Jun 26, 2009

Gunawan Ismail : Jarum Rekonsiliasi Gunawan Ismail

Jarum Rekonsiliasi Gunawan Ismail
Oleh : Maria Hartiningsih

Tak banyak orang menyikapi masa lalunya yang pahit secara adil. Ada yang membuangnya. Ada yang menyimpannya dalam-dalam. Ada yang memanggulnya sebagai beban hidup. Semua punya alasannya. Seperti Gunawan Ismail (67) yang tampaknya mampu membersihkan seluruh perasaan buruk tentang masa lalunya.

Di ruang-ruang bersekat kain putih bersih di tempat praktiknya, Gunawan Ismail tak hanya menggunakan jarum akupunktur untuk mengobati pasiennya.

Dengan jarum itu, ia menenangkan para pasiennya, memberikan kehangatan dan harapan dengan humor-humornya yang segar. ”Kalau mulus terus ya bukan hidup namanya,” ujarnya dengan nada yang selalu ceria.

Gunawan meyakini teori Dr Hans Selye, endokrinologis asal Praha, bahwa sumber dari banyak penyakit adalah faktor psikis. Pengalamannya sejak tahun 1967 membuatnya menolak konsep dualisme yang memisahkan tubuh dan jiwa.

”Komunitas di mana saya berada selama bertahun-tahun adalah komunitas dengan tingkat stres yang sangat tinggi,” tuturnya. Ia belajar banyak dari peristiwa di ”laboratorium hidup” dengan lebih 700 tahanan di dalamnya.

”Misalnya, seorang bapak yang paginya semringah menunggu keluarganya menengok, tapi ternyata tidak datang. Jam tiga siang ia masuk angin, jam tujuh malam langsung panas tinggi,” kenangnya.

Pola seperti itu sering terjadi. ”Ekspektasi terlalu tinggi, lalu kecewa, lalu hancur,” lanjutnya. Panas tinggi itu, kata Gunawan, adalah terminal dari mekanisme pertahanan, yang pada satu titik pecah menjadi penyakit dengan simtom seperti infeksi, tetapi penyebabnya bukan virus.

”Di sini ada dua aspek. Jiwa yang hancur dan daya tahan tubuh yang jebol,” jelas Gunawan.

Di dalam tahanan, tusuk jarum adalah satu-satunya cara untuk membantu mereka yang sakit. Ia mempelajarinya secara otodidak. Setumpuk literatur kedokteran yang diwariskan kepadanya oleh seorang dokter dari RS Dustira, Cimahi, sangat membantunya mendalami anatomi tubuh manusia, melengkapi pengetahuannya tentang teori-teori fisika modern.

Gunawan memang ilmuwan fisika. Sebelum ditahan ia sempat mendalami biofisika dengan bimbingan Guru Besar ITB Prof Ong Ping Kok dan kemudian Prof Barmawi.

Bisa dipahami kalau ia terus berusaha mencari titik temu antara prinsip-prinsip pengobatan Timur dan kedokteran Barat. Ia melakukan eksplorasi untuk memperoleh kejelasan ilmiah dari keseimbangan dua kekuatan kosmis yang antagonis, yakni unsur yin dan yang; dasar teori akupunktur.

Tak mau pahit

Bagi Gunawan, rekonsiliasi dengan diri sendiri sangat penting sebelum berbicara masalah politik dan hukum berkait dengan pengungkapan masa lalu. Rekonsiliasi dengan diri sendiri berarti berdamai dengan rasa pahit dan menolak menjadi korban. ”Kemarahan dan dendam hanya akan membakar diri,” katanya.

Gunawan adalah satu dari ribuan orang yang ditahan tanpa sebab jelas dan tuduhan yang tak bisa dibuktikan dalam tragedi tahun 1965. Ia ”diambil” tahun 1967, saat bersiap melanjutkan studinya ke Belanda. Padahal, menurut penuturannya, ia tidak terlibat dengan satu pun organisasi politik maupun onderbouw-nya di kampus. ”Saya tahunya hanya meneliti,” katanya.

Pengalaman di tahanan memberikan pengayaan batin tak ternilai besarnya. Ia merasa mendapat banyak privilege karena petugas mengizinkannya membaca buku-buku dari luar mengenai akupunktur. Selama enam tahun sebelum pembebasannya tahun 1978, ia punya segudang kegiatan di luar terkait dengan akupunktur, dengan ”restu” petugas.

Setelah dibebaskan ia sempat bergabung di pelatnas bulu tangkis tahun 1986. Pasiennya semakin banyak sehingga ia membagi waktunya di Jakarta dan Bandung. Khususnya di ITB, setelah Rektor ITB (dulu) Prof Kusmayanto mengundang Gunawan untuk mengembangkan pengetahuannya bagi kemajuan dunia sains.

Kehidupannya sekarang berjalan seperti biasa. Ayah satu anak ini tidak merasa ada yang hilang karena waktunya memang tidak terbuang percuma. Pengalaman hidup membuatnya paham bahwa nasib baik, nasib buruk adalah soal pencarian makna di baliknya. Keduanya memberikan kepenuhan pada hidup.

Di sela waktunya ia memberi pelatihan sukarela di perkampungan padat dan kumuh di Jakarta. Ia yakin, akupunktur dan metode pengobatan tradisional lain dapat memberdayakan orang miskin untuk menyelenggarakan kesehatannya dengan bimbingan orang-orang yang terlatih. Hidup sehat bagi dia adalah hak semua orang.

”Dengan itulah saya mencicil ’utang-utang’ saya,” ujarnya.

Sumber : Kompas, Senin, 18 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks