May 30, 2009

Mukhlis, Juragan Mebel yang Tak Bisa Baca Tulis

Mukhlish, Juragan Mebel yang Tak Bisa Baca Tulis
Oleh : Try Harijono

Mitos pengusaha sukses harus bermodal besar dipatahkan Mukhlish (39). Hanya bermodal Rp 2.000 pada tahun 1993, Mukhlish yang tidak bisa membaca dan menulis kini menjadi pengusaha mebel unik di Jawa Timur yang sukses dengan 82 karyawan. Produknya menyebar ke sejumlah negara serta banyak menghiasi hotel-hotel berbintang di Tanah Air.

Peminat umumnya tertarik pada mebel buatan Mukhlish karena bentuknya sangat unik dan dijuluki "mebel primitif". Dikatakan primitif, karena produknya memang bukan mebel antik berumur puluhan atau ratusan tahun. "Mebel primitif" hanyalah mebel yang dibuat dari kayu-kayu limbah berumur sangat tua dan banyak dibuang pemiliknya.

Di tangan Mukhlish, kayu-kayu tua yang dianggap limbah ini diolah dan diberi sentuhan seni sehingga harganya bisa melonjak menjadi jutaan rupiah.

"Semakin jelek kayunya dan berlubang dimakan usia, justru semakin bagus dan harganya semakin mahal," kata Mukhlish, yang tidak lulus sekolah dasar, sambil menunjukkan bekas lesung penumbuk padi yang dimodifikasi menjadi meja makan unik.

Selain lesung penumbuk padi, Mukhlish mengolah limbah kayu lainnya, seperti bekas bantalan rel kereta api, bekas lemari, tempat tidur, dan roda delman untuk beragam barang yang sangat unik, mulai dari meja, kursi, hingga lemari. Bahkan, bekas perahu kayu yang karam sehingga bentuknya tak karuan pun bisa diolah jadi lemari hiasan yang sangat indah dan khas.

Kekhasan inilah yang tidak ditemukan di tempat lain. Tidak heran jika kemudian permintaan pengiriman barang ke Amerika Serikat, Korea, Jepang, Taiwan dan sejumlah negara di Eropa hingga saat ini tidak pernah berhenti mengalir ke bengkelnya yang sederhana tetapi luas di Probolinggo.

Untuk desain meja, kursi, lemari, dan barang-barang lainnya, Mukhlish belajar secara otodidak. Karena tidak bisa membaca, gambar desain di majalah pun hanya dilihat. Desain lainnya dia improvisasikan dari melihat sekilas di televisi.

"Beginilah jika tidak bisa membaca, tapi menghitung duit pasti bisa," kelakar Mukhlish yang untuk pembuatan kuitansi serta surat-surat lainnya dia percayakan kepada karyawan andalannya.

Jatuh bangun

Sukses yang diraih Mukhlish tidak datang secara tiba-tiba. Dia harus jatuh bangun dalam menjalankan usahanya. Namun, mengambil falsafah balita yang sedang belajar berjalan dan berkali-kali jatuh, Mukhlish tidak pernah kapok. Setiap jatuh selalu bangkit kembali dengan penuh semangat sehingga bisa sukses seperti sekarang.

Kesuksesannya diawali ketika dia menjadi pedagang keliling kayu bakar di kampungnya, Kabupaten Probolinggo, tahun 1992-1993. Bermodal uang Rp 2.000, setiap hari dia membeli potongan-potongan kayu bakar dari rumah-rumah penduduk serta sebagian membeli sisa-sisa dari tempat penggergajian kayu.

Kayu yang diperolehnya kemudian dia jual lagi dengan dijajakan berkeliling menggunakan sepeda ke kampung-kampung lain di sekitarnya. "Lumayan, bermodal Rp 2.000 setiap hari bisa mendapat penghasilan sekitar Rp 10.000," kata Mukhlish, yang sebelumnya selama tiga tahun menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.

Suatu hari, sepotong kayu yang kelihatan kusam ada yang berani membeli seharga Rp 10.000. Setelah diselidiki, ternyata pembeli itu menjualnya lagi ke pedagang barang-barang antik. Tentu dengan harga yang lebih mahal.

Terdorong keinginan untuk mendapat penghasilan yang lebih besar, Mukhlish mulai memasok kayu untuk pedagang barang-barang antik. Namun, ternyata tidak semua kayu mau dibeli pedagang. Dari situlah dia belajar dan mengamati, ternyata kayu yang disukai pedagang merupakan barang-barang antik, seperti lesung penumbuk padi, kentongan kayu, atau potongan meja dan kursi antik.

"Padahal, oleh penduduk kampung, lesung-lesung penumbuk padi itu dianggap barang tak berguna setelah ada mesin penggiling padi. Selain dijadikan kayu bakar, penduduk juga sangat senang jika ada yang mengambil karena dianggap rongsokan," kata Mukhlish.

Tidak puas menjadi pemasok, Mukhlish lalu mencoba sendiri membuat rak piring dari potongan kayu bekas dan dijajakannya ke kampung-kampung. Namun, hasilnya tak menggembirakan. "Modal Rp 5.000 hanya laku terjual Rp 7.500. Itu pun belum tentu setiap hari laku terjual," kenangnya.

Akan tetapi, lambat laun ayah tiga anak ini mulai bisa membaca selera konsumen. Berbagai barang pun dirancangnya sendiri sesuai dengan keinginan pasar. Usahanya semakin maju ketika dia mulai memasarkan barangnya ke Bali tahun 1999.

Wisatawan mancanegara yang tertarik pada barang-barangnya meminta barang tersebut dikirim ke negara asal. Pesanan pun terus mengalir sehingga Mukhlish mulai mengangkat karyawan. Jumlah karyawan pun terus bertambah hingga di atas 60 orang.

Terus diuji

Akan tetapi, di tengah-tengah kemajuan usahanya, berbagai ujian terus menghadang. Di Bali, dia sempat diperdaya orang yang berlagak pemilik modal dan kemudian ingin menguasai usahanya. Di Probolinggo, sempat pula barang-barang yang akan dia ekspor tiba-tiba dicuri. Anak buahnya yang keluar dan kemudian mendirikan usaha sendiri sempat pula melakukan praktik dumping, tetapi tidak bertahan lama karena usahanya justru bangkrut.

Semua ujian ini dijalani Mukhlish, yang tidak tahu tanggal serta bulan kelahirannya, dengan tabah. Dia mengibaratkan berusaha itu seperti layang-layang yang baru bisa terbang tinggi jika menghadapi tantangan berupa angin. Ketabahan ini disertai pula dengan sikap jujur, ulet, gigih tetapi pasrah pada kehendak Yang Maha Kuasa.

Karena kepasrahan ini pula, Mukhlish membiarkan potongan-potongan kayu bekas yang merupakan bahan baku usahanya tergeletak dan menumpuk di pinggir jalan utama Probolinggo-Banyuwangi. Dia berkeyakinan, kalaupun dicuri, belum tentu orang tersebut bisa mengolah kayu limbah itu menjadi barang mahal.

Tak disangka, tumpukan kayu-kayu limbah yang menumpuk di pinggir jalan raya itu justru menarik perhatian wisatawan domestik dan turis-turis asing yang melintas setelah mengunjungi obyek wisata Gunung Bromo. "Tak sekadar mengunjungi, turis itu pun banyak memborong berbagai produk mebel primitif," kata Mukhlish yang bercita-cita memiliki show room.

Di saat kunjungan turis-turis mancanegara inilah pemandu wisata memberi tahu bahwa harga barangnya terlalu murah, apalagi untuk ukuran turis asing. Setelah harga barang dinaikkan beberapa kali lipat, permintaan barang pun terus mengalir, termasuk untuk sejumlah hotel berbintang di Tanah Air.

Tambahan rezeki ini sebagian diberikannya untuk karyawan dalam bentuk upah yang sangat layak untuk ukuran desa di Probolinggo, yakni minimal Rp 40.000 per hari, masih ditambah bonus mingguan. Ia sadar betul, sukses yang diraih tidak lepas dari peran karyawan.

Dia pun tak ingin karyawannya hidup sengsara seperti dia dulu. Justru Mukhlish mendorong karyawannya untuk terus belajar, berkreasi, dan berinovasi agar bisa sukses seperti dia, meskipun awalnya hanya bermodal Rp 2.000.

BIODATA

Nama: Mukhlish
Tempat/lahir: Probolinggo, Jawa Timur, tahun 1968
Keluarga
Istri: Aisyah Atmani (30)
Anak:
1. Zakiatul Fadilah (15)
2. Qusnul Khotimah (8)
3. Mukrimatul Mila (4 bulan)
Pendidikan: (Tidak sekolah)
Pekerjaan:
- TKI di Malaysia (1987-1990)
- Pedagang keliling kayu bakar (1991-1992)
- Perajin dan juragan mebel (1993-sekarang)

Sumber : Kompas, Kamis, 12 Juli 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks