Jun 19, 2009

Andi Siti Nurhani : Dari Saoarja ke Pentas Dunia

Dari Saoraja ke Pentas Dunia
Oleh : Fahmy Myala*

Tahun 1950. Waktu itu di Gubernuran Makassar. Presiden Soekarno tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan bertanya, ”Adakah tarian daerah yang bisa saya nikmati?”

Dengan cepat Andi Siti Nurhani Sapada—tanpa persiapan sama sekali—meminjam pakaian adat Mandar, lalu menyuguhkan tari pattuddu yang berasal dari daerah Mandar, kini Provinsi Sulawesi Barat. Bung Karno terkesan dan mengharapkan agar kiprah Ibu Nani diteruskan dalam membina dan mengembangkan tari-tarian Sulawesi Selatan.

Peristiwa bersejarah itulah yang memacu semangat Ibu Nani, panggilan akrabnya, untuk lebih menekuni seni tari. Itu karena sebelumnya ia adalah seorang penyanyi top pada zamannya dengan nama panggilan Daeng Sugi. Ia pernah bergabung dalam Orkes Daerah Baji Minasa (1949) pimpinan Bora Daeng Irate, pencipta lagu Makassar, Angin Mammiri, yang terkenal itu. Tidak syak lagi, Andi Nurhani Sapada adalah pelantun pertama lagu Angin Mammiri.

Maka, sejak tahun 1950 hingga 1965, setiap tahun wanita bangsawan kelahiran Parepare, 25 Juni 1929, itu tampil di Istana Negara memimpin tim kesenian/tari dari Sulawesi Selatan pada setiap rangkaian acara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Antara tahun 1952 dan tahun 1985 Ibu Nani telah mengolah, membina, dan menciptakan seni tari Sulsel, antara lain pakarena, pattuddu, padendang, bosara, pabbekkenna majjina, pattennung, dendang-dendang, pasuloi, angin mamiri, dan tomassenga. Adapun fragmen tari yang diciptakannya antara lain Sultan Hasanuddin, pajjonga, Wetadampali Masala olie, saleppang sampu, dan anak rara.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ketika pemerintah mengirim tim kesenian ke Australia tahun 1975, dua karya Ibu Nani, yaitu tari bosara dan pattennung, ikut ditampilkan. Pada awal 1970-an Ibu Nani menggarap karya besar dalam bidang musik dengan menampilkan tidak kurang dari 90 pemain kecapi dan suling yang ia namakan Simfoni Kecapi.

Selain itu, Ibu Nani juga pernah memodifikasi sebuah instrumen kecapi yang menggunakan enam grip yang kini di Sulsel dikenal sebagai kecapi Anida (singkatan dari Andi Nurhani Sapada). Jenis kecapi yang kini banyak diperjualbelikan di Sulsel itu mampu memainkan lagu-lagu berskala nada diatonis.

Menggarap tarian massal

Keunggulan lain Ibu Nani ialah kemampuannya menggarap tarian massal. Dalam usianya yang kini melewati 76 tahun ia masih bisa mengenang saat-saat indah ketika ia menggarap tari pakduppa (tari menjemput tamu) yang dimainkan 300-an orang tatkala pembukaan Pekan Olahraga Mahasiswa tahun 1968 di Makassar.

Guna penyerbarluasan karya-karya dan berbagai ide seninya, tahun 1962 Ibu Nani mendirikan Institut Kesenian Sulawesi (IKS). Tujuan IKS adalah menawarkan pendidikan seni kepada putra-putri Indonesia untuk lebih mengenal seni tari empat kelompok etnis di Sulsel (Makassar, Bugis, Toraja, Mandar) serta mengatur dan menggelar beragam pertunjukan, khususnya tari dan musik daerah.

Seorang putri asal Wajo, Sulsel, Nurwahidah (31), menjadikan Ibu Nani sebagai bahan tesisnya untuk memperoleh gelar master humaniora (S-2) dari pengkajian seni pertunjukan dan seni rupa pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (2004). Judul tesisnya, Hj Andi Siti Nurhani Sapada, dari Sangkar Saoraja menuju Pentas Dunia (saoraja artinya ’istana raja’). Tesis dengan judul yang sama dibukukan Bio Pustaka 2004.

Tanggal 20 Desember 2005 Hajah Andi Siti Nurhani Sapada Daeng Masugi menerima anugerah berupa Satya Lencana Kebudayaan dan Hadiah Seni atas darma baktinya selama ini dalam membina dan mengembangkan kesenian Indonesia, khususnya seni tari Sulawesi Selatan.

Sebelum itu Ibu Nani menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI tahun 1972. Dari Pemerintah Australia ia juga meraih cultural award tahun 1975. Dalam era pemerintahan Wali Kota Makassar HM Daeng Patompo, Ibu Nani diangkat sebagai Warga Teladan tahun 1976. Gelar yang sama dan dalam tahun yang sama ia terima dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sidrap, Sulsel. Di Sidrap, suami Ibu Nani, Andi Sapada Mappangile (almarhum), pernah menjadi bupati di awal 1960-an sehingga di sana memang Ibu Nani membina kesenian daerah.

Dari perkawinannya dengan Andi Sapada, Ibu Nani mempunyai delapan anak yang semuanya sudah sarjana dan berumah tangga. Anak ketiganya, drg Nurshanty A Sapada MSi, baru dua bulan lalu dilantik menjadi Kepala Rumah Sakit Umum Dr Wahidin Sudirohusodo, sebuah rumah sakit pendidikan dan rujukan terbesar di kawasan timur Indonesia yang terletak dalam area Kampus Universitas Hasanuddin. Di masa remajanya, Santy adalah primadona IKS.

Pendidikan formal Ibu Nani sendiri pada zaman penjajahan adalah ELS (kini SD) 1934-1941, MULO (kini SMP) 1946-1948, dan AMS (kini SMA) 1948-1950. Meski demikian, ia juga berkuliah dua tahun di Fakultas Sastra dan Seni IKIP Makassar (1971-1973). Ia tidak memilih jurusan seni, melainkan jurusan bahasa Inggris.

Wanita yang energik ini pernah pula menjadi orang kantoran. Ia menjadi Kepala Kantor Kesenian Kota Besar Makassar (1952-1954), lalu menjadi Anggota DPRD Provinsi Sulsel tahun 1971-1974.

Pada 1975-2002 ia menulis delapan buku tentang kesenian dan kebudayaan empat etnis di Sulsel. Pernah diundang ke Inggris dan Belanda tahun 1991 untuk memberi ceramah tentang kostum tari dari Sulsel. Ia juga pernah memberi ceramah pada Lembaga Kebudayaan Indonesia di Moskwa tahun 1996 serta membuat VCD tari empat kelompok etnis di Sulsel tahun 2001

Menjadi ”pajoge”

Pada masa remaja Nani menjadi penari (pajoge, dalam bahasa Bugis/Makassar) adalah sesuatu yang dipandang ”rendah” di kalangan orang terpandang. Padahal, Ibu Nani adalah bangsawan sejati—kedua orangtuanya adalah raja di kampungnya masing-masing. Bapaknya bangsawan Bugis bernama Andi Makkasau Parenrengi Lawawo, bergelar Datu Suppa Toa. Suppa itu adalah sebuah daerah di Kabupaten Pinrang sekarang.

Sebagaimana raja-raja dan bangsawan tempo doeloe, Datu Suppa Toa 10 kali menikah. Pada pernikahannya yang ke-10 dengan Rachmatiah Daeng Baji barulah ia memperoleh anak. Nani adalah anak pertama mereka. Rachmatiah, ibu Nani, adalah bangsawan Makassar, putri dari Karaeng Sonda Raja Bontonompo, sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Gowa sekarang.

Dalam usia tiga tahun Nani diboyong dari tana Ugi (Bugis) dan dipelihara kakeknya, Karaeng Sonda Raja Bontonompo. Kakeknya yang ternyata bangsawan yang sudah berpikiran moderat ini menjadi pendorong dan pembela bagi cucunya untuk berkiprah dalam bidang kesenian. Ia tampil di depan menghadapi orang-orang yang coba meremehkan cucunya yang belajar menjadi pajoge. Kakek dan cucu inilah yang sukses mengangkat harkat seni tari daerah Sulsel ke posisi yang bermartabat seperti sekarang ini.

*Fahmy Myala, Wartawan, Tinggal di Makassar

Sumber : Kompas, Jumat, 20 Januari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks