Jun 26, 2009

Agnes Widanti Soebiyanto : Masih Banyak Hambatan bagi Perempuan

Masih Banyak Hambatan bagi Perempuan
Oleh : Aufrida Wismi Warastri

Dalam tradisi Yunani, konon Dewa Zeus mengirim perempuan cantik, Pandora, untuk menghukum manusia (laki-laki) karena mencuri api milik dewa dari matahari. Sementara, dalam Kitab Kejadian, Eva dianggap menggoda Adam untuk memakan buah terlarang. Bagaimana cerita-cerita seperti itu dalam perspektif jender?

Dua cerita yang bermuatan ketidakadilan jender itu menunjukkan Pandora dan Eva sama-sama diciptakan dewa laki-laki, yang satu untuk membantu, yang satu untuk menghancurkan.

Cerita ini mengemuka ketika Prof Dr Agnes Widanti Soebiyanto, SH, CN (65) menyampaikan pidato pengukuhan sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Sabtu, (16/7/2005). Widanti memaparkan tulisan yang berjudul Hak Reproduksi Perempuan dan Buruh Perempuan Versus Kebijakan Pemerintah.

Pidato yang dibacakan di ruang perpustakaan Gedung Thomas Aquinas Unika Soegijapranata menjadi kesempatan baginya untuk men-”smash” banyak orang yang hadir, khususnya kaum pria. Ketidakadilan jender yang terjadi sehari-hari ia paparkan. Sindiran itu ditanggapi hadirin dengan senyum kecut dan tawa.

Cerita Adam dan Eva adalah contoh bagaimana tafsir agama masih menjadi hambatan kesetaraan jender di Indonesia. Selain hambatan tafsir agama, masih ada hambatan budaya yang menganggap perempuan lemah, hambatan politik yang menganggap perempuan adalah warga kelas dua, dan hambatan ekonomi yang menganggap perempuan makhluk domestik, tidak menguasai kekayaan keluarga.

Buta jender

Meski Deklarasi Cairo (yang Indonesia ikut menandatangani) menegaskan menjadi hak perempuan untuk menentukan perlakuan terhadap tubuhnya, informasi yang jelas tentang perlakuan terhadap tubuh perempuan tidak dilaksanakan dengan baik. ”Program KB (keluarga berencana) yang telah banyak mendapat penghargaan internasional telah menempatkan perempuan hanya sebagai obyek untuk mencapai target,” tutur Widanti.

Kebanyakan perempuan tidak mempunyai kebebasan untuk memutuskan kapan ia akan hamil, berapa banyak anak yang diinginkan, bila ber-KB kontrasepsi apa yang diinginkan, di mana akan memeriksakan kehamilan, dan di mana akan melahirkan. Hal ini terjadi karena rendahnya akses perempuan terhadap kesehatan reproduksi.

Kebijakan makro di bidang pembangunan pun masih buta jender. Kebijakan dirancang tanpa melihat dulu dampak terhadap perempuan sebagai buruh, istri, dan warga negara. Kapitalisme juga membedakan perempuan dalam ranah publik. Buruh perempuan upahnya jauh lebih rendah daripada laki-laki. Ia tidak mendapat tunjangan karena dianggap lajang.

Pengalaman di rumah

Ditanya situasi lapangan, tidak sukar bagi alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 1966 ini menjelaskan. Ia tahu persis karena aktivitasnya masuk ke kampung-kampung untuk melakukan pendampingan pada perempuan dan orang kecil, termasuk di Bandarharjo dan Kota Lama Semarang. Ia juga aktif sebagai Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah, Ketua Lembaga Pendampingan Usaha Buruh Tani dan Nelayan, dan Majelis Solidaritas Perempuan untuk Reformasi Jawa Tengah.

”Saya bisa melakukan ini karena pengalaman yang terjadi di rumah,” kata nenek dua cucu yang dibesarkan di Kampung Nyutran, Yogyakarta, tidak jauh dari Perguruan Taman Siswa itu. ”Kami hidup dalam keluarga besar, ada 25 orang dalam keluarga. Ibu saya punya anak 12, tiap tahun melahirkan anak. Ibu tidak pernah punya waktu untuk dandan,” katanya. Apalagi semua tugas rumah tangga dilakukan oleh anggota keluarga yang perempuan.

Ayahnya, seorang guru SGA, menekankan betapa pentingnya pendidikan dan mengajari untuk dekat dengan orang kecil. Saat usia sembilan tahun, ayahnya meninggal. Praktis ibu yang mengambil alih semua tanggung jawab. Ibu kemudian menjadi guru di SGTK dan SD Kanisius, mencari uang untuk anak-anak.

”Ibu saya sampai menjual pekarangan untuk membiayai kakak saya yang berkesempatan sekolah di luar negeri,” kata perempuan kelahiran 26 September 1940 yang baru saja mengeluarkan buku Hukum Berkeadilan Jender terbitan Kompas itu.

Istri Dr Soebiyanto (almarhum) ini mengatakan, ia merasa masih punya banyak pekerjaan rumah. Proses pengadilan kekerasan terhadap perempuan masih timpang. Pengadilan selalu menolak kasus kekerasan karena tidak ada tiga bukti formal dan tiga saksi, sementara sangat sulit mencari saksi kasus pemerkosaan. ”UU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) belum dijalankan,” katanya prihatin.

Sumber : Kompas, Selasa, 19 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks