May 30, 2009

Solihin Gautama Porwanegara, Berpikir Simpel untuk Rakyat

Solihin GP, Berpikir Simpel untuk Rakyat
Oleh : Yenti Aprianti

Semangat perjuangan masih menyala pada diri pejuang 1945 yang berusia 81 tahun ini. Tubuhnya tampak bugar saat dia memasuki halaman kantor Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda atau DPKLTS di Jalan Riau, Kota Bandung.

Ia duduk di kursi di depan meja besar untuk mempersiapkan presentasi di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis (21/6) bersama para anggota dewan pakar DPKLTS. Di belakang kursinya terdapat lemari tua, tempat menyimpan penghargaan Kalpataru kategori Pembina Lingkungan yang diterimanya awal Juni 2007 di Jakarta.

"Ini penghargaan bukan hanya untuk saya, tetapi bersama teman-teman pejuang lingkungan dan rakyat. Saya hanya mewakili mereka," kata Solihin.

Perjuangan yang ia lakukan berbasis desa dan hutan. Ia meyakini, jika hutan rusak, air habis, maka rakyat sengsara. "Tanpa hutan yang baik, lingkungan akan rusak. Jika sudah rusak, segala upaya pembangunan akan hancur. Padahal, tujuan pembangunan dipersembahkan untuk rakyat," ujarnya.

Ia meyakini, jika desa kuat, negara akan kuat dan lebih dari 70 persen penduduk Indonesia itu orang desa. Maka, tak mungkin mengabaikan desa. Begitu pentingnya desa, kata mantan Gubernur Jawa Barat 1970-1975 ini, pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I ditegaskan prioritas pembangunan adalah pedesaan.

"Kesalahan terbesar terjadi setelah banyak uang berputar di kota dan orang-orang pintar merantau ke kota. Ini terjadi sekitar 1970-an. Saat itu Indonesia surplus minyak dan harga minyak sedang tinggi," katanya.

Desa stagnan

Dalam buaian kekayaan, pemimpin di Indonesia lupa pada niat awal menyejahterakan rakyat. Saat itu pula potensi desa terabaikan. Penduduk desa eksodus ke kota dan menjadi beban. Ketika tinggal orang-orang tua di desa mengakibatkan desa pun tak lagi produktif.

Solihin mencontohkan kemandekan produksi pertanian di desa akibat rakyat dibiarkan menggunakan pupuk kimia selama lebih dari 30 tahun. Tanah menjadi gersang dan produksi stagnan. Andaikan semua potensi desa dipakai, misalnya, dengan mengganti pupuk kimia dengan kompos, tanah dan hasil pertanian lebih berkualitas, produksi pun meningkat.

Solihin dan kawan-kawan dalam DPKLTS membuat terobosan. Mereka langsung memberi contoh menanam padi dengan kompos. Petani yang awalnya menggunakan benih sebanyak 30 kilogram pada musim tanam kini bisa menghemat hanya dengan benih tiga kilogram.

Hasil panen yang dulu menghasilkan gabah kering pungut 4 ton-5 ton per hektar menjadi 9 ton per hektar. Dengan harga gabah kering giling Rp 2.000 per kilogram, petani bisa mendapat untung Rp 7,9 juta per hektar sekali panen. Penanaman padi tersebut menyebar hampir di seluruh Jabar. Mereka juga memperkenalkan batang padi sebagai bahan pembuat kertas uang.

Pemimpin benar

Solihin memperlihatkan foto-foto kerusakan lingkungan amat parah di berbagai daerah. Pengalaman sebagai pejuang dan pemimpin pasukan membuat dia terasah mempersatukan rakyat dan memobilisasi untuk memperjuangkan lingkungan yang baik. "Pada dasarnya rakyat mencintai hutan dan lingkungan. Mereka hanya menggunakan hutan untuk hidup, tidak untuk menumpuk kekayaan," katanya.

Itu sebabnya, ketika hendak mengusir penjarah di hutan Cikepuh, Pasir Piring, dan Tegal Buleud, Sukabumi, rakyat diberi pengertian tentang lingkungan. Maka, pengusiran penjarah yang semula ditargetkan tiga bulan bisa selesai dalam tujuh hari.

"Rakyat itu mudah diarahkan. Pemimpinlah yang harus tahu arah mana yang benar. Pemimpin harus ada di tengah rakyat, hidup sederhana, tidak konsumtif, berani sengsara bersama rakyat," ucap Solihin.

Membuat minyak jarak, misalnya, cukup mengajak rakyat menanam jarak sebagai pagar. Lalu, mereka diajarkan memproduksi minyak untuk rumah tangga hingga bisa mandiri.

Terkenang

Melihat kondisi politik masa kini, Solihin terkenang masa perjuangan kemerdekaan. Saat masih duduk di sekolah menengah tinggi (SMT) di Tasikmalaya, ia terpaksa berpisah dengan orangtuanya, pasangan Abdulgani Poerwanegara-Siti Ningrum, serta saudara-saudara sekandung.

Pada tahun 1947, anak ke-10 dari 13 bersaudara itu bergabung bersama teman-teman SMT menjadi Tentara Pejuang. Jika kondisi genting, ia berada di garis perjuangan. Bila aman, dia belajar di sekolah. "Sebab, bagaimanapun pendidikan itu penting," ucap putra seorang pamong praja di Priangan yang membenci kolonialisme ini.

Ia bercerita tentang reuni Tentara Pelajar se-Indonesia pada bulan Juni lalu di Jakarta. Mereka membincangkan keprihatinan rakyat dan menangis. "Dulu kami yakin kemerdekaan adalah gerbang menuju segala kebaikan bagi bangsa tercinta. Tetapi, kini rakyat hidup prihatin. Ini kesalahan para pemimpin yang meninggalkan kewajiban pada negara," ujarnya.

Solihin lalu bercerita tentang dirinya. Sebagai purnawirawan berpangkat letnan jenderal, ia menerima pensiun kurang dari Rp 2 juta sebulan. Itu sebabnya, ia bertani lobster di kolam ikan yang menghasilkan sekitar Rp 10 juta per bulan. Jika ada pejuang- pejuang lingkungan datang ke tempat pembudidayaan, ia memberi mereka lobster untuk dibudidayakan.

Lelaki yang setiap pagi berolah pernapasan ini juga senang memberi para tamu bibit kopi gayo dari Aceh. Bibit kopi ini bisa ditanam di lahan gundul. Kebiasaan lain ayah empat anak, kakek delapan cucu, dan satu buyut ini adalah jalan-jalan di pedesaan.

"Saya suka ngobrol dengan mereka (warga desa), makan ikan teri, sambal, dan lalap sambil mendengarkan alunan kecapi. Duh, nikmat," ucap pria yang sering diingatkan istrinya, Maryam Harmain (78), agar lebih sering di rumah.

"Dulu, masa perjuangan, saya tak bisa menunggui kelahiran empat anak kami. Istri saya bilang, ’sekarang, setelah tua masih saja jalan-jalan’," tuturnya.

Biodata

Nama: Solihin Gautama Poerwanegara
Lahir: Tasikmalaya, 21 Juli 1926
Istri: Maryam Harmain, lahir di Tasikmalaya, 20 Agustus 1929
Anak:
1. Jessy Jasmini
2. Jani Elita Haryani
3. Satrija Kamal
4. Moh Lutfi Adimulya
Pendidikan:
- Europeesche Lagere School (ELS)
- Meer Uitgebreid Lager Oderwijs (MULO)
- Sekolah Menengah Pertama
- Sekolah Menengah Tinggi
- Sekolah Staf Komandan Angkatan Darat, 1954
- US Army Infantry School, 1957
- Sekolah Staf dan Komando TNI AD, 1969
Pangkat terakhir: Letnan Jenderal, 1978
Jabatan:
- Guru SSKAD, 1954-1956, Bandung
- Panglima Kodam XIV Hasanuddin, 1965-1968, Makassar
- Gubernur Akabri Umum dan Darat, 1968-1970, Magelang
- Gubernur Jabar, 1970-1975
- Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan, 1977-1992
- Anggota DPA, 1992-1997
- Anggota MPR, 1998
Tanda Jasa:
- Bintang Jasa Tingkat II
- Bintang Dharma
- Bintang Gerilya
- Bintang Ekapaksi Kelas IV
- Medali Sewindu Angkatan Perang
- Satya Lencana Perang Kemerdekaan I
- Satya Lencana Perang Kemerdekaan II
- Bintang Kongo
- Heung In (Korea Selatan)
- Satya Lencana Kesetiaan XXIV Tahun.

Sumber : Kompas, Rabu, 11 Juli 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks