May 31, 2009

Masngut Imam Santoso : masngut, Susu dan Pertanian Terpadu

Masngut, Susu dan Pertanian Terpadu
Oleh : JA Noertjahyo*

Dia muncul dan malang-melintang mulai dari bawah, sebagai petani, peternak, maupun pedagang. Berbagai tantangan dihadapi dengan "bonek"—bondho nekat. Ia ingin mengangkat martabat petani Blitar selatan lewat perkebunan sawit.

Masngut Imam Santoso (67) dilahirkan pada zaman revolusi kemerdekaan. Masa kecilnya sebagian besar dijalani pada masa susah. Masa sekolahnya kacau terkait agresi Belanda, sebab desanya, Kerjen di Kecamatan Srengat, sekitar 12 kilometer sebelah barat Kota Blitar, tak lepas dari berbagai aktivitas perjuangan.

Bangku SMP dan SMA dia selesaikan pada sekolah swasta Nasional di Blitar. "Saya tidak diterima masuk sekolah negeri," tuturnya. Karena status sekolahnya swasta, ia harus mengikuti ujian negara agar mendapat ijazah pemerintah. Uniknya, ijazah SMP dan SMA diperolehnya pada tahun sama, 1959.

Pendidikan tingginya sampai sarjana muda, terkendala masalah ekonomi dan peristiwa G30S/PKI. Masngut lalu mengadu nasib ke Jakarta. Sekitar delapan tahun ia menjadi pedagang sayur di Pasar Senen, lalu pindah ke Pasar Kramat Jati. Ia kembali ke desanya tahun 1973 karena hidup di Jakarta dirasakan berat.

Di desa Masngut menjadi petani, peternak ayam, kambing dan sapi perah, seperti penduduk lain. Pemasaran hasil pertanian dan peternakan saat itu melalui tengkulak dan pasar tradisional. Posisi produsen lemah dan keuntungan lebih dinikmati tengkulak. Kondisi ini mengusik Masngut untuk menemukan jalan keluar agar petani tak menjadi bulan-bulanan pasar.

Koperasi susu

Produksi susu di daerah Blitar yang terus meningkat membuat pasar tradisional tak mampu menyerap. Sementara koperasi susu posisinya lemah berhadapan dengan pabrik pengalengan.

Masalah utama yang selalu menjadi "permainan" adalah kualitas susu yang berimplikasi pada tingkat harga. Di sini peternak dan koperasi selalu kalah. Dalam posisi yang semakin terjepit, para peternak Kerjen sepakat mendirikan koperasi sendiri, terbentuklah Koperasi Rukun Santoso yang beranggotakan 25 peternak.

"Saat itu produksi susu sekitar 3.000 liter per hari," cerita H Masngut yang secara aklamasi dipilih menjadi ketua koperasi.

Namun, koperasi ini tidak dapat menjual susu langsung ke pabrik di Surabaya karena ada semacam monopoli koperasi- koperasi lain yang lebih dulu berdiri. Untuk menjadi anggota Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang menjadi "pintu" pemasok ke pabrik, juga terhambat berbagai persyaratan.

Namun, atas usaha keras dan perantaraan kenalan, Rukun Santoso dapat memasukkan susu secara langsung ke sebuah pabrik di luar Jawa Timur. Meski keuntungannya tipis, yang penting produksi anggotanya tertampung.

Akan tetapi, baru sekitar setahun pabrik menerima setoran dari Rukun Santoso, terjadilah mekanisme "hukum monopoli". Koperasi yang sudah lama menjadi pemasok terbesar pabrik itu mengultimatum agar pabrik menghentikan setoran dari Rukun Santoso.

Jika tak dipenuhi, koperasi tersebut mau menghentikan pasokan. Ini akan mengakibatkan pabrik kekurangan bahan baku (susu segar) sehingga pabrik pun menurutinya. Surat pemberitahuan bahwa dua pekan lagi pabrik tak dapat menerima setoran susu dari Koperasi Rukun Santoso pun diterima Masngut.

"Kami panik dan bingung, bagaimana mencari pasar baru dalam waktu sesingkat itu," ujarnya.

Dalam situasi sulit itu Masngut memutuskan pergi ke Jakarta, mencari informasi pemasaran susu dari kenalan saat berdagang sayur di Kramat Jati. "Saya keliling Jakarta sampai Bandung dengan bondho nekat, bonek. Tidur dari masjid ke masjid, makan seadanya sambil terus mohon petunjuk kepada Allah," tuturnya.

Melalui seorang teman di Koperasi Pasir Jambu, Bandung, ia berkenalan dengan pimpinan bagian pembelian pabrik susu di Jakarta yang sedang mencari pasokan susu segar. Pucuk dicinta ulam tiba, terjadilah kesepakatan jual-beli di antara mereka. "Allah mendengarkan doa orang yang terimpit kesulitan," ucapnya.

Kiriman pertama susu segar dari Srengat ke Jakarta terjadi pada 22 Februari 2003 sebanyak 5.000 liter, dengan truk tangki Rukun Santoso. Yang mengherankan, cerita Masngut, kualitas susunya dikategorikan nomor satu. Ini berbeda dengan kualitas yang ditentukan pabrik lama. Maka, selain mendapat pasar, para peternak juga memperoleh keuntungan lebih besar.

Jumlah permintaan susu dari pabrik di Jakarta terus meningkat, dari 5.000 liter per hari, dalam empat tahun melonjak menjadi 63.000 liter per hari atau pada September 2007. Armada angkutan koperasi yang semula dua truk, sekarang menjadi 14 truk.

Perkembangan pesat ini memunculkan kekhawatiran pengurus koperasi. Mereka khawatir tak mampu memenuhi permintaan, apalagi ada permintaan baru dari Jawa Tengah dan daerah lain. Untuk itu Rukun Santoso memelopori terbentuknya Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) dengan kantor pusat di Kota Malang. Asosiasi ini bertugas mengoordinasikan pemasaran susu dari para anggota, dan Masngut menjadi ketua umum.

Pertanian terpadu

Ia memperkenalkan usahanya sebagai pertanian terpadu (integrated farming) ramah lingkungan. Saat ini kegiatan terbesar pada ternak ayam petelur, sapi perah, ternak ikan, pabrik pupuk organik, pakan ternak, dan transportasi.

Kotoran ternak (ayam dan sapi) tak mencemari lingkungan, karena dengan tambahan beberapa bahan tertentu dapat diproses menjadi pupuk organik. Sebagian kecil kotoran ayam "ditampung" dalam kolam-kolam di bawah kandang untuk pakan ikan (lele dan gurame).

Sementara kotoran yang tercecer menjadi makanan ceremende (sejenis kecoak), hewan yang mudah berkembang biak dan disukai ikan. Jadilah sekitar 70 persen pakan ikan dicukupi dari limbah peternakan ayam.

Padahal, ikan juga usaha menguntungkan. Sebagai gambaran, empat tahun lalu biaya naik haji Masngut dan istrinya dibayar dari penjualan sekali panen kolamnya.

Pakan sapi perah di desa ini terjamin sepanjang tahun. Limbah pertanian begitu melimpah, ditambah hampir tiap jengkal tanah dapat ditanami rumput gajah.

Kini, meski warga Blitar menempatkan dia sebagai pengusaha sukses, Masngut tetap suka naik motor keliling desa mengontrol usaha, memeriksa kandang dan pakan sapi perah, telur ayam, kolam ikan, areal pembibitan kelapa sawit, atau kualitas produksi susu.

Walaupun sudah mapan, namun Masngut tak ingin berhenti. "Pada usia setua ini saya ingin mengabdikan diri, ilmu, dan pengalaman untuk masyarakat," ujarnya.

Untuk itu ia menggandeng Ric Widodo yang berpengalaman mengelola perkebunan, tokoh peternak unggas Marmin Siswoyo, dan beberapa profesional bidang lain, mendirikan Lembaga Kesejahteraan Masyarakat Mandiri T5 (LKMM-T5). Proyeknya, membuat Blitar selatan yang gersang menjadi perkebunan sawit, jarak pagar, pembibitan sapi, dan pabrik pupuk organik.

* JA Noertjahyo, Wartawan Tinggal di Malang

Sumber : Kompas, Rabu, 19 September 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks