May 31, 2009

Theary Seng Tak Lelah Perjuangkan Keadilan

Theary Seng Tak Lelah Perjuangkan Keadilan
Oleh : Fransisca Romana Ninik

Usia Theary Seng baru empat tahun, waktu dia kehilangan ayahnya yang dibunuh tentara Khmer Merah tahun 1975. Pada usia enam tahun dia dipenjara dan kehilangan ibunya tak lama kemudian. Berhasil menyelamatkan diri dari penjara Khmer Merah, ia lari ke Thailand dan Amerika Serikat. Theary kembali ke Kamboja, kampung halamannya, dan berjuang meraih keadilan bagi jutaan korban kekejian rezim Khmer Merah.

"Ayah jangan pergi ...," Kalimat itu diucapkan Theary kecil saat sang ayah, Eat Seng, memenuhi panggilan tentara Khmer Merah untuk pergi ke Phnom Penh. Meski ayahnya berkata akan kembali, itulah akhir perjumpaan Theary dengan sang ayah.

Dua tahun kemudian, Theary beserta seluruh keluarga dibawa ke penjara. Mereka dirantai di kaki agar tak melarikan diri. Mereka menyaksikan orang-orang yang dipenjara bersama mereka mati satu per satu.

"(Kesedihan) ini adalah sesuatu yang menyertai hidup saya," kata Theary (36) kala bertutur dalam program World Untold Stories "Kamboja Mengadili Genosida" yang ditayangkan televisi CNN akhir pekan lalu.

Suatu hari, bersama tiga saudara laki-lakinya, yaitu Mardi, Sina, dan Pundi, Theary dibebaskan dari penjara di Wat Champa, sebuah kompleks candi yang berhiaskan ornamen indah. Dia kemudian memahami, mereka bebas dengan bayaran darah sang ibu, Im Kao.

"Beberapa saat sebelum fajar, penjaga membawa Ibu. Saya baru berusia tujuh tahun waktu itu. Sedikit yang saya tahu bahwa itu terakhir kali saya melihat Ibu," tutur Theary kepada The Guardian.

"Saya seperti bingkai kosong, merasa seluruh diri saya musnah," ujarnya menambahkan.

Mereka berhasil melarikan diri ke perbatasan Thailand pada November 1979. Setelah beberapa bulan tinggal di kamp pengungsian, mereka menuju Amerika Serikat. Mereka mendarat di Grand Rapids, Michigan, akhir 1980-an, berkat pertolongan seorang paman yang bekerja sama dengan gereja setempat untuk mengupayakan imigrasi mereka.

Lembar baru

Di negeri Paman Sam, Theary memulai lembar baru hidupnya. Theary kemudian belajar hingga mendapat gelar sarjana muda ilmu politik internasional dari School of Foreign Service, Georgetown University tahun 1995. Dia meraih gelar doktor hukum dari University of Michigan Law School tahun 2000.

Theary adalah anggota Asosiasi Pengacara New York dan Asosiasi Pengacara Amerika. Saat ini, dia tengah menunggu keanggotaan dalam Asosiasi Pengacara Kamboja agar bisa berpraktik hukum di negaranya.

Sejak tahun 1995 Theary bolak-balik ke Kamboja untuk bekerja bersama beberapa organisasi buruh dan hak asasi manusia lokal. Dia menjadi anggota Pusat Pembangunan Sosial (CSD) berbasis di Phnom Penh, yang bergerak di bidang pengawasan lembaga peradilan, pemerintahan yang baik, pemantauan pemilu dan parlemen, dialog komunitas, dan rekonsiliasi nasional.

Pada Januari 2004 Theary menetap di Kamboja dan bekerja di tanah kelahirannya. Saat ini, dia menjabat sebagai Direktur Eksekutif CSD. "Saya kembali ke Kamboja tak lain karena ingin menjadi warga negara yang baik di Tanah Air," tutur Theary. Dia merupakan anggota Silapak Khmer Amatak atau Dewan Seni Kamboja.

Kenyataan pahit hidup mendorong Theary menuliskan kisah hidupnya. Sebuah buku berjudul Daughter of the Killing Field lahir dari tangannya dan dipublikasikan pertama kali di London pada September 2005.

Selain mengungkapkan apa yang terjadi pada masa rezim Khmer Merah berkuasa, buku itu lebih banyak bertutur tentang harapan. Harapan seorang bocah yang menjadi saksi sekaligus bertahan hidup dari horor yang pernah dialaminya.

"Saat menggali ingatan, saya menemukan bahwa sering kali lamunan saya berkeliaran di dalam dan di luar kepala, melintas di sini dan pada masa lalu saya," kata Theary.

Chaterine Filloux, seorang dramawan AS, mengomentari buku itu sebagai wujud keberanian Theary melawan sesuatu yang tak bisa diterimanya. "Theary membuka lebar-lebar jendela kebijaksanaan bahwa hanya dengan memahami masa lalu, kita bisa mengubah masa depan," paparnya.

Theary berkesempatan bertemu Khieu Samphan, salah satu mantan pemimpin Khmer Merah, yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian orangtuanya. Pengalaman itu benar-benar mengguncang Theary. "Detik-detik yang saya lewatkan bersama Samphan adalah saat paling absurd dalam hidup saya," ungkapnya.

Kepada Theary, Samphan mengatakan, tak tahu apa-apa tentang pembunuhan massal kala itu. Dia bertanya, apakah dia terlihat seperti pembunuh kejam dan mampu melakukan hal di luar batas kemanusiaan? "Dia tahu, dia tidak mungkin tak tahu," kata Theary geram.

Tidak lelah

Secercah harapan terbit dalam benak Theary setelah pengadilan khusus yang didukung PBB menggelar proses peradilan bagi para mantan pemimpin Khmer Merah. Dia tak lelah bersuara mendukung proses peradilan yang adil bagi mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal 1,7 juta rakyat Kamboja semasa rezim Khmer Merah. "Kita tak bisa berpura- pura (pembunuhan massal) itu tidak terjadi, tidak mungkin," ujarnya.

Theary bertekad terus mendorong diupayakannya pengadilan yang layak bagi para mantan pemimpin Khmer Merah. Di matanya, keadilan bagi para korban kekejaman Khmer Merah tak bisa didapat di bawah sistem hukum Kamboja dan pemerintahan Kamboja yang sekarang berkuasa.

Dia aktif menulis dan memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya proses peradilan itu berjalan. Theary memohon kepada asosiasinya agar dia bisa bekerja bersama para hakim yang ditunjuk PBB sehingga proses peradilan mantan petinggi Khmer Merah bisa melangkah maju.

Dia prihatin dengan sistem peradilan Kamboja yang lemah, yang memungkinkan intervensi politik atas jalannya pengadilan petinggi Khmer Merah. Pengadilan itu direncanakan akan dimulai tahun depan.

Pernyataan Theary banyak dikutip media asing. Dia menjadi salah satu referensi tentang peradilan mantan pemimpin Khmer Merah dan cerita tentang kekejaman rezim tersebut.

Kisah hidupnya ditayangkan di berbagai program televisi, seperti BBC World News, BBC Hard Talk, ABC Foreign Correspondent, CNN World Untold Stories, dan program radio di BBC, RFI, ABC, VOA, serta RFA.

Theary ingin menunjukkan kepada dunia, juga kepada orang-orang yang bertanggung jawab atas kematian para korban pembunuhan massal, bahwa dia adalah orang yang mampu bertahan hidup dari Khmer Merah, bahwa dia bukanlah korban.

Kini Theary menjelma menjadi sosok idaman perempuan Kamboja modern: pengacara lulusan AS, pengarang sukses, dan manajer lembaga besar. Namun, di balik ketegaran hati dan senyum yang tersungging di bibirnya, Theary menyimpan luka. Dia bertekad menyembuhkan luka itu melalui perjuangan tak kenal lelah dalam mencari keadilan bagi rakyat Kamboja.

"Ini bagian dari proses penyembuhan dalam hidup saya. Saya belum sepenuhnya bebas," ungkapnya.

Sumber : Kompas, Kamis, 20 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks