May 31, 2009

Salam : jalan Getir Salam

Jalan Getir Salam
Oleh : Irma Tambunan

Hidup dalam dunia tanpa cahaya bukanlah pilihan Salam (54). Kegairahan dan ambisi hidup sempat meredup saat Sang Pencipta mengambil kedua penglihatannya. Namun, ia kemudian menghalau redup itu sehingga semangat hidup yang baru bisa tumbuh kembali.

Sesederhana penampilannya, begitu pula cara Salam mendedikasikan hidupnya, meski hasilnya berupa keset dari sabut kelapa. Orang membelinya untuk diinjak-injak. Salam adalah satu-satunya pemasok keset atau lap kaki dari sabut kelapa di Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

Dengan kondisi buta sejak 25 tahun terakhir, Salam sanggup menyelesaikan tujuh keset per pekan. Ia juga membuat sapu lidi dari batang pohon kelapa untuk menghabiskan waktunya yang luang.

Seluruh proses produksi kerajinan tangan ini dilakukan sendiri dalam dunianya yang gelap. Oleh karena sepi di rumah, dia sering bikin keset di gardu ronda di tengah kampung. Kesibukannya ini sering menarik perhatian orang yang lewat. Ada yang berdecak kagum dan minta diajari, dan ia pun tak sungkan memenuhi permintaan itu.

Namun, ada pula orang mencemoohnya. Pernah ada yang mengatai dia, "Sudah buta, yang dikerjakan cuma keset murahan." Salam mengaku terenyak mendengar ucapan itu.

"Hati saya menangis. Memang betul saya buta. Yang saya kerjakan juga cuma membuat keset murahan. Tetapi, saya bertekad tidak akan membebani orang lain," tuturnya mengenang.

Kata-kata cemoohan itu justru mendorongnya untuk terus berkarya. Hasil kerajinan buatan tangan Salam kini dipasok ke sejumlah pabrik di wilayah itu. Suatu hari pada Mei lalu, ia diajak mengisi pameran MTQ Provinsi Jambi di Muara Sabak. Istri Gubernur Jambi dan istri Bupati Tanjung Jabung Timur, yang kebetulan mampir di stan tempat Salam membuat keset, terkesima saat melihat dia.

Baru kali inilah mereka mengetahui bahwa di wilayahnya ada orang buta yang menjadi perajin. Istri bupati spontan mengatakan akan berusaha membina orang-orang cacat yang berkarya. Tentu saja Salam tersenyum lega mendengarnya.

Saat Kompas menemuinya, Salam tengah sibuk menyelesaikan salah satu kesetnya. Duduk beralas jok kayu kecil, wajahnya menunduk. Tangannya sibuk mengepang jalinan sabut-sabut kelapa. Jalinan antarsabut dibuatnya teratur karena terpola di atas sebuah alat berbahan kayu meranti, yang juga disebutnya salam.

Kayu yang dibuatkan oleh adik iparnya, Warsit Santoso, berukuran sekitar 60 cm x 40 cm, dengan cantolan masing-masing sembilan paku kayu pada dua sisi melebar. Pada paku kayu inilah Salam mencantolkan serabut kelapa, atau biasa dia sebut sebagai pasang saleran, sebagai langkah awal.

Lalu, pada saleran yang telah terpasang secara vertikal, dia mengepangkan serabut kelapa lagi ke arah horizontal. Jalinannya pun menjadi tak terpisahkan. "Keset buatan saya ini kuat, bisa tahan sampai lima tahun. Padahal, harganya hanya Rp 7.500," tuturnya berpromosi.

Keterbatasan

Pria kelahiran Cilacap, 7 Oktober 1953, ini sesungguhnya punya mimpi menjadi dokter. Namun, keterbatasan ekonomi keluarga membawa dia hanya mengenyam pendidikan Sekolah Pembangunan Industri Kerajinan (SPIK). Lulus sekolah, ia berhasil menembus lowongan kerja sebagai analis kimia di sebuah pabrik pengolahan CPO di Jakarta pada 1981.

Salam begitu bangga dengan pekerjaannya di pabrik meski dengan gaji saat itu sekitar Rp 70.000 per bulan. Kerjanya di laboratorium setiap malam adalah mengetes komposisi kandungan pewarna dan bahan kimia lain pada minyak goreng.

Entah karena matanya selalu akrab dengan bahan-bahan kimia, atau karena lampu sorot yang sangat terang di dekat wajahnya, satu tahun kemudian, kemampuan penglihatannya makin menurun.

Berikutnya, ia hanya mampu melihat bayangan lewat atau mendekat, tetapi tak mampu lagi mengidentifikasinya. Salam pun memutuskan pulang kampung. Pada saat itu sesungguhnya ia masih memiliki harapan untuk dapat kembali melihat dengan jelas.

Namun, semakin lama dunia di sekelilingnya makin gelap, dan akhirnya hitam sama sekali. "Saya pernah operasi mata, pernah juga menjalani pengobatan tradisional dengan daun sirih. Hasilnya sampai sekarang saya tetap buta," tutur anak kedua dari tujuh bersaudara ini.

Mata itu bagaikan cangkul yang patah dalam hidupnya. Ia ingin kembali ke pabrik di Jakarta, namun rasanya tak mungkin lagi. Maka, selama empat hingga lima tahun, Salam tak henti-henti meratapi kebutaannya. Ajakan orangtua dan saudara-saudaranya untuk berjalan-jalan di sekitar rumah tak dipedulikan. Ia hanya diam, namun hatinya terus menangis, dan bermenung.

Puncak permenungan

Akhirnya, Salam sampai juga pada puncak tangis dan permenungan. Dia pun tak tahu persis apa sebenarnya yang telah "membangunkannya". Pada suatu pagi ia berjalan-jalan mencari bambu di dekat rumah. Dari bambu itu, ia mulai menganyam. Kemampuan ini sudah dia miliki semasa kecil ketika membantu ibunya.

Setiap pekan, Salam mampu menyelesaikan pembuatan satu anyaman keranjang. Dari kerajinan itu, dia mendapat penghasilan Rp 10.000 per pekan. Ini masih lebih kecil dari gajinya yang pas-pasan di pabrik minyak.

Suatu hari, Jasinem, adiknya yang menjadi transmigran di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, mengajaknya serta. Salam pun menyambut tawaran tersebut. Dengan hanya membawa dua helai pakaian, semangat untuk menyusun lembaran hidup baru tumbuh di sanubari Salam. Dari situlah ia melanjutkan hidupnya sebagai perajin keset dan sapu lidi. Seluruh bahan baku didapat dari kebun kelapa di depan rumah adiknya.

"Saya punya mimpi bisa berhasil di tempat transmigrasi nanti. Sekarang, saya sudah mandiri dengan membuat keset dan sapu lidi yang banyak peminatnya," ujarnya.

Ketika disinggung tentang statusnya yang masih membujang di usia 54 tahun, Salam sambil ketawa malu berucap, "Ah, siapa yang mau pada orang dengan kondisi seperti saya ini?"

Salam masih punya keinginan bahwa suatu saat usahanya ini dapat menjadi pendorong bagi para penyandang cacat untuk berkarya. Kalau diberi kesempatan, ia mau mendidik dan menyemangati mereka. Maka, janganlah lilin kehidupan itu dihadang oleh keterbatasan.

Sumber : Kompas, Jumat, 21 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks