Captain Hary, Semula Sopir Bemo
Oleh : Djoko Poernomo
"Saya sempat menengok ke belakang. Pesawat miring ke kiri dan roda bagian kanan sedikit terangkat. Adapun mesin hampir bergesekan dengan landasan...," tutur Captain Hary Rachmat (53), penerbang senior Garuda.
Ia berkata demikian untuk mengawali cerita tentang detik-detik mencemaskan saat membawa pesawat Boeing 747-400 landing di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 Juli 2006, tanpa satu roda karena macet.
"Pesawat lalu menggelinding dengan mulus dan berhenti di ujung landasan. Saya tak melakukan pengereman karena ada risiko pesawat terbanting ke kanan. Selebihnya, saya tak bisa berkata apa-apa lagi...," tutur Hary Rachmat, lulusan Oxford Air Training School, Carlisle, Inggris bagian utara, tahun 1975, yang hingga sekarang sudah mengantongi 16.700-an jam terbang menggunakan berbagai jenis pesawat komersial, mulai Fokker 28, DC 9, DC 10, Airbus, sampai Boeing 747-400.
Bapak tiga anak yang beristrikan mantan pramugari Garuda kelahiran Solo, Lucy Hartanti (49), itu menyebut suatu keajaiban bisa mendaratkan pesawat superjumbo tanpa satu roda secara sempurna di tempat yang sudah direncanakan. Kemacetan roda itu sendiri diketahui beberapa saat sebelum landing. Hary Rachmat saat berada di kokpit didampingi Captain Djoko Poerwono dan Copilot Rudrayana Meiko.
"Yang saya pikirkan, bagaimana cara menyelamatkan pesawat dan penumpang. Apalagi jumlah penumpang cukup banyak. Kami bertiga pun kemudian terlibat diskusi, bagaimana cara mendaratkan pesawat tanpa satu roda. Semua saya serahkan kepada Yang di Atas. Saya pasrah...," ujar Hari Rachmat.
Sebenarnya ada satu kesulitan lain mengingat angin berembus dari arah kiri, sehingga pesawat harus dimiringkan ke kanan. Kesulitan ternyata bisa diatasi oleh captain pilot, yang semasa duduk di bangku SMA di Bandung sempat menjadi sopir bemo.
Perjalanan panjang
Boeing 747-400 memiliki lima unit roda pendarat, berturut-turut satu unit di badan bagian depan, dua unit di badan bagian tengah, serta dua unit masing- masing di sayap kiri dan sayap kanan. Setiap unit terdiri atas empat roda, kecuali di bagian depan yang hanya terdiri atas dua roda. Dengan demikian, pesawat keseluruhan memiliki 18 roda guna menopang 245 ton berat pesawat saat mendarat atau hampir 325 ton saat tinggal landas. Roda yang macet terletak di bagian sayap kiri.
Pesawat dengan nomor registrasi PK-GSH itu baru saja menempuh perjalanan lebih dari 10 jam dari Jedah, Arab Saudi, menuju Jakarta dengan membawa 375 penumpang, ditambah 16 awak kabin, serta tiga awak kokpit yang nama-namanya telah disebutkan.
Dalam pengecekan sore harinya, ditambah catatan dari gambar dan video, pesawat diketahui ekstrem miring ke kiri. Antara mesin pesawat dan landasan beraspal hanya menyisakan ruang setinggi 20-an sentimeter. Padahal dalam kondisi normal, orang cukup sulit menggapai mesin Boeing 747-400. Seandainya mesin menggesek landasan, tentu akan timbul api. Sisa bahan bakar saat itu masih 4.500-an liter sehingga sangat berpotensi untuk terbakar.
Jika peristiwa itu menjadi kenyataan, tak terbayangkan bencana besar yang bakal muncul. Dalam hubungan inilah tak sedikit penumpang pesawat dengan nomor penerbangan GA-981 itu langsung melakukan sujud sambil mencium tanah, setelah diberi aba-aba oleh awak kabin untuk keluar secara tertib melalui door-22 dan door 25 (pintu emergency kanan). Normalnya digunakan pintu kiri.
Kali kedua
Bagi pilot yang tetap setia bekerja di Garuda tersebut, pengalaman "buruk" di akhir Juli merupakan kejadian kali kedua. Pertama terjadi tahun 1990-an saat ia mengawaki pesawat Airbus yang salah satu rodanya juga tidak keluar menjelang landing di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, setelah terbang dari Hongkong. Namun, beberapa detik sebelum diputuskan pesawat mendarat darurat, roda yang macet tiba-tiba bisa keluar.
Kejadian di Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta tak membuat hati Hary Rachmat ciut. Ia berketetapan akan menjalani profesi sebagai penerbang hingga akhir hayat. Profesi ini sendiri sudah dijalani 30 tahun lebih.
Anak nomor dua pasangan Kapten (Purn) Asdadi-Ny Momik Sukaimi ini sempat menjadi sopir bemo, sebelum melamar menjadi calon penerbang Garuda. Ia melakoni sebagai sopir bemo guna menambal kebutuhan sehari-hari, sekaligus mencari biaya untuk ujian SMA.
"Saudara saya delapan orang. Berapalah gaji seorang anggota TNI? Untuk meringankan beban Bapak itulah saya menyediakan diri menjadi sopir bemo...," papar Hary Rachmat, mengenang. Bekerja sebagai sopir bemo— meski hanya sekitar dua tahun— menjadikan keberanian Hary Rachmat remaja tertempa.
Sebelum memutuskan melamar ke Garuda (dua kali tes, dua kali gagal), ia sempat merantau ke Kalimantan dan bekerja serabutan. Kalaupun sekarang ia berkecukupan dari segi ekonomi, niscaya itu merupakan buah keberaniannya membuang setir bemo sekaligus mengubahnya menjadi kemudi pesawat terbang.
Namun demikian, sang ibu tidak sempat sekali pun menyaksikan Hary Rachmat menggunakan seragam penerbang baju putih dipadu celana biru tua serta topi pet. "Ibu wafat saat saya mengikuti psikotes, dan pemakaman dilaksanakan ketika saya dinyatakan lulus serta dikirim ke Inggris. Inilah yang selalu mengusik hati dan pikiran...," tuturnya.
Sumber : Kompas, Jumat, 18 Agustus 2006
Jun 15, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment