rasa benci masyarakat pada Dirjo mencapai klimaks. Dalam pentas itu, ia memerkosa perempuan usia 30-an, dalam lakon Warih Kusumo.

Dirjo ingin menikahi anak itu karena melihat parasnya yang menarik, tetapi ibunya tidak terima dan marah-marah. Melihat itu, Dirjo naik pitam, lalu memukuli perempuan itu. Tiba-tiba, tanpa sengaja tangannya menyenggol lampu semprit sehingga rumah perempuan itu terbakar.

Keesokan harinya hampir semua media massa di wilayah DIY dan Jawa Tengah memberitakan kontroversi mengenai dirinya, karena berlaku sangat kejam. Padahal, pada hari yang sama masyarakat tengah memperingati Hari Ibu (22 Desember).

Banyak yang mencercanya, tetapi sebagian lainnya justru mengagumi peran yang dilakoninya dan menganggapnya seperti sebuah penemuan baru dalam berseni. "Sangat sulit mengendalikan pandangan negatif masyarakat terhadap lakon saya di panggung ketoprak. Mereka begitu membencinya, tapi para seniman dan pengamat justru menilai peran yang saya mainkan ini brilian," tutur Dirjo.

DIRJO Wiyono Tambur, yang biasa disebut Dirjo Tambur, mulai mengenal dan menggeluti seni ketoprak pada tahun 1970-an. Di masa Orde Baru ketoprak sempat meredup karena banyak seniman takut dianggap sebagai pengikut gerakan Marhaenis, suatu gerakan yang dilarang pada masa itu. Dirjo muda melihat kesenian yang mulai redup ini bisa mati jika tak dibangkitkan kembali.

Karena keinginan menghidupkan kembali ketoprak di Yogyakarta, Dirjo membentuk kelompok ketoprak Wahyu Mataram bersama sejumlah seniman pada tahun 1971. Ia juga sempat bergabung dengan Lembaga Kesenian Nasional bentukan Partai Nasional Indonesia. Dirjo mendatangi Raden Pustoko Kusumoatmojo, seorang bangsawan terpandang di wilayahnya pada masa itu, untuk mendapat jaminan perlindungan dalam kegiatan ketopraknya. Pustoko merestui keinginan itu sehingga gerakan latihan ketoprak di kampung-kampung mulai berjalan.

Gerakan ini langsung membuat nama Dirjo melejit karena ternyata banyak yang menyukai ketoprak. Permintaan manggung dari kampung satu ke kampung lain, atau bahkan ke kota lain, selalu muncul. "Pernah dalam satu malam saya dibayar Rp 3,5 juta, nilai yang sangat tinggi pada saat itu. Orang berani bayar mahal karena masyarakat memang menantikan saya main ketoprak," tuturnya.

Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang terlalu fanatik padanya sehingga terkadang bersikap anarkis. Pernah suatu saat Dirjo menolak memenuhi undangan panitia karena bentrok dengan jadwal pentas lain. Namun, panitia acara itu masih saja mengiming-imingi pentas ketoprak Dirjo. Akibatnya, massa beramai-ramai merusak panggung setelah mengetahui ternyata Dirjo betul-betul tak manggung di sana.

Wahyu Mataram mulai tenggelam seiring banyak personelnya yang semakin tua dan satu per satu tutup usia. Bahkan, setelah Parjiono, pengurus kelompok ini, meninggal, nama Wahyu Mataram menghilang. Dirjo akhirnya mengambil jalur tunggal dalam bermain ketoprak. Waktu luang dipakainya untuk melatih seniman-seniman muda. Hampir setiap hari rumahnya kebanjiran anak-anak muda yang ingin belajar ketoprak. "Banyak anak muda dari balik gunung di Gunung Kidul atau Kulon Progo jauh-jauh datang ke sini hanya untuk belajar ketoprak. Selama latihan, mereka menginap di rumah hingga berhari-hari," tuturnya.

Di tahun 1998 si antagonis ini merintis dan membina kelompok ketoprak baru, yang beranggotakan tukang-tukang becak se-Yogyakarta, juga diberi nama Wahyu Mataram. Para tukang becak yang sebagian besar berpendidikan rendah ini mampu melakukan gebrakan dengan sejumlah pentas di Pakualaman, pesta rakyat di Purawisata, sekaten di Alun-alun Yogyakarta, dan puluhan pentas tobong di desa-desa.

Satu alasan kuat yang mendorong Dirjo tergerak membina tukang-tukang becak di Yogyakarta bermain ketoprak adalah sekadar ingin membuat mereka dapat tertawa. Ini juga yang dirasakannya saat bermain ketoprak, yaitu kenikmatan personal yang sulit digambarkan.

"Saya ajak mereka satu per satu berlatih ketoprak. Ini bukan proyek serius untuk menjadikan mereka pemain ketoprak profesional, tapi animonya ternyata sangat besar. Sebanyak 60 orang lebih terkumpul pada masa-masa awal terbentuknya Wahyu Mataram versi tukang becak," ujarnya.

Upaya membina para tukang becak bermain ketoprak tidak terlepas dari keinginannya menjadikan mereka memiliki sikap dan laku yang jauh lebih manusiawi. "Walaupun mereka bukan dari kalangan terdidik, tapi sebisa mungkin mereka harus menjadi manusia yang punya moral tinggi," tuturnya.

Dedikasi inilah yang membuat kawan-kawan seperjuangannya, seperti Bondan dan Slamet HS, bersepakat bahwa Dirjo seorang seniman profesional, bukan dalam arti materi, namun lebih lagi, yaitu mempertaruhkan hidupnya untuk membuat seni ketoprak makin penuh warna. Bahkan "kejahatannya" telah merangkul orang-orang miskin.

Saat ditanya sampai kapan Mbah Dirjo bermain atau membina para pemain ketoprak, dengan optimis ia menjawab, "Sampai seumur hidup dan tak akan pernah berhenti". Dan, peran antagonis itu pun akan terus melekat padanya. (ITA)

Sumber : Kompas, Senin, 20 Juni 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks