Saidi, Bertahan dengan Teater Dulmuluk
Oleh : Ilham Khoiri
Dulmuluk merupakan teater tradisional asal Sumatera Selatan yang tumbuh sejak awal abad ke-20. Seni panggung ini menjadi primadona pada tahun 1940-1970-an, tetapi lantas meredup setelah terdesak hiburan populer yang lebih atraktif. Di tengah kemerosotannya, masih ada segelintir aktor yang setia menekuni seni itu, salah satunya Saidi Kamaluddin.
Saidi bersiap manggung pada acara perkawinan warga di Kelurahan Karangjaya, Kecamatan Gandus, Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (13/8/2006) malam. Lelaki itu tampak khusyuk saat berdoa di balik kelambu panggung sebelum merias wajahnya sendiri. Tetapi, begitu riasan beres, dia seakan lahir sebagai orang berbeda.
Malam itu Saidi memerankan tokoh sultan dari Yaman yang bersitegang dengan Raja Negeri Bailanga dalam lakon Lamaran Ditolak.
Saat berakting, dia benar-benar menjadi sultan berwibawa dalam gerak tubuh, mimik, dan gaya bicaranya. Postur tegap dan hidung mancung membuatnya tampak pas dengan sorban putih, rompi bermotif sulaman emas, dan celana gombrong.
Selesai tampil satu babak, dia menyelinap ke balik kelambu panggung, dan kembali menjadi Saidi sehari-hari yang kalem dan ramah. "Beberapa tahun belakangan saya sering memainkan tokoh raja. Kalau raja itu antagonis, saya dibenci penonton, tetapi kalau protagonis, penonton seperti menunggu-nunggu saya muncul," katanya.
Saidi termasuk segelintir aktor yang bertahan memainkan teater Dulmuluk. Disebut Dulmuluk karena teater ini menampilkan lakon Raja Abdul Muluk yang kemudian disingkat jadi Dulmuluk. Lakon itu diambil dari syair buku Kejayaan Kerajaan Melayu karya Raja Ali Haji.
Menurut peneliti Asosiasi Tradisi Lisan Sumsel, Anwar Putra Bayu, yang ikut menonton pementasan Dulmuluk di Gandus, syair Raja Ali Haji semula dibacakan sebagai cerita bersambung oleh pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, di Tangga Takat, 16 Ulu. Ternyata, pembacaan itu mengesankan banyak orang. Agar lebih memikat, syair itu lantas diperagakan beberapa orang, ditambah iringan musik, sehingga berkembang menjadi teater rakyat.
Teater itu melahirkan banyak aktor, antara lain Saidi, yang telah berpentas selama 58 tahun lebih. Bersama kelompok teater Setia Kawan yang dirintis sejak 1965, dia diundang hingga ke Yogyakarta, Medan, Bandung, Banten, dan Jakarta. Dia juga sempat menggubah beberapa cerita dan membuat sejumlah syair tambahan dalam lakon teater.
Selain itu, Saidi juga pernah membina setidaknya 19 sanggar di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Musi Banyuasin, Muara Enim, dan Kota Palembang, yang masing-masing rata-rata beranggotakan 25-30 orang.
"Bayaran melatih tergantung kemampuan anggota sanggar. Yang penting, generasi muda bisa mengenal Dulmuluk sehingga seni ini tidak mati," ujarnya.
Hingga kini Saidi menjadi rujukan penting bagi peneliti atau peminat seni ini. Sebagian muridnya menjadi aktor, termasuk anak lelakinya, Yudi (27). Konsistensi dan kiprahnya mengembangkan Dulmuluk mengantarkan Saidi menerima penghargaan dari Menteri Penerangan RI tahun 1983 dan anugerah seni dari Gubernur Sumsel tahun 2000.
Keluarga Dulmuluk
Lahir di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, tahun 1940, setamat sekolah dasar dia tidak sempat melanjutkan sekolah karena telanjur sibuk bergumul dalam pentas Dulmuluk. Ayah Saidi, Kamaluddin, murid Wan Bakar dan termasuk pelopor teater tradisional itu. Tetapi, Saidi justru belajar dari kakak pertamanya yang juga aktor, almarhum Arjo Kamaluddin.
Pertama kali bermain Dulmuluk, tahun 1948, Saidi memerankan tokoh perempuan, dengan bayaran Rp 25. Dia tekun berlatih sendiri di depan kaca meski kerap dicemooh sebagai orang gila. Dia juga rajin menghafal ribuan syair Dulmuluk dalam huruf Arab pegon di buku Kejayaan Kerajaan Melayu.
Berbekal akting yang bagus, Saidi pernah mencoba memerankan hampir semua tokoh dalam lakon Dulmuluk. Bahkan, dia pernah memerankan tiga tokoh sekaligus dalam satu pentas, karena dua pemain tak datang.
"Begitu selesai memerankan satu tokoh, saya langsung lari ke belakang panggung, ganti kostum dan riasan, kemudian keluar jadi tokoh lain. Itu berulang-ulang sampai pertunjukan berakhir," katanya terkekeh.
Pada masa kejayaannya, setiap hajatan di kampung hampir selalu menanggap Dulmuluk yang dihadiri ribuan penonton. Saidi tampil lima kali seminggu, bahkan pernah 10 malam berturut-turut. Saat itu muncul puluhan grup teater dengan banyak aktor. Teater ini benar-benar merosot sejak tahun 1990-an saat muncul banyak alternatif hiburan, terutama televisi, film layar lebar, dan pertunjukan organ tunggal.
Meski demikian, Saidi tetap setia memilih jalan hidup sebagai aktor teater rakyat itu. Dulmuluk merupakan warisan seni budaya yang patut dilestarikan, antara lain karena mengajarkan nilai hidup dan kearifan lokal. Salah satunya, pesan berbentuk syair Raja Abdul Muluk kepada para pemimpin. Saidi hafal syair itu di luar kepala.
"Kalau kau jadi pemimpin/semua pekerjaan hendaklah yakin/kau bantulah olehmu rakyat yang miskin/supaya daerahmu jadi terjamin. Karena kau sudah di atas takhta/engkau jangan berkata dusta/bangunlah olehmu desa dan kota/supaya dinikmati rakyat semesta," paparnya.
Sumber : Kompas, Jumat, 25 Agustus 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment