Andri Yunaswin, Juragan Timah Pancing
Oleh : FX Puniman
DI mana ada laut, sungai, rawa-rawa, dan kolam pemancingan, di situ pasti ada ikan. Itu berarti timah pancing dan timah jaring diperlukan. Dengan demikian, peluang usaha produk tersebut terbuka. Itu saja pemikiran Andri Yunaswin, kelahiran Jakarta tahun 1961.
IA dibesarkan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, sampai lulus SLTP tahun 1975, selanjutnya bekerja di Jakarta dan akhirnya menjadi juragan timah pancing di Kota Bogor yang omzetnya lebih dari seratus juta rupiah tiap bulan. Jumlah produksi timah pancingnya sekitar tiga ton seminggu. Padahal, tiap minggunya diperlukan sekitar enam ton. Dia tak bisa memenuhi tuntutan itu karena seretnya bahan baku. Adapun bahan bakunya berasal dari pengumpul timah rongsokan yang berasal dari limbah timah balancing pelek mobil dan aki bekas.
Keberhasilan Andri yang hanya tamatan SLTP ini karena kejeliannya membaca peluang usaha. Semula, sekitar tahun 1975, dia bekerja pada sebuah perusahaan yang memproduksi aki untuk televisi, yang pasarnya di desa-desa. Produksi aki ini lama-kelamaan terus merosot sejalan dengan program listrik masuk desa.
Tahun 1985, majikannya, Hendro, setuju mengalihkan usaha ke timah pancing untuk pemancing dan nelayan. Maka, sisa-sisa aki yang tak diproduksi lagi dilebur timahnya, dijadikan bahan baku untuk timah pancing bagi pemancing dan timah jaring untuk nelayan. Bahan baku lainnya diperoleh dari pengumpul timah rongsokan.
"Untuk mengetahui kebutuhan yang diperlukan kalangan pemancing, saya keluar masuk toko pancing terkemuka di Pasar Pagi dan Gunung Sahari, dan saya tak segan-segan untuk bertanya tentang timah pancing model apa yang laku di pasaran saat ini," kata Andri, yang ditemui Kompas hari Kamis (2/6/2005) siang di bengkel kerjanya di samping tempat tinggalnya.
Tahun 1990 merupakan langkah awal Andri berusaha mandiri untuk membuat timah pancing. Pertama di daerah Parung, Kabupaten Bogor, sebelum pindah ke Kedunghalang, Bogor, hingga sekarang.
"Saya lebih rajin keluar masuk toko pancing yang besar pelanggannya untuk menanyakan model macam apa yang lagi laku. Selain itu juga memperkenalkan model seperti yang ada di majalah pancing dari dalam dan luar negeri. Saya memproduksi melihat respons orang yang pakai sebab cetakannya itu cukup mahal harganya, jadi saya memproduksi berdasarkan permintaan pasar. Saya juga berupaya keras untuk memproduksi model lain dari model yang telah ada asal Surabaya," kata Andri, yang kini memproduksi timah pancing sekitar 13 macam dan satu macam timah jaring nelayan.
Timah pancing itu, antara lain, berbentuk bulat dan kerucut yang umum, tetapi juga ada yang model lonjong dan juga lilin bentuknya. Beratnya yang ringan kurang dari satu ons, yang berat mencapai satu kilogram. "Berat ringannya timah pancing tergantung dari lokasi pemancingan. Kalau di rawa ringan, kalau di laut dalam bisa satu kilogram berat timah pancing yang digunakan pemancing," kata Andri.
BAGAIMANA Andri memperluas jaringan pemasaran produknya, selain memasarkan sendiri ke luar daerah juga bekerja sama dengan pedagang setempat yang bersedia memberikan dana untuk sejumlah produk atau memberikan bahan baku berupa timah rongsokan yang nantinya ditukar dengan timah pancing.
"Di Palembang dan Bengkulu saya masuk sendiri, sedangkan di Lampung dan Jambi dipegang oleh toko pancing setempat. Dengan mitra kerja itu, tergantung dari besar kecil dana yang dikirimkan kepada kami. Kalau mengirimkan dana atau bahan baku untuk 10 ton sebulan, ya saya buatkan sebesar itu, kemudian kita hitung harga jadinya dikurangi dengan harga bahan baku per kilogramnya. Begitu cara saya bekerja sama, ada uang ada barang. Kalau bayar belakang, repot. Bisa jadi kita kedodoran dan bangkrut," katanya.
Andri menyebutkan, awalnya tahun 1990-an produk timah pancingnya itu sekitar satu ton seminggu. "Sekarang bila ada bahan bakunya, sehari bisa satu ton. Karena bahan bakunya saat ini sulit diperoleh, lebih-lebih impor aki bekas dilarang, sehingga produksinya hanya sekitar 500 kilogram," kata Andri, yang oleh warganya dikenal dengan panggilan "Andri Timah".
Tahun 1995-an, Andri tiba-tiba ditantang oleh pemilik toko pancing di Pasar Pagi Jakarta untuk membuat timah diving yang beratnya satu kilogram untuk penyelam. "Begitu diberi modelnya lalu saya buat dan saya perlihatkan, ternyata disetujui. Akhirnya saya mendapat order kontrak kerja sebanyak 15.000 buah atau 15 ton per bulan dengan merek seperti yang dikehendaki pemesan. Barang itu diekspor ke luar negeri, katanya antara lain ke Taiwan. Saya hanya mencetak sesuai pesanan, tak boleh menjual produk tersebut ke toko lain," kata Andri.
Andri mengatakan, meski usahanya berkembang, dia tak berniat untuk mencari pinjaman dari bank karena produknya terbatas. Menurut dia, dana pinjaman bank itu selain bunganya cukup tinggi juga rumit memprosesnya. "Bunga bank yang tinggi untuk industri kecil ini lebih baik bunga itu untuk modal beli bahan baku daripada diberikan kepada bank," katanya.
TAHUN 2002 ia mendapat pinjaman dari Telkom sebanyak Rp 30 juta, disusul pinjaman kedua sebanyak Rp 40 juta pada tahun 2004. Ketika mendapat bantuan pinjaman dari Telkom, Andri menambah tenaga kerja sebanyak enam orang sehingga menjadi 15 orang. Kini, susut tinggal delapan orang karena produksinya juga menurun karena terbatasnya bahan baku.
"Sekarang ini saya tidak berani janji kepada pelanggan saya. Pelanggan di Pontianak yang sebulan perlu lima ton per bulan, saya sanggupi hanya satu setengah per bulan," kata Andri mencontohkan kelangkaan bahan baku.
Di Bogor bukan hanya Andri yang memproduksi timah pancing, tetapi ada dua lagi perajin timah pancing. Satu di antaranya adalah bekas karyawannya. "Saya senang ada karyawan saya yang mampu membuka usaha sejenis. Bahkan saya dorong karyawan saya untuk bisa mandiri seperti pernah saya lakukan. Bahkan saya beri kesempatan untuk pegang wilayah Bogor, saya hanya melayani pesanan dari luar Bogor. Kalau tidak bisa memasarkan, silakan setorkan ke saya," ucapnya.
Ke depan, Andri berangan-angan, usaha yang dirintisnya bisa dikembangkan oleh anaknya menjadi industri yang menggunakan mesin tidak seperti saat ini dikerjakan secara manual sehingga produksinya bisa meningkat dan banyak menampung tenaga kerja.
Kini anak pertamanya, yakni Wahyudiansyah, kuliah di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Sementara anak kedua, Febriansyah, kelas II SLTA dan si bungsu, Nurzen, kelas tiga SMP. Meski layak disebut juragan pancing dengan omzet ratusan juta rupiah tiap bulannya, Andri tetap hidup sederhana. Mobil angkutan barangnya masih mobil minibus Daihatsu Zebra bak terbuka tahun 1990-an. (FX Puniman)
Sumber : Kompas, Senin, 6 Juni 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment