Tugimin, Memimpin Sekolah Rawan Gempa
Oleh : Wisnu Aji Dewabrata dan Caesar Alexey
Menjadi kepala sekolah di daerah rawan bencana, seperti Tugimin (48), harus selalu tegar meskipun sekolah roboh diguncang gempa. Bila larut dalam kesedihan, niscaya dia tak bisa mempertahankan semangat belajar siswa yang juga bersedih karena rumahnya roboh.
Meskipun berusaha tegar, dari nada suaranya Tugimin tak mampu menutupi rasa sedihnya melihat Sekolah Dasar Negeri 04 Kecamatan Lais, Kabupaten Bengkulu Utara, yang dipimpinnya, roboh akibat gempa berkekuatan 7,9 skala Richter, Rabu (12/9). Apalagi, sejak tahun 2000, bangunan sekolah tersebut sudah dua kali roboh akibat gempa.
Ketika ditemui pekan lalu, Tugimin sedang mengumpulkan barang-barang yang masih bisa diselamatkan. Enam ruang kelas di SDN 04 Lais, ruang guru, dan ruang serba guna rusak parah. Hanya dua kelas yang masih layak pakai meski ini pun kondisi dindingnya retak-retak. Sebanyak 199 siswa di sekolah itu terpaksa belajar dalam kondisi darurat.
"Dalam hati saya menangis melihat kondisi sekolah. Mengapa sekolah sampai roboh dua kali, padahal Januari lalu baru selesai dipugar?" ungkap Tugimin.
Dia patut bersedih. Puing- puing dinding tembok sekolah yang berwarna kuning memperlihatkan catnya masih baru. Dindingnya juga baru saja dihiasi keramik berwarna merah. Menurut Tugimin, sejak Januari lalu pembangunan fisik sekolah dianggap cukup. Rencana dia selanjutnya adalah meningkatkan kualitas guru, tetapi apa daya semuanya hancur.
Sekolah yang dipimpinnya bagaikan tak putus dirundung malang. Menurut Tugimin, tahun 2000 sebelum terjadi gempa, atap sekolah hancur ditiup angin ribut. Tak lama setelah atapnya hancur, sekolah itu dirobohkan gempa yang juga menghancurkan Kota Bengkulu.
Letak SDN 04 Lais sekitar 30 kilometer dari Kota Bengkulu. Sekolah itu terletak di pinggir jalan raya Bengkulu-Padang, di atas sebidang tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di sekitarnya.
"Letak sekolah ini memang di jalur gempa. Selain itu, posisi sekolah ini tinggi dan di belakangnya ada lembah. Setiap ada angin besar pasti sekolah ini kena," kata Tugimin. Kata-katanya sesekali ditelan debur ombak laut karena sekolah itu hanya berjarak 100 meter dari pantai.
Dia juga merasa heran mengapa sekolah didirikan di lokasi yang rawan. Tugimin menduga, warga yang keberatan melepaskan tanahnya menyebabkan sekolah tersebut akhirnya didirikan di lokasi seadanya.
Sejak 1,5 tahun lalu, di halaman sekolah telah dipasang alat pendeteksi gempa bantuan Amerika Serikat. Tugimin menuturkan, saat para pakar gempa memasang alat berbentuk kapsul itu, mereka mengatakan, dalam waktu 2,5 tahun ke depan kemungkinan terjadi gempa. Ternyata, sebelum 2,5 tahun sudah terjadi gempa.
Mencoba bangkit
Meskipun sekolah tinggal puing-puing, Tugimin tak mau menyerah. Tugas berat menghadang dia supaya proses pendidikan para siswa dapat terus berjalan. Kenyang dengan pengalaman gempa tahun 2000, Tugimin mencoba membangkitkan semangat para guru dan siswa.
"Saya mencoba dengan pendekatan personal, mendatangi para guru maupun mengundang para guru dalam rapat sekolah. Saya yakin gempa tidak akan mengubah semangat belajar anak-anak," tuturnya.
Jumlah guru SDN 04 Lais sebanyak 11 orang, tak satu pun yang rumahnya utuh. Tak mudah bagi Tugimin membangkitkan kembali semangat mengajar para guru mengingat rumah mereka hancur.
Untuk mengembalikan semangat belajar anak-anak, Tugimin memberi contoh orang-orang desa setempat yang berhasil dalam hidupnya karena bersekolah. Dia optimistis cara tersebut manjur karena karakter warga setempat tak bisa hanya dengan nasihat. Mereka harus diberi contoh nyata.
Sungguh sayang jika semangat belajar anak-anak tak dibangkitkan lagi sebab pendidikan rata-rata warga setempat sudah mencapai tingkat SMA.
Untuk membangun sekolah, dia berupaya meminta dana dari pemerintah daerah sebab ada banyak pos anggaran yang bisa digunakan untuk membangun kembali sekolah. Namun, Tugimin berharap pembangunan sekolah kali ini benar-benar memperhitungkan faktor gempa dan angin ribut.
"Komite sekolah belum bisa membantu memberi dana karena penghasilan orangtua murid di sini rendah. Kami belum bisa memungut biaya pembangunan sekolah dari orangtua," ujarnya.
Tugimin mengungkapkan, untuk membangun sekolah itu tak bisa sembarangan karena letaknya di lokasi rawan gempa dan angin ribut. Jangankan membangun dengan desain tahan gempa, kualitas bangunan baru justru semakin buruk setelah dihancurkan gempa tahun 2000.
Pemugaran sekolah dilakukan pemborong asal-asalan, misalnya besi yang digunakan terlalu kecil sehingga cepat berkarat kena angin laut. Selain itu, semen yang dipakai terlalu sedikit sehingga menyebabkan tembok mudah ambruk.
Menurut dia, berdasarkan pengalaman gempa tahun 2000, keadaan darurat berlangsung setidaknya tiga bulan. Pasalnya, anggaran pembangunan sekolah tak ada dalam APBD tahun ini dan terpaksa menunggu sampai dianggarkan tahun depan.
Betah di Bengkulu
Kehidupan Tugimin di Bengkulu dimulai tahun 1982 sebagai guru di SDN 05 Lais, setelah lulus dari SPG Kristen di Klaten, Jawa Tengah. Tugimin bertugas di SDN 05 Lais tahun 1982 sampai 1999 sebagai guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Tahun 2000 Tugimin diangkat sebagai Kepala SDN 04 Lais sampai sekarang.
"Saya tertarik menjadi guru di Bengkulu karena dulu diberi iming-iming gaji, rumah, dan tanah. Waktu itu ada 3.500 guru yang ditempatkan di Bengkulu, tetapi banyak yang tidak kerasan. Saya beruntung ditempatkan di sekolah yang letaknya di pinggir jalan," ujarnya.
Sampai di Bengkulu, teman-teman Tugimin tak kerasan, terutama yang ditempatkan di pedalaman. Apalagi para guru dijanjikan berbagai fasilitas, ternyata tetap saja hidup dari gaji pegawai negeri. Misi luhur sebagai pendidik terbentur rintangan yang berat.
"Karena tinggal di desa, kami harus jadi petani sebab hidup dari gaji saja tidak cukup. Saya menanam sawit di kebun seluas dua hektar dan beternak sapi. Kalau tidak begitu enggak akan betah," ucap Tugimin.
Masa jabatannya sebagai Kepala SDN 04 Lais akan berakhir tahun 2008. Setelah itu, dia bisa naik jabatan menjadi penilik sekolah atau tetap menjadi guru biasa.
Tugas Tugimin selama satu tahun ke depan lebih berat sebab untuk yang kedua kalinya dia harus membangun sekolah serta mengembalikan semangat para guru dan murid. Sementara ancaman gempa dan angin ribut masih mengintai setiap saat.
Sumber : Kompas, Jumat, 28 September 2007
May 31, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment