Harto Alkarim dan Replika Pesawat Terbang
Oleh : FX Puniman*
Tahun 1987, Harto Alkarim menjual kompor dan tabung gas untuk membeli beras guna makan sehari-hari. Hal itu dilakukan karena sudah tiga bulan tidak mendapat pekerjaan.
Usaha kerajinan aneka cendera matanya lesu. Adapun kompor dan tabung gas itu merupakan barang terakhir yang Harto jual untuk makan sehari-hari. Uang hasil penjualan sebesar Rp 20.000 itu oleh istrinya langsung dibelikan beras dan lauk-pauk.
Habis makan, tiba-tiba datang seorang leveransir sambil membawa uang tunai sebesar Rp 25 juta sebagai uang muka untuk pembuatan 1.000 replika pesawat terbang Garuda.
"Untuk pertama kalinya saya lihat dan pegang uang sebesar itu. Uang itu kemudian saya simpan di kolong tempat tidur selama seminggu. Saya bingung mau diapakan uang sebanyak itu," kata Harto, kelahiran Makassar tahun 1990 yang menjadi perajin replika pesawat terbang di sebuah pedesaan di Kabupaten Bogor.
Kebingungannya teratasi setelah teman akrabnya, seorang wiraswasta asal Makassar, datang mengunjunginya. Temannya menuntun untuk menyimpan uang di bank terdekat dan sekaligus membuka rekening. Dan mengajarkan pula untuk membelanjakan barang utama yang diperlukan secukupnya untuk membuat replika pesawat terbang.
Anak pertama dari pasangan Alkarim dan Siti Rifiah ini menyebutkan, ia pergi dari Makassar untuk mengembara ke Jakarta pada tahun 1979. Sebagai orang yang hanya lulusan SD, di Jakarta dia ikut bekerja pada temannya asal sekampung yang bergerak di bidang perlengkapan ABRI di daerah Senen.
Di tempat ini, Harto mengaku bekerja selama tiga tahun (1979-1982), kemudian pindah kerja di sebuah perusahaan advertising di Jalan Gajah Mada. Hanya setahun bekerja, dia lalu keluar membuka usaha sendiri di bidang pembuatan aneka macam cendera mata.
Suatu saat datanglah temannya di rumah pondokannya di daerah Sunter dengan membawa sebuah replika pesawat terbang buatan Inggris sambil berkata, "Bisa bikin ini? Langsung saya jawab bisa," kata Harto.
Contoh itu lalu dibawa Harto ke teman-temannya, antara lain, di Pasar Seni Ancol sambil meminta petunjuk cara pembuatannya. Akhirnya, dia berhasil membuat replika pesawat terbang yang terbuat dari bahan kayu yang dilapisi fiber. Hasil jadi replika itu boleh dibilang sulit dibedakan dengan contohnya.
"Teman saya itu lalu memesan 1.000 buah untuk memenuhi pesanan seorang perantara dari Inggris dengan model yang telah saya buat. Namun, saya tak menyanggupi karena order sebanyak itu harus diselesaikan selama tiga bulan. Bule itu lalu pesan ke Filipina," kata Harto.
Sejak itu dia lalu mempelajari pembuatan replika pesawat terbang secara serius, hingga akhirnya berhasil membuat replika pesawat dari bahan nonkayu yang lebih cepat prosesnya.
Akhirnya, pada tahun 1987 ia didatangi seorang leveransir yang memesan replika pesawat Garuda Indonesia. Tahap awal minta dibuatkan sebanyak 1.000 buah, lalu disusul tahap kedua dalam jumlah yang sama. "Pembuatan replika Garuda Indonesia ini berlangsung selama tiga tahun, jumlah replika yang saya buat sekitar 5.000-an buah yang nilainya Rp 75 juta. Replika pesawat itu dikirimkan ke seluruh dunia di mana ada agen Garuda," tutur Harto.
Setelah order dari Garuda selesai, order pembuatan untuk pesawat komersial lainnya berdatangan, baik dari perusahaan penerbangan Indonesia maupun perusahaan penerbangan asing. "Semua order dari leveransir. Biarlah bagi-bagi rezeki dengan orang-orang yang menjadi mitra kerja kami," kata Harto. Usahanya, lanjut dia, kemudian dipusatkan di sebuah desa asal kelahiran istrinya, Fatimah, yakni di Kelurahan Cikarawang, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Tenaga kerjanya untuk pembuatan pesanan replika pesawat itu sekitar 100-an orang.
Dampak teror bom
Kini, kebingungan babak kedua dialami Harto. Kebingungan yang kedua ini berbeda dengan yang pertama. Pascakrisis moneter, usahanya lesu. "Produksi kami memang bukan barang primer atau kebutuhan sehari-hari. Konsumennya adalah orang- orang yang berduit. Produk saya terkait dengan pariwisata. Teror bom yang terjadi di Bali, besar dampaknya terhadap produk kami," papar Harto. Ia menambahkan, harga jual satuan replika pesawat terbangnya antara Rp 60.000 sampai Rp 500.000 per buah. Tingginya harga jual itu sesuai dengan tingkat kesulitan dalam membuat, dan ukurannya.
Saat ini produksi non-order sebulannya sekitar 200-an buah dengan tenaga kerja sebanyak 15 orang. "Boleh dibilang merugi, upah dengan omzet tidak seimbang. Karena itu, saya mengubah strategi dengan membuat replika pesawat terbang klasik—tidak hanya pesawat komersial—yakni pesawat terbang kuno, termasuk jenis pesawat terbang perang, sesuai dengan selera pasar dunia saat ini, dan kebetulan ada BUMN yang mau mendukung," jelas Harto. Adapun contoh pesawat terbang klasik, katanya, diperoleh dari buku terbitan luar negeri dan internet.
Replika pesawat terbang buatan ayah dari tiga anak dan dua cucu ini telah dipamerkan di beberapa negara, seperti negara-negara di Timur Tengah, Afrika, Hongkong, Jepang, dan China. "Dengan replika pesawat klasik, mudah-mudahan usaha saya kembali meningkat," ungkap Harto, yang merupakan salah satu dari dua perajin sejenis di Indonesia yang massal produknya.
*FX Puniman Wartawan, Tinggal di Bogor
Sumber : Kompas, Jumat, 11 Agustus 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment