May 31, 2009

Afrinaldi : Cinta Anak, Cinta Kehidupan

Afrinaldi: Cinta Anak, Cinta Kehidupan
Oleh : Ahmad Arif

Afrinaldi adalah "barang langka" di lingkungan pegawai negeri sipil atau PNS negeri ini. Di tengah mayoritas PNS yang terjebak rutinitas, dia mampu berbuat di luar program anggaran tahunan dengan mengungkap sindikat perdagangan anak. Kecintaannya kepada anak-anak membuatnya rela menanggung risiko dan merogoh kocek sendiri untuk mendanai operasinya.

Selama kariernya sebagai Kepala Subdirektorat Pelayanan Sosial Anak Balita Departemen Sosial (Depsos) tahun 2004-2005, Afrinaldi telah membongkar empat kasus perdagangan anak.

Pada Juni 2004 ia membongkar perdagangan anak dari Indonesia ke Singapura, bulan November 2004 membongkar perdagangan bayi yang dilakukan Yayasan Pancaran Kasih, Desember 2004 membongkar sindikat Isnania Singgih, Oktober 2005 membongkar sindikat Rosdiana di Ciputat, dan Desember 2005 membongkar sindikat Yayasan Ibu Sury di Bekasi.

Untuk membongkar sindikat itu, Afrinaldi (44) atau biasa disebut Afri sering menyamar sebagai calon pembeli bayi. Uang untuk biaya penyamaran harus ditalangi dari koceknya karena tak ada anggaran departemen yang diposkan untuk mendukung operasi itu. "Saya pernah menggunakan uang hasil menggadaikan SK PNS istri senilai Rp 40 juta untuk membiayai penyamaran saat membongkar sindikat Rosdiana," ungkapnya.

Waktu itu Afri menyamar sebagai orang kaya yang hendak membeli bayi setelah mendapat informasi Rosdiana biasa menyediakan bayi. Untuk meyakinkan Rosdiana, Afri harus menyewa mobil mewah dan mengubah penampilan, termasuk melibatkan sejumlah teman sebagai ajudan dan pengawal.

Afri dipertemukan Rosdiana dengan Imung, tetangga Rosdiana yang kesulitan ekonomi dan sedang hamil besar. "Rosdiana meyakinkan Imung, jika anak-anaknya diserahkan kepada orang kaya, kelak anak itu akan datang kembali guna membantu hidupnya. Di mata Imung dan tetangga yang lain, Rosdiana adalah sosok penolong," tutur Afri.

Afri diminta Rosdiana untuk membiayai kebutuhan susu dan vitamin calon bayi dengan alasan agar bayi lahir sehat. Oleh Rosdiana, bayi dalam kandungan itu diijonkan. Dengan cara ini, Rosdiana biasa memperoleh uang Rp 100 juta untuk satu bayi.

Pada saat kelahiran, Afri datang mengambil sang bayi. Ia bersama polisi yang juga menyamar. Dari pemeriksaan terhadap Rosdiana terungkap sudah puluhan bayi yang diperjualbelikan dengan modus adopsi. Imung, misalnya, sudah tiga kali menyerahkan bayinya kepada Rosdiana.

"Masih banyak Rosdiana- Rosdiana lain di luar sana yang memperjualbelikan bayi, baik dengan cara menjerat orang miskin maupun merenggutnya secara paksa," kata Afri.

Tak hanya uang, nyawa pun menjadi taruhan dalam pengungkapan kasus-kasus ini. Karena harus bersinggungan dengan kawanan sindikat, Afri, istri, dan ketiga anaknya harus berpindah-pindah rumah kontrakan hingga kini.

Dari pengalamannya bersinggungan dengan sindikat perdagangan anak, ia menulis buku Jangan Jual Tristan, yang terbit Januari 2007.

Tanggung jawab negara

Tak hanya tanggung jawab Afri seorang, seharusnya perlindungan anak-anak menjadi tanggung jawab negara. Namun, dari pengalamannya, Afri merasakan tanggung jawab negara itu sangat tipis.

Setelah membongkar kasus adopsi ilegal bayi asal Indonesia ke Singapura, ia memperoleh informasi bahwa masih ada tiga bayi asal Indonesia yang belum laku di Singapura. "Alamat dan nama yayasan sudah di tangan. Waktu itu saya minta Depsos agar menjemput anak itu," tuturnya.

Akan tetapi, lembaga tempat Afri bekerja tak bisa berbuat banyak dengan alasan tak ada anggaran. "Saya pikir, betapa lemah peran negara dalam memberi perlindungan terhadap anak," kata Afri. "Negara lain, mayat warganya pun diambil untuk dibawa pulang ke negerinya, apalagi yang masih hidup," ujarnya.

"Coba bayangkan, sebuah kantor sebesar itu tidak ada pos anggaran untuk memulangkan anak. Tapi, jangan hanya salahkan Depsos. Ini juga kesalahan DPR yang belum peduli terhadap masalah anak-anak," katanya.

Yang lebih membuat Afri geram, sejauh ini tak ada perbaikan dalam sistem perlindungan anak. "Harusnya, ada deteksi dini di rumah-rumah dan gerakan bersama untuk menyadarkan orangtua bahwa anak bukanlah urusan domestik keluarga. Jadi, ketika ada yang mencubit, menendang, memukul sampai babak belur seorang anak, orang lain enggak boleh campur tangan. Jangan ditunggu sampai anak mati, baru ribut," katanya.

Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial Makmur Sunusi, yang pernah menjadi atasan Afri, menyatakan, di Depsos belum ada anggaran untuk melakukan investigasi kasus perdagangan anak. "Untuk biaya investigasi yang dilakukan Afri waktu itu, dananya langsung dikeluarkan Pak Menteri," tutur Makmur.

Akan tetapi, bagi Afri, kurangnya dukungan dari lembaga tak membatasi geraknya. "Sejak awal saya memegang jabatan ini, saya bertekad membongkar sindikat perdagangan anak. Itu tanggung jawab yang harus saya pikul, sesuai dengan jabatan waktu itu. Anak adalah masa depan negara, siapa pun harus tergerak untuk melindungi. Mencintai anak, berarti mencintai kehidupan," papar Afri. (TAT/IRN)

Panggilan Jiwa

Bagi Afrinaldi, perjuangannya membongkar jaringan perdagangan anak merupakan panggilan jiwa. Sejak kelas tiga sekolah dasar hingga tamat sekolah menengah atas, biaya hidup dan pendidikan Afri ditanggung Panti Asuhan Budi Mulia, Padang, Sumatera Barat.

Sejak umur enam tahun, ayah Afri meninggal sehingga ibunya sendirian membesarkan Afri dan delapan saudaranya yang lain. "Saya tinggal di rumah, tetapi biaya hidup dan pendidikan ditanggung panti asuhan. Kalau ada acara-acara, baru saya ke panti," cerita Afri yang lahir di Padang, 5 April 1963.

Persentuhan dengan dunia panti asuhan memberi kesan mendalam di hatinya. Ketika kuliah pada Jurusan Sosiologi, Fakultas Sastra, Universitas Andalas Sumbar, dia dan kawan-kawan membentuk Yayasan Cadiak Insan Mandiri untuk mendampingi dan membantu anak-anak nelayan di Sumbar.

Ini diteruskan Afri hingga diterima sebagai anggota staf Kantor Wilayah Departemen Sosial di Sumbar sejak tahun 1991. Setelah menamatkan Pascasarjana Universitas Indonesia Jurusan Sosiologi tahun 1998, ia menjadi anggota staf Departemen Sosial di Jakarta. Kariernya di Depsos dimulai sebagai staf pada bagian masyarakat terasing.

Tahun 2003 ia mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Setia dari Presiden RI karena dinilai bekerja 10 tahun tanpa cacat. Tahun 2004 dia menjadi Kepala Subdit Pelayanan Sosial Anak Balita. Sejak itu ia mulai melakukan investigasi masalah perdagangan anak.

Akan tetapi, pada Oktober 2006 ia diberhentikan dari Depsos. Dia dinilai tak bisa bekerja sama karena menolak memberi rekomendasi terhadap teman dekat pejabat tinggi Depsos yang hendak mengadopsi anak.

"Setelah diberi kesempatan enam bulan untuk proses adaptasi dengan anak yang hendak diadopsi, saya melihat calon orangtua angkat itu tak layak. Saya tak memberi rekomendasi. Saya tak bisa melanggar peraturan walaupun itu harus berhadapan dengan pimpinan sendiri," tuturnya.

Selepas dari Depsos, ia melamar kerja pada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, yang juga memiliki bidang perlindungan anak-anak. Kini Afri menjadi Kepala Bidang Data dan Analisis Kebijakan Urusan Tindak Kekerasan pada Anak. (AIK/TAT/IRN)

Sumber : Kompas, Sabtu, 29 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks