Abidin, "Penakluk" dari Kaki Rinjani
Oleh : Khaerul Anwar
Bila Anda menuju Desa Santong, Anda mesti melewati Dusun Empak Mayung, Kecamatan Kayangan, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Di Dusun Empak Mayung yang terletak paling hilir di kecamatan itu ada lahan seluas 12 hektar yang tampak hijau dan sejuk oleh rindang dedaunan beragam jenis pohon dan tanaman.
Kondisi lahan rusak akibat perambahan hutan Rinjani, dan bertambah parah oleh aksi penggalian batu apung yang selama ini justru menjadi sumber penghasilan penduduk setempat. Padahal, tanah di kawasan yang berjarak sekitar 60 kilometer arah utara Mataram itu terbilang labil dan poros.
Akan tetapi, Abidin berhasil "menaklukkan" lahan gersang dan kritis yang semula mustahil ditanami itu, bahkan dia "sulap" menjadi subur. Kini, lahan itu menjadi produktif dan semua itu membutuhkan pengorbanan tenaga, pikiran, dan uang yang tak sedikit. Atas kegigihannya itu, Abidin mendapat penghargaan Kalpataru pada Mei 2006.
Semula, kebun yang dia beli pada tahun 1978 hanya seluas 1,5 hektar. Lahan yang berkontur miring dan bergelombang itu dia ratakan, lalu dipagari dengan tanaman jarak pagar serta dibuat terasering guna mengurangi terjadinya erosi.
Pekerjaan itu dilakukannya bersama warga sekitar. Biaya pengerjaan awal itu dari pinjaman bank sebesar Rp 18 juta. Selain untuk menggarap lahan, dana itu juga dia gunakan untuk membeli 45 kambing, 18 sapi, dan 115 ayam. Ternak dan areal itu dipelihara dan dikelola penduduk sekitar dengan kompensasi bagi hasil.
Selama proses pengerjaan lahan, setiap Sabtu dan Minggu Abidin yang berasal dari Kabupaten Bima (Sumbawa) ini menginap di sana. Hari-hari lain Abidin tinggal di Kota Mataram, melaksanakan tugas sebagai pegawai negeri. Setelah pensiun tahun 1995, Abidin mengisi hari-harinya dengan berkebun.
Tanah kebun di Dusun Empak Mayung itu tidak bisa ditanami langsung karena tanahnya berongga oleh batu apung. Tanaman akan mati bila akar barunya menyentuh batu apung. Faktor alam itu dia siasati dengan membuat lubang di tanah, lalu ditimbuni humus, pupuk kompos, kotoran ternak, sekam, dan ampas kayu gergajian. Setahun kemudian, lubang itu baru bisa ditanami, di antaranya lamtoro dan turi sebagai tanaman konservasi.
Areal miliknya kian luas, menyusul para pemilik lahan, dengan pertimbangan tertentu, menjual lahannya kepada Abidin. Kini, di atas lahan seluas 12 hektar milik Abidin terdapat 80 jenis tanaman, terdiri atas 60 persen tanaman buah-buahan dan 40 persen tanaman perkebunan. Bahkan, di antaranya bernilai ekonomis tinggi, seperti gaharu (25 batang), matoa (96 batang), dan cendana (72 batang) yang umurnya 15 tahun.
Selain itu, ada juga vanili, cokelat, kemudian tanaman apotek hidup sebanyak 17 jenis, seperti kumis kucing, ginseng lokal, sambiloto, dan mahkota dewa. Masih ada lagi 12 jenis tanaman tumpang sari macam wijen, kacang hijau, kedelai, dan kacang tanah.
Teknik irigasi tetes
Untuk mengairi tanamannya itu, Abidin menempuh teknik irigasi tetes: air dimasukkan dalam bambu atau botol bekas air mineral, yang bagian bawahnya dilubangi sebagai jalan keluarnya air. Selain itu, secara swadaya, suami Hj Siti Hamidah ini membangun delapan bak penampung air.
Air dialirkan melalui pipa sepanjang dua kilometer dari Kali Bagek Kembar, yang berada di bagian hulu Dusun Empak Mayung. Bak air itu diisi pasir dan arang kelapa secukupnya sebagai penyaring kotoran yang dibawa air dari hulu. Air itu kini bahkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga warga serta irigasi kebun seluas 244 hektar milik 250 anggota Kelompok Tani Lahan Kering Pade Girang yang didirikan Abidin.
Kebun milik Abidin dewasa ini menjadi obyek studi banding mahasiswa fakultas pertanian beberapa universitas di Mataram, selain menjadi obyek kunjungan lembaga swadaya masyarakat dari mancanegara.
Abidin, ayah empat putra, enggan menyebut jumlah penghasilannya dari berkebun. Tetapi, ia menyebutkan, pemberian beasiswa bagi 42 anak yatim dan donasi tetap dua pondok pesantren di dusun itu bersumber dari hasilnya berkebun. Sumbangan itu baru 40 persen dari total hasil panen yang masuk kantong pribadinya, 40 persen hasil tanamannya tercecer, dan 20 persen dimakan burung, satwa, dan hewan lainnya.
Abidin mengungkapkan, orang yang berjasa memotivasinya dalam pengelolaan lahan kering ini adalah Bolomayer, LA Slauring, dan Tunata Prawira. Ketiga orang itu pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan NTB, masing-masing pada tahun 1956, 1958, dan 1970.
Bolomayer dan Slauring menyarankannya agar mengelola lahan kering, mengingat areal hutan akan makin menyempit akibat pembabatan. Adapun Tunata menganjurkan agar Abidin bertanam tanaman obat-obatan, sebab kelak harga obat kimia kian mahal.
Pesan-pesan itu dipatuhi Abidin dan kini ia menuai hasilnya.
Sumber : Kompas, Senin, 30 Oktober 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment