Pendidik di Tanah Licin Transmigrasi
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty
Bila saja Sufriyani (29) tidak nekat ikut menjadi transmigran lokal, barangkali anak-anak di kampung transmigran di Santahulu, Kelurahan Batu Teritip, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, Provinsi Riau, selamanya tidak akan mengenal pendidikan.
Kehidupan Ani, panggilan Sufriyani, sebelum datang di kampung transmigran bukanlah kehidupan yang mewah. Ia tinggal di rumah kontrakan dan bekerja sebagai guru honorer pada SDN 011 dan Madrasah Diniyah Aliyah (MDA) Tanjung Penyembal, Dumai.
Akses jalan menuju pusat Kota Dumai dari tempatnya mengajar itu sekitar 30 kilometer. Baginya, ini terjangkau, sebab jalan tanah di Tanjung Penyembal masih bisa dilewati kendaraan.
Sedangkan kondisi jalan menuju kampung transmigran Santahulu, sekitar 60 kilometer dari pusat Kota Dumai, jauh lebih parah. Tanah licin yang becek sering menjebak roda kendaraan. Bila hujan turun, warga transmigrasi bahkan memilih menunda pergi ke kota. Kendaraan yang bisa melintas hingga kampung transmigrasi ini hanya kendaraan roda dua.
Ada pula jalur air yang bisa ditempuh dengan pompong, perahu kayu bermesin. Namun, untuk perjalanan dari kampung transmigran ke Kota Dumai, dibutuhkan ongkos Rp 500.000 untuk sekali perjalanan. Namun, justru keterbatasan akses itulah yang mendorong Ani memilih mengajar di kampung transmigran itu sekitar tiga tahun terakhir.
"Dulu, suami yang meminta saya mengajar di kampung transmigrasi, karena ia melihat di kampung itu banyak anak kecil yang tidak sekolah. Tak ada guru di sana. Apalagi, jalan ke kampung itu sangat susah. Suami saya tak yakin akan ada guru yang mau mengajar di kampung itu," papar Ani.
Bersama sang suami, Misna (29), dan dua anak, mereka tinggal di rumah kayu bernomor 51 kampung transmigran. Ada 102 keluarga yang tinggal bersama mereka di kampung itu.
Perintis
Niat menjadi pendidik di kampung transmigran menggerakkan Ani untuk mempersiapkan sendiri seluruh kebutuhan pendidikan. Ia tahu, permintaan resmi kepada pemerintah membutuhkan waktu tak singkat, sementara kebutuhan pendidikan makin mendesak.
Ia meminta gudang kayu di pojok kampung sebagai tempat awal kegiatan belajar mengajar. Sekat ruang kelas terbuat dari papan. Buku-buku pelajaran yang dipakai mengajar 28 siswa pertama, adalah koleksinya saat mengajar di sekolah terdahulu.
Pada saat Kurikulum 2004 mulai berlaku, ia menggunakan buku-buku kurikulum 1994. Sebab, hanya itulah buku yang dimilikinya. Buku tulis untuk anak-anak diperoleh dari "mengemis" kebaikan hati relasi.
Ia membuat sendiri papan tulis dari tripleks pintu kamar rumah. "Karena tidak ada papan tulis, terpaksa saya mengorbankan pintu kamar. Pintu itu dipotong jadi tiga, lalu dicat hitam, jadilah papan tulis," kata Ani.
Tanggal 14 Februari 2005 atau sepekan setelah ia menginjakkan kaki di lokasi transmigrasi, Ani memulai kegiatan belajar mengajar. Targetnya satu, empat anak kelas VI harus bisa ikut ujian nasional tahun ajaran 2004/2005.
Lobi segera ia lancarkan di sela-sela waktu mengajar. Ia tak mungkin menjadikan sekolah darurat itu sebagai sekolah yang berdiri sendiri. Maka Ani pun mendatangi Kepala Sekolah SDN 011 Tanjung Penyembal, tempat ia mengajar sebelum pindah ke kampung transmigran.
Ia berharap sekolah tersebut bisa menjadi sekolah induk dari sekolah di kampung transmigran. "Permintaan saya sempat ditolak beberapa kali, terutama karena waktu itu sudah terlampau dekat dengan jadwal ujian nasional. Namun saya bersikeras meminta terus, agar anak-anak bisa ikut ujian nasional," tutur Ani.
Desakan yang dilancarkannya berbuah. Permintaannya dikabulkan. Maka Ani pun menambah jam belajar bagi empat anak transmigran yang duduk di kelas VI demi mengejar ketertinggalan pelajaran.
"Semua anak lulus," ucap Ani yang juga terlibat dalam perintisan Madrasah Tsanawiyah di kampung transmigran itu.
Pengabdian
Selama sekitar satu-dua tahun Ani dibantu Misna, suaminya, mengajar kelas I hingga VI. "Saya tak berani menambah guru karena belum ada gaji," ucap Ani yang membawa anaknya saat mengajar karena tak sanggup membayar pengasuh.
Pelan-pelan Ani dan suami belajar membuat proposal agar sekolah di kampung transmigran itu bisa diakui pemerintah, dan mereka dapat menambah guru untuk membantu proses belajar mengajar. Kini, sekolah transmigran itu telah mempunyai enam guru. Ani "tinggal" mengajar Bahasa Inggris dan Olahraga dari kelas I hingga VI.
"Saya bersikeras merekrut guru dari dalam kampung transmigran ini. Kalau guru dari luar kampung, pasti akan banyak halangan yang membuatnya tak masuk sekolah. Ini terutama sebab akses jalan yang buruk," ucapnya.
Saat menawari pekerjaan, ia menekankan bahwa menjadi guru adalah pengabdian. Oleh karena itu, soal honor berada pada urutan bawah. Setelah menginduk pada SDN 011 Tanjung Penyembal, para guru menerima honor Rp 300.000 per bulan.
Honor ini dibayar rapel tiga bulan sekali. Jangankan berpikir soal bonus, honor mereka pun sering datang terlambat. Keterlambatan pembayaran sudah menjadi hal yang harus dimaklumi kendati kebutuhan hidup tak bisa ditunda. Untuk menambah penghasilan, Ani membuka warung sembako di muka rumah.
Sebagian uang yang diperoleh dari mengajar atau berjualan disisihkan untuk membiayai pendidikan sarjananya. Sudah delapan semester ini Ani terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Tarbiyah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Hubbul Wathan, Kota Duri, yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya. Untuk sekali pergi ke kampus lewat jalan darat ia butuh uang Rp 200.000.
Jarak yang jauh itu membuat Ani beberapa kali hanya bisa kuliah dua kali seminggu. Bila hujan turun, keberangkatan kuliah dibatalkan, sebab akses jalan sulit ditempuh. Sedangkan akses jalan lewat air terlampau mahal.
"Sebenarnya saya sudah diwisuda Desember tahun lalu. Tetapi karena tak ada dana, terpaksa wisuda diundur."
Keterbatasan dana juga yang membuat suaminya menghentikan sementara kuliahnya di kampus tersebut. "Biar saya lulus dulu, baru suami melanjutkan kuliah," katanya.
Kehidupan inilah yang digeluti Ani, dan seperti transmigran lain, ia berharap mendapat jatah lahan di tanah harapan. Sayangnya, hingga kini, kampung transmigran itu masih bersengketa karena kesalahan penempatan sejak awal. Kini, wacana pemindahan transmigran malah menguak. Padahal, kehidupan baru saja tertata.
Karier sebagai guru di daerah pinggiran dilakoni Safriyani selama bertahun-tahun. Perempuan kelahiran Binjai, 1 Juli 1978 ini, sempat mengajar di MDA Tanjung Penyembal, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai. Sembari mengajar di sekolah itu, ia juga terdaftar sebagai guru di SDN 011 Tanjung Penyembal.
Ia juga pernah mengajar di SD Bagan Batu, Rokan Hilir. "SD itu juga dibangun dari swadaya masyarakat," ujar lulusan STM Tunas Pelita, Binjai ini.
Ia memulai karier guru dengan honor Rp 150.000 per bulan. Jumlah uang itu memang tak memadai, tetapi kecintaan pada anak-anak membuat Ani bertahan.
Ibu dari Yoga (5) dan Putri (2 bulan) ini yakin menjadi pengajar dan bergaul dengan anak-anak membawa kegembiraan.
Sumber : Kompas, Selasa, 3 Juli 2007
May 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment