Siswanto dan Kreasi Simulatornya
Oleh : Agustinus Handoko
Kebutuhan akan alat peraga yang sesuai dengan mata pelajaran makin mendesak saat kurikulum berbasis kompetensi diterapkan. Sayangnya, institusi pemerintah tak siap memenuhi kebutuhan itu sehingga para guru harus memutar otak untuk menyiapkannya.
Alat peraga terutama dibutuhkan untuk membuktikan dalil-dalil yang tak bisa dibuktikan hanya dengan hitungan di atas kertas. Sebagian alat peraga yang diberikan pemerintah, justru tak bisa langsung menjelaskan bagaimana dalil-dalil itu dibuktikan.
Siswanto (46), guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2 Kendal, Jawa Tengah, menjawab tantangan itu dengan membuat alat peraga berupa simulator power train (pemindah daya).
Dengan alat ini, peserta didik dari jurusan otomotif tak perlu melakukan praktik di luar ruangan karena alat peraga berupa bagian mobil dan simulator jalan raya bisa dibawa ke dalam kelas.
"Sebelum alat ini ada, praktik untuk membuktikan dalil putaran roda kiri ditambah putaran roda kanan adalah konstan, tidak bisa dimunculkan," papar Siswanto saat memamerkan temuannya di sela-sela Lomba Kompetensi Siswa SMK Tingkat Nasional XV di Institut Teknologi Bandung, pertengahan Juni lalu.
Dalil itu tak bisa dibuktikan karena untuk membuktikan dalil tersebut peserta didik harus menghitung putaran masing- masing roda saat berbelok; di saat salah satu ban terendam lumpur, sedangkan satu roda lain berada di tanah kering.
"Enggak mungkin putaran kedua roda bisa dihitung saat mobil berbelok. Siswa mau lihat dari mana? Selama ini, pemerintah tak bisa menyediakan alat simulasi itu," ujarnya. Sejauh ini, belum ada barang serupa yang pernah dibuat sehingga Siswanto mesti bekerja keras mewujudkan alat semacam itu agar sesuai dengan kebutuhan siswa.
Dua bagian
Simulator itu terdiri dari dua bagian penting. Bagian pertama, blok input daya, kopling, poros propeler, dan diferensial. Karena hanya sebagai simulator, input daya yang seharusnya berasal dari mesin mobil digantinya dengan dinamo yang menghasilkan putaran.
"Supaya lebih sederhana, murah, dan tak berisik kalau dibawa ke dalam kelas," ujarnya. Diferensial adalah alat untuk memindahkan daya putar dari poros propeler ke dalam putaran roda kiri dan kanan.
Bagian kedua adalah tampilan (display) yang berisi kontrol input dan output daya, serta monitor sensor yang dipasang di sejumlah alat di blok input hingga output.
Alat peraga yang kini dalam tahap pembicaraan pabrikasi dengan bantuan dana Indonesia- German Institute itu merupakan mimpi Siswanto sejak tahun 1990. Saat itu, suami Dalilah (42) dan ayah tiga anak itu masih kuliah pada program D-3 pada Vocational Education Development Centre, Malang. Dalil rumus konstan yang diberikan dosennya tak bisa dibuktikan hanya dengan hitung-hitungan di atas kertas.
Siswanto lalu ditantang untuk menciptakan alat peraga yang bisa membuktikan dalil itu. "Konsep simulator itu sudah ada di benak, saya yakin bisa mewujudkannya. Cuma waktu itu saya tak punya modal untuk membuat," ujar guru mata pelajaran Engine ini. Setelah menunggu 17 tahun, Siswanto bisa mewujudkan mimpinya.
Tiap jurusan
Januari 2007, sekolah tempatnya mengajar mendapat dana untuk pembuatan produk-produk unggulan tiap jurusan. Siswanto yang mengajar pada jurusan otomotif langsung menyatakan sanggup membuat produk unggulan, yakni simulator power train.
"Tak perlu waktu lama mengerjakannya, walaupun harus bongkar pasang dan coba-coba," tuturnya. Siswanto hanya butuh dua bulan untuk mengerjakan alat peraga impiannya. Simulator itu dia kerjakan di luar jam mengajar.
Dia lalu berbagi kiat bagaimana alat peraga itu bisa selesai dalam dua bulan. "Kita harus senang membaca, berani mencoba, dan tak takut gagal."
Siswanto yang lulus kuliah dengan keahlian tentang sasis dan transmisi ini juga belajar otodidak soal elektronika dan pembubutan baja. Simulator itu sekaligus menegaskan keyakinan dia bahwa belajar berbagai jenis keahlian itu menguntungkan. Simulator yang dibuatnya kini sudah digunakan di SMKN 2 Kendal, tempatnya mengajar.
Dia berharap, simulator itu bisa digunakan juga di sekolah-sekolah lain yang memiliki jurusan otomotif. Ini akan membuat waktu mengajar lebih efisien dan peserta didik bisa memahami materi dalam waktu lebih singkat.
Pasalnya, sejak beberapa tahun terakhir, jumlah calon siswa jurusan otomotif membengkak seiring berkembangnya industri otomotif dalam negeri. Di SMKN 2 Kendal, misalnya, peminat jurusan otomotif mencapai lima-enam kali lipat dari kapasitas tiga kelas (100 siswa).
Prototipe simulator itu menghabiskan dana Rp 23 juta. Jika diproduksi massal, harganya bisa jauh lebih murah dan terjangkau banyak sekolah. Namun, Siswanto belum puas. Dia ingin display tentang alur dan kontrol input-output yang masih analog diganti menjadi digital. Kendati untuk itu, ia harus melalui tahap bongkar pasang dan coba-coba lagi.
Bagaimanapun dia sudah membuktikan bahwa dalam keterbatasan fasilitas pun, guru di Indonesia bisa menghasilkan sesuatu yang berguna.
Proses pembuatan simulator power train tak semulus hasilnya. Siswanto mengaku sering menemui kegagalan karena asumsi dan hitungan di atas kertas tak sesuai dengan hasil utak-atik alat. Kerja Siswanto juga sempat direcoki ulah siswa yang nakal.
Dia bercerita, saat simulator sudah mendekati selesai, dibawalah alat temuannya itu ke kelas untuk membantu proses belajar-mengajar. Belajar teori tak lengkap rasanya tanpa praktikum.
Saat praktikum itulah, seorang siswa yang tidak hati-hati melepas tuas kopling mengakibatkan poros propeler dan diferensial terguncang. Seketika itu, sensor yang dipasang dekat diferensial patah dan monitor analog pada peraga (display) pun tak berfungsi.
"Siswa itu sempat ketakutan karena merasa telah merusak alat. Padahal, saya tidak marah. Saya justru mengucapkan terima kasih kepadanya setelah alat itu rusak," kata Siswanto.
Dia berterima kasih kepada "siswa nakal" itu karena secara tak langsung si siswa telah menunjukkan bahwa penempatan sensor itu tidak tepat.
Siswanto pun langsung memasang kembali sensor tersebut di tempat yang lebih aman. Kini, sensor itu bisa berjalan normal kendati tuas koplingnya harus dientakkan dengan lebih keras.
Sumber : Kompas, Senin, 2 Juli 2007
May 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment